EPISODE 12

24 3 1
                                    

Cahaya pagi menyinari melewati celah-celah ventilasi, menyilaukan mata membuat aku terbangun dari tidur malam yang panjang. Aku beranjak untuk membasuh muka dan memulai hari dengan menebar kebaikan. Aku bersemangat memakai seragam untuk berangkat ke sekolah, ketika aku membereskan tas yang hendak aku bawa ponsel pun ku raih dan di sana ada satu notifikasi yang membuat mataku hanya tertuju ke sana.

Aku pun mulai bertanya-tanya, ada apa dengannya? Berani berkomunikasi melalui sosial media tapi bersosialisasi secara langsung denganku begitu enggan. Aku mengabaikan pesan tersebut dan kembali menata mood ku yang kalut.

Berjalan ke sekolah dalam keadaan menyembunyikan perasaan sambil melengkungkan senyuman tipis adalah caraku menutupi emosi yang terpendam. Tak ingin ada yang tahu apalagi sampai pura-pura tahu, diam-diam Fahri melirik ke arahku sembari mengamati ponselnya.

Jam pelajaran telah di mulai semuanya sibuk menulis di atas bukunya masing-masing, ketika aku mendikte tulisan yang ada di papan tulis mataku tak sengaja bertentangan dengan Ifan, lalu ia memberi isyarat dengan menepuk pundak Fahri. Awalnya aku tidak mengerti namun setelah aku ingat kembali ternyata perihal pesan tadi malam yang belum terbalaskan.

Selang beberapa jam belajar waktunya untuk beristirahat, ketika semua sudah keluar dari kelas lalu hanya tertinggal aku dan Ifan tiba-tiba dia datang menghampiriku yang membuat aku kaget karena tindakannya yang spontan.

“Fahri tadi nanya kok pesannya belum di balas?”

“Hah?” kalimat itu yang keluar dari mulutku walaupun aku mendengar pertanyaannya. Aku cukup terkejut karena tidak pernah sedekat ini dengan Ifan, aku hanya membalasnya dengan senyuman lalu pergi karena Aisa memanggil ku.

Untungnya Ifan paham dan tidak tersinggung aku meninggalkannya begitu saja, dia tidak ingin ada yang tahu kalau kami tadi sempat berbincang berdua. Aku mencoba melupakan apa yang sudah terjadi tadi dengan berbincang banyak hal dengan Aisa.

“Bagaimana perkembangannya dekat dengan Erik?” tanyaku penasaran sudah lama tidak mengetahui kisah cinta mereka.

“Kami cuma sekedar dekat gitu aja, sih! Gak lebih.” Jawabnya tak biasa.

“Tapi, sekarang sudah jarang komunikasi.” gumamnya dengan raut wajah yang sulit di jelaskan.

“Loh, kenapa? Kok bisa?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, gak tau. Pesan terakhir dariku aja gak di balas lagi sampai sekarang.”

“Yang sabar, ya.” Kataku mengusap pundaknya.

“Dengar-dengar, sih! katanya Bella suka sama Erik. Entah-entah mereka lagi dekat sekarang” ujar Aisa menghangatkan obrolan.

“Hah? seriusan?” ucapku kaget menatap kedua bola matanya.

“Haha! lihat aja nanti kamu bakalan tahu sendiri kehebohannya gimana.” jelasnya yang membuat aku semakin penasaran.

Ketika berjalan mendekati kantin tiba-tiba langkah Aisa terhenti membuat aku ikut berhenti di belakangnya, ia menatap seseorang di balik keramaian kantin tersebut.

“Ada apa?” tanyaku berdiri di sampingnya.

“Kamu mau tau, gak?” ucapnya membuat aku penasaran.

“Apa!?”

“Gak tahu kenapa sekarang perasaanku sama Ale balik lagi, sudah selama itu, loh!” jelasnya membuat aku sedikit tertegun.

“Jadi kamu deg-degan ke kantin karena ada dia di sana?” Tanyaku sedikit menggodanya.

“Dikit, sih!” lirihnya.

“Eh, tapi bukannya—“ aku langsung cepat menutup mulut tidak ingin membuatnya merasa sedih lagi.

“Apa!?”

“Gak jadi.” Kataku sambil cengengesan.

Aku pun menarik tangan Aisa memasuki ruang kantin ini, jantungnya berdetak hebat saat hendak menduduki kursi seketika Ale datang berdiri di samping Aisa mengajak bicara teman di sebelahnya. Sesudah memesan makanan aku kembali ke meja makan, ku lihat Aisa sudah terbujur kaku dengan wajah tegangnya.

“Deg-degan, ya!” bisikku menggoda Aisa.

“Kurang ajar! Kaget aku!” serunya memukulku.

Setelah selesai makan aku, Aisa dan beberapa teman lainnya kembali ke kelas, ketika berjalan sambil asyik tertawa aku berpapasan dengan Satria di koridor sekolah. Ia melemparkan senyum manisnya dan aku pun membalas senyuman itu hingga membuat teman-temanku bersorak kegirangan.

Kebisingan di kelas mulai terdengar sampai ke ruang guru, guru mata pelajaran jam ini berhalangan untuk hadir. Sehingga kami memanfaatkan jam kosong ini untuk bermain sambil mengabadikan momen.

“Haifa minjam penanya, dong!” ujar Ale mendatangi mejanya. Haifa pun langsung memberikannya.

“Cie.. ciee..!” sorak anak cowok beramai-ramai melihat Ale baru saja dari meja Haifa.

“Ale udah mulai berani ya sekarang.” Ucap Anggi si ketua kelas.

Ale hanya bisa tersenyum malu mendengar sorakan dari teman-temannya. Setelah selesai memakai pena si pemilik ia pun mengembalikannya dan meletakkannya begitu saja.

“Bilang apa?” seru Haifa.

“Oh iya, makasih!” ucap Ale lalu kembali ke mejanya.

“Uhuuuy!” sorak mereka kegirangan.

Aku menatap wajah Aisa yang sedang menahan rasa cemburunya, mukanya merah padam terlihat jelas bahwa ia tidak menyukai hal tadi. Ia menatap Haifa penuh kebencian.

“Sabar.” Ucapku menepuk pundaknya.

Aisa hanya terdiam dengan muka masamnya, hatinya menjadi semakin panas melihat Ale menjadi sering mengganggu Haifa. Aisa langsung mengajak ku keluar dan pergi menuju kantin.

“Anggi, permisi bentar ya!” teriakku keluar dari kelas.

“Mau kemana, woi!” sergah Anggi melihatku pergi begitu saja.

Setibanya di kantin Aisa mencoba menenangkan pikirannya sambil menyantap banyak makanan. Aku tertegun melihat ia makan sebanyak itu, tak seperti biasanya yang selalu mengurangi jatah makannya.

“Kamu gak apa-apa?” tanyaku khawatir.

“Enggak, aku lagi kesal aja.” Ujarnya sambil terus mengunyah.

“Jadi makin gak mood ya seharian ini.” Gumamku menyantap makanannya.

“Ya, begitulah!”

Lalu aku mengajak Aisa untuk kembali ke kelas mengikuti pelajaran selanjutnya. Ketika pelajaran telah usai tiba-tiba seorang guru datang menghampiri menepuk pundakku.

“Eh, Bu Yuli.” Ucapku terkejut seraya menyalaminya.

“Gimana pelajarannya.” Tanya Bu Yuli berdiri di hadapanku.

“Ya begitulah, Bu.” Kataku tersenyum.

“Suruh Satria rajin belajar ya, jangan keseringan absen kasian nilainya.” Pinta Bu Yuli dengan nada serius.

“Ehh!?”

“Ya udah, Ibu mau pulang dulu.” Ujarnya meninggalkanku terdiam di koridor.

Aku tidak bisa berkutik di saat Bu Yuli berkata seperti itu, aku merasa sudah tidak seharusnya lagi aku memberi dukungan atau membangkitkan kembali rasa cintanya padaku. Aku merasa sudah cukup dan saatnya aku harus ingat apa yang pernah ibu janjikan padaku kala itu. Mengingat hal itu membuat aku tersadar dan bersikap seperti biasanya, aku sangat kecewa atas apa yang pernah dia lakukan padaku karena saat dia kembali tak ada sedikit pun dia membahas atau meminta maaf tentang masalah itu. Padahal dia tahu tentang kejadiannya tetapi, entah apa yang membuatnya bungkam sampai sekarang.

Seperti biasa ketika pulang sekolah Satria menyempatkan diri untuk melihatku walaupun ia keluar kelas lebih awal. Memandangku ketika pulang sekolah adalah hal yang disukainya, lalu setelah aku menatapnya kembali, ia tersenyum dan langsung berpamitan padaku.

Aku mencoba mempertahankan hubungan ini dengan perasaan yang tidak menggebu-gebu. Sehari, dua hari, tiga hari hingga seminggu komunikasi masih berjalan lancar tanpa hambatan sampai pada di minggu-minggu selanjutnya Satria kembali seperti sediakala di mana ia tak lagi menghubungiku. Ia menjadi sesuka hati datang dan pergi semaunya.


Here With(out) You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang