18 : Tujuh Menit

197 43 6
                                    

Sorry for typo & kata yang hilang 🙏

❄️❄️❄️💙💙💙❄️❄️❄️

Baik Babe maupun Force, keduanya sama-sama tertegun, sebentar. Setelahnya mereka bersikap seolah-olah ini adalah pertemuan pertama mereka.

John memanggil Babe ke kantornya, yang mana di sana sudah ada Kira, Force, Joyoung, Sunny dan Bua selaku wakil kepala akademi.

"Apa sang bintang tahu mengenai murid The Enigma?"

Babe menggeleng, "Maaf," Ucap Babe ada John. Bukan hal yang sulit bagi dia untuk berbohong, bahkan mesin tes kebohongan pun takkan pernah bisa mendeteksi kebohongannya.

"Lalu bagaimana dengan murid The Luna?"

"Sekali lagi aku ucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya." Raut wajahnya tidak berubah, minim ekspresi dan tidak bisa dibaca.

"Mungkin Nine tahu mengenai mereka berdua." Imbuh Joyoung sebenarnya kurang yakin mengingat Babe pun tidak tahu mengenai hal ini.

"Tapi dari respon sang bintang, sepertinya beliau mengetahui kalau Enigma dan Luna memiliki murid." Ucap Sunny selalu benar feeling-nya.

"Bukankah Luna dan Enigma memang selalu punya murid, seperti itulah isi buku aku baca." Tukas Babe untuk menghindari pertanyaan lainnya sekaligus tuk mengingatkan mereka kalau semua Luna dan Enigma selalu punya murid. Murid untuk melatih Luna dan Enigma berikutnya.

Perkataan Babe membuat mereka tertegun, karena mereka pikir ada hal penting yang selama ini telah di lewatkan. Lantas mereka menatap Babe, bukan murid The Enigma yang mengajarkan dia untuk menjadi Enigma berikutnya melainkan hanya para pengajar yang dikirim oleh kuil.

"Mungkin karena The Enigma masih terbaring koma, maka muridnya..." Ujar John menggantung kalimatnya. "Atau karena ada hal lain." Akhirnya kalimat itu selesai juga.

Semakin mereka gali tentang Luna dan Enigma, semakin ada kejanggalan yang mereka temukan.

Sepertinya mereka harus mengadakan pertemuan penting serta penyelidikan mengenai the Luna dan The Enigma.

⏩⏩

Meen tersenyum lebar, dia memenangkan pertandingan kecil itu. Sementara wajah Perth tampak sangar, dia tidak percaya kalau dia bisa kalah dari Meen.

Senyum Meen semakin lebar ketika Perth menoleh melihat dia, mereka berjalan menelusuri koridor akademi menuju kamar asrama Meen. Tidak mungkin mereka berciuman di tempat umum.

"Sini, biar aku yang bawa barang bawaan mu." Tawar Meen mencoba mengambil barang bawaan Perth.

"Gak usah, aku bisa bawa sendiri." Ucap Perth sewot, dia sedang memikirkan cara untuk menghindari ciuman bibir yang sebentar lagi akan terjadi.

Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi jika ciuman itu direncanakan seperti ini sungguh sukses membuat dia malu nan merona.

Perth berjalan cepat di saat dadanya berdebar-debar tak karuan sehingga dia tidak memperhatikan jalan dengan benar. Meen menarik pinggang Perth supaya Perth tidak menabrak kadet lain lantas kini dia merangkul pinggang Perth.

"Hati-hati jalannya sayang, nanti jatuh." Ucap Meen mengingatkan kalau cara jalan Perth kurang hati-hati.

Langkah kaki Perth terhenti lalu dia menatap Meen yang lebih tinggi dari dia. "Kenapa kau selalu membuat dadaku berdebar-debar?" Maki dia berusaha memasang wajah garang tapi jatuhnya malah gemoy karena tidak ada niat benci serta membunuhnya.

Meen tertegun, ternyata bukan hanya dia seorang yang berdebar-debar dadanya. "Aku jauh lebih berdebar-debar lagi ketika bersamamu." Tanggap Meen malah membuat wajah garang Perth merona.

RoyaltyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang