EPISODE 24

11 2 0
                                    

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Ifan  tanpa memikirkan teman sekamarku yang sudah tidur. Malam semakin larut namun berbincang ditelepon tak kunjung berakhir, saat aku hendak memberitahu sesuatu pada Ifan sambil berbisik tiba-tiba ada seseorang berdiri di belakangku.

“Eh, kamu mau tau sesuatu gak?” kataku membuat suasana semakin tegang.

“Apa!?”

Ketika aku menoleh ke belakang aku teriak sejadi-jadinya dengan kehadiran Tyara yang tiba-tiba sudah memegang bahuku.

“AAA! Astaga!” teriakku sambil mengelus dada.

“Lagi telponan sama siapa, Nad?” tanya Tyara penasaran.

“Adik kelas.” Kataku membohonginya dia pun langsung datang menghampiriku menguping pembicaraan kami spontan aku langsung menutup speaker ponselku.

“Kenapa!?” tanya Ifan khawatir, Tyara dengan jelas mendengar suaranya.

“Bohong! Ifan kan!?” katanya mengotot melihat raut wajahku yang tak pandai berbohong.

Mukaku pucat pasi ekspresi ketakutan yang terbentuk tak bisa ditutupi bahwa aku memang berbohong. Siapa pun bisa menebak itu termasuk Tyara, tujuh puluh persen kemungkinan dia akan menceritakan ini kepada Meena. Aku celingak-celinguk mencari alasan supaya tidak ketahuan.

“Ya ampun! Gimana besok nih!? Mampus lah aku!” aku membatin sambil menggigiti kuku.

Wajah Tyara terlihat cuek saat berlalu dariku dan keluar menuju toilet, aku memandanginya sampai ia berlalu cukup jauh. Aku merasa lega dan bisa bernafas kembali, cukup menegangkan.

“Ketauan, ya?” tanya Ifan sambil terkekeh.

“Ih, dasar! Malah ketawa, deg-degan tau gak!” gerutu ku merasa kesal.

“Hahaha! Terus gimana dong?”

“Ah, entahlah! Bingung aku.” Kataku sambil mengacak-acak rambut.

Setelah beberapa menit Tyara pun kembali menuju kamar, aku langsung segera mengubah mimik wajahku dengan full senyuman ketika ia membuka pintu memasuki kamar.

“Hahahaha!” aku pura-pura tertawa seolah-olah sedang membicarakan hal yang lucu.

“Kenapa nih tiba-tiba ketawa gak jelas.” Ujar Ifan.

Tyara hanya melirikku dan berlalu begitu saja menuju kasurnya untuk segera beranjak tidur. Aku mencoba mengintipnya dari sela-sela lemari yang tersusun apakah ia akan langsung memberitahunya.

“Udah dulu ya, aku mau tidur.” Ucapku melihat suasana kamar sudah sepi.

“Ya udah! Tidur yang nyenyak ya.” Ujarnya sambil cekikikan.

“Ah, dasar!”

Aku langsung mematikan teleponnya dan menaiki tempat tidurku, ku tatap Tyara tampaknya ia sudah tertidur pulas sehabis kembali dari toilet. Tak ada ponsel di dekatnya Aku merasa sedikit lega karena ia tidak memberitahu kejadian ini pada Meena.


***


Keesokan harinya setelah melalui malam yang menebarkan aku langsung beranjak mandi dan menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Aku merasa cukup senang dengan hari ini karena Ifan menjadi teman mengobrol di sela-sela kericuhan hariku.

Aku berjalan menuju kelas bersama dengan Dee dan juga Elva ketika berada di ambang pintu aku melihat Meena berdiri di sana memandangiku. Saat aku hendak berjalan melaluinya tiba-tiba saja dia menghindar seakan tak ingin bersentuhan denganku.

“Eh, tumben banget!? Lagi pms kayaknya.” Gumamku dalam hati.

Aku pun duduk di bangkuku sembari menunggu pelajaran akan di mulai. Setelah beberapa jam kemudian aku tidak mengerti maksud soal yang di berikan. Aku pun memanggil Meena yang duduk di depanku.

“Meena!” lirihku memanggilnya berkali-kali. Ia tetap tidak menggubrisnya.

“Lyta panggilkan Meena dong!” kataku meminta tolong pada teman sebangkunya.

“Diam aja dia.” Bisik Lyta menoleh ke arahku.

“Tumben banget, kenapa ya!?” gumamku sambil bertanya-tanya apakah aku ada membuat ia merasa marah.

“Hm, ya udah deh! Kamu ngerti gak yang nomor empat?” tanyaku padanya.

“Enggak, aku aja belum dapat jawabannya.”

Aku memainkan penaku memutarnya di sela-sela jari sambil berpikir apa jawabannya, tak berapa lama kemudian tiba-tiba Meena berdiri mengantarkan buku tugasnya ke depan. Semua mata tertuju padanya karena baru ia yang selesai duluan.

“Emang aku ada salah apa sih!?” aku membatin sambil menatap matanya. Ia enggan untuk menatapku.

‘Bel istirahat berbunyi’

“Di jadikan PR, ya! Besok di kumpulkan.” Ucap guru mata pelajaran sembari meninggalkan kelas.

“Iya, Bu!” sahut kami bersama-sama.

Koridor sekolah terlihat ramai di jam istirahat ini banyak siswa dan siswi berdatangan menuju kantin untuk mengenyangkan perut. Saat berjalan aku terus memikirkan apa penyebab Meena seperti itu padaku ketika menengadah menghadap depan aku melihatnya sedang berduaan dengan Tyara di sana.

“Kamu lagi berantem ya sama Meena?” tanya Aisa membuyarkan lamunanku.

“Enggak, kok!” jawabku spontan.

“Terus kenapa dia pura-pura gak dengar pas kamu manggil!?” ujar Aisa penasaran.

“Entahlah gak tau.” Kataku sambil melihatnya berbincang dengan Tyara.

“Aku tau kenapa!” sela Nur ditengah-tengah pembicaraan.

“Apa emangnya!?”

“Dia gak mau ngasih tau jawabannya sama kamu, makanya dia pura-pura gak dengar.” Jelas Nur membuat aku tersungging.

“Betul juga, ya! Pelit sih.” ujar Aisa membakar suasana hatiku.

Setibanya di kantin, kami langsung menyantap makanan yang kami pesan. Bersantai cukup lama menurunkan nasi ke dalam perut sambil menunggu bel masuk berbunyi. Kami pun segera beranjak menuju kelas sambil berjalan pelan, dari kejauhan aku melihat ramai sekali orang di depan kelas memenuhi koridor.

“Eh, ada apa tuh rame-rame di kelas!?” Nur tampak kaget karena tak biasanya ada hal seperti ini.

“Gak tau, ayo kita liat!” seru Aisa sambil menarik tangan Nur.

Aisa dan Nur yang penasaran langsung berjalan cepat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Mereka meninggalkanku sendirian berjalan menuju kelas, aku tak sengaja mendengar percakapan adik kelas yang berjalan di depanku.

“Pasti lagi nembak kakak itu.”

“Mati dong!”

“Gak gitu, maksudnya ngajak pacaran.” Ucapnya sambil menepuk kepala temannya.

“Pacaran!?” gumamku.

Karena penasaran aku pun langsung menghampiri keramaian tersebut dan kulihat punggung yang menjadi bahan sorotan saat ini di kelilingi oleh banyak orang. Cukup ramai yang menyaksikan bahkan ada yang tak menyangka dengan hal tersebut. Sorakan pun mulai terdengar riuh di luar kelas.

“Bukannya itu Ifan ya, piala!?”

Ia menggenggam piala yang ia raih dari hasil perlombaan yang ia ikuti aku pun menaikkan tatapan ku ke atas dan menoleh ke arah sosok yang berdiri di hadapannya. Saat hendak mendekat aku pun mendengar percakapan bisik-bisik tentang kedekatan mereka berdua, aku terdiam mendengarkan obrolan mereka.

Saat aku melirik dan hendak memastikan ternyata orang yang berdiri di balik tubuh tinggi badan Ifan tersebut sudah menatapku sangat sinis seolah memberi peringatan bahwa Ifan miliknya dan jangan mencoba untuk mendekatinya lagi.

“Meena!?”

Ramai orang berbondong-bondong mendekatinya saat Ifan masuk ke dalam kelas ia menjadi perbincangan hangat saat ini, banyak yang bertanya apa di balik dari kedekatan mereka berdua. Ketika aku mendekat dan hendak melaluinya ia melirikku tajam dari sudut matanya yang menatapku dengan penuh kebencian.

“Udah ku duga, pasti Tyara memberitahunya!” gumamku sambil menyunggingkan senyuman ke arahnya.

Here With(out) You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang