EPISODE 34

7 2 0
                                    

Aku menghela nafas sangat panjang ketika duduk termenung di depan pintu memikirkan banyak hal, salah satunya saat aku sadar kenapa Fahri mulai menjauhiku kembali. Dan aku pun mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa lagi dekat dengannya, sampai akhirnya aku mendapatkan ide untuk mulai melakukan hal yang disukainya. Aku berencana untuk membuat lukisan yang pernah Ifan ceritakan padaku waktu itu.

“Kok bisa ya dia keasyikan gitu ngobrolnya,  sampai udah jarang banget untuk duduk mendengarkan atau bercerita denganku.”

Aku membatin saat menatap Dee yang begitu asyik bermain ponsel, sedang aku duduk melihatnya di depan pintu kamar sambil memeluk kedua lutut ku. Sepertinya kedekatan ia dengan Darma berjalan dengan sangat mulus dan lancar jaya. Tetapi, kenapa ia tidak ada menceritakan apapun padaku mengenai hal itu, belakangan ini aku selalu menerkanya dari apa yang sering ia lakukan.

Seketika Bella memasuki kamar dengan wajah kesal dan berjalan sambil menghentakkan kakinya begitu keras, ia membanting ponselnya di atas kasur dan mendekap mukanya dengan bantal. Hal yang ia khawatirkan seharian ini berbuntut kenyataan, yang sudah terbukti ialah Erik mengabaikan dia dan menjadikan itu pesan terakhirnya.

“Biasanya jam segini udah ngabarin, kok sampai sekarang gak ada ya? Mungkin sebentar lagi.” Bella mulai cemas sampai ketakutan yang ada di dalam dirinya.

“Tuh anak kenapa?” tanya Lyta berbisik pada Widya melihat Bella mulai bertingkah aneh.

“Gak tau, lagi kambuh mungkin.” Ucap Widya sambil tertawa kecil melihat tingkah aneh Bella yang ada saja ia lakukan.

Bella melepaskan bantal yang ia dekap di wajahnya, ia mulai menarik nafas dan menghembusnya perlahan dengan perasaan hati-hati ia mulai mengecek ponselnya lagi. Ia terdiam tak berkutik, seperti terdengar pecahan kaca dari dalam hatinya. Ia pun kembali menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak sekuatnya. Sontak, mendengar itu membuat siapapun yang berada di kamar melihat ke arahnya termasuk aku yang sedang duduk di depan pintu.

“Dia udah gak mau dekat sama aku lagi ya?” sekuat tenaga Bella menahan rasa sedihnya.

“Kenapa ngeliat aku kayak gitu?!” sergah Bella karena aku menatapnya dengan rasa kasihan.

“Enggak, lucu aja. Ternyata yang biasanya bucin bisa galau juga ya.” Sindir ku melihat tatapan sendu di wajahnya.

“Jangan ngomong gitu, dong.” Lirihnya sambil menarik ingus yang ia tahan agar tidak menangis.

“Kenapa? Curhat dong mah!”

“Lagi sedih begini malah di ajak becanda.” Bella melemparkan bantalnya ke arahku secepat mungkin aku menghindar dan menertawainya.


***


Keesokan harinya, semua berjalan seperti biasa. Suasana sekolah yang begitu tenang membuat sebagian murid menikmatinya, pelajar yang teladan tentu datang ke sekolah tempat mereka untuk menimba ilmu. Namun sebagian pelajar yang lain hanya ingin bertemu sang pujaan hati atau hanya sekedar basa-basi. Ya, seperti itulah siklus percintaan anak SMA, salah satunya Haifa yang semakin dekat dengan Ale.

“Loh, Ale emangnya piket hari ini ya?” tanya Nur ketika ia melihat Ale yang sedang sibuk mencari sapu yang hilang. Ia pun memeriksa jadwal piket kelas dan..

“Dia mau bantuin aku katanya.” Ujar Haifa berdiri di samping Nur dan ikut memandangi jadwal piket kelas.

“Ciee.. makin dekat aja nih! Eh, tapi kamu piket sendirian yang lain mana?” Nur melihat sekeliling cuma Haifa lah yang baru datang.

“Mereka bersihin yang lain aja.”

Terdengar suara hentakan kaki yang berlari menuju kelas membuat Haifa dan Nur menoleh ke arah pintu dan melihat siapa yang datang.

“Udah dapat sapunya!” seru Ale bersemangat memasuki kelas.

“Sini!” Pinta Haifa mencoba menarik sapu itu dari tangan Ale.

“Biar aku aja yang nyapu kelasnya.” Ujar Ale menahan sapu yang ada di genggamannya.

“Ale kan gak piket kelas hari ini, biar aku aja.” Hingga akhirnya merekapun berebut sebuah sapu.

“Ampun banget deh ngeliat manusia bucin berdua ni.” Guman Nur melihat pertikaian mereka hanya karena sebuah sapu, ia pun beralih duduk di luar kelas.

Tak lama setelah itu Meena pun datang menuju kelas yang di susul oleh Ifan, sepertinya mereka sudah janjian. Kedekatan Meena dan Ifan menimbulkan rumor yang tersebar bahwa mereka sedang berpacaran, yang apabila di tanya mereka selalu saja mengelak dan rumor tersebut tidak menjadi permasalahan bagi mereka berdua. Setelah meletakkan buku di atas meja Meena pun segera menghampiri Ifan menuju bangkunya.

“Udah siap pr nya?” tanya Meena pelan agar tidak terdengar hingga keluar. Seperti biasa, Nur selalu mengintip dari celah jendela.

“Udah.” Jawab Ifan, Meena pun langsung meninggalkannya.

“Makin banyak aja yang bucin di kelas.” Nur menggelengkan kepalanya, ia pun berbalik arah saat menyadari Meena menghampirinya.


Ini sudah memasuki hari ketujuh dimana pertengkaran itu masih berlangsung. Namun ada beberapa hal yang terjadi dimana Aisa perlahan mulai mendekatiku walau tanpa berbicara. Yang mengagetkan lagi dia tidak mengabaikan keberadaan ku.

Beberapa teman yang lain ketika mengetahui hal itu membuat mereka menghindari Aisa, karena tidak sepatutnya itu dijadikan sebab perkelahian yang berujung kesalahpahaman. Aisa menganggap itu biasa karena ia masih memiliki teman yang lainnya.

Aku datang ke sekolah sepuluh menit sebelum bel berbunyi, sesampainya di kelas tiba-tiba Nur menarik tanganku agar lebih dekat dengannya. Ia berbisik, membuat aku tertegun dan menatapnya cukup lama lalu aku mengiyakan permintaannya.
Aku segera masuk dan meletakkan buku-buku di atas meja. Aku masih terdiam mengingat kembali yang Nur bisikan tadi.

“Aisa mau bicara empat mata sama kamu.”

“Hah? Ada apa?!” aku sedikit menjauh dan menatap matanya.

“Gak tau, temui aja dia dulu.” Lirih Nur tampak memohon padaku.

“Hm, iya.”

Aku melihat arah luar dari celah jendela, menghela nafas dan tersenyum dengan ikhlas. Aku pun menghampiri Aisa yang sudah menungguku di bawah tangga. Ia tampak ragu untuk memulai pembicaraan, aku tetap diam dan menunggunya membuka suara.

“Kamu marah ya sama aku?” tanyanya dan kembali melihat kebawah.

“Marah kenapa?” aku bertanya balik karena bukan aku yang memulai pertengkaran.

“Kamu udah cuekin aku seminggu ini.”

“Loh, bukannya kamu duluan ya yang bersikap begitu terus menghindar dari aku?” mendengar penjelasan ku membuat Aisa terdiam kedua kalinya, ia menggesekkan kukunya lalu memberanikan diri menatapku.

“Hm.. aku minta maaf ya.” Tutur katanya yang lembut mampu melelahkan hatiku yang hampir membatu karena sikapnya.

“Iya.”

Jawaban dariku membuat ia tersenyum dan langsung memelukku, akhirnya ia bisa melawan rada gengsinya untuk meminta maaf duluan. Ini adalah hal yang dirasa cukup menggelikan bagiku melihat ia bersikap manis seperti ini, sontak kami pun tertawa bersama.

Jam belajar pun dimulai, para pelajar tampak kelelahan dan sulit untuk memahami sebuah materi yang di bahas. Terlalu pagi untuk mengantuk di jam pelajaran pertama, seperti biasa bergosip secara diam-diam untuk menghilangkan rasa kantuknya. Aisa kembali akrab padaku seperti sebelumnya membuat aku senang karena tidak ada pertengkaran lagi.

Ketika aku tak sengaja menatap kearahnya mataku tertuju pada Fahri, pikiran itu kembali terlintas di benakku tentang apa yang membuat ia menjauhiku lagi. Akankah perasaan itu sudah benar-benar tidak ada?

Setelah melewati berjam-jam belajar waktunya untuk beristirahat. Semuanya tampak lega dan bergegas jalan menuju kantin, belajar terlalu berat membuat perut jadi kelaparan. Aisa tidak lagi meninggalkan ku untuk pergi ke sana, ia berdiri di sampingku dan berjalan bergandengan tangan.

“Ciee.. yang udah baikan.” Sindir Dee melihat kedekatan kami berdua.

“Hehehe!” aku tertawa geli dan menutup sebagian wajahku karena malu.

Kantin tidak pernah sepi kecuali di saat jam belajar, ramai yang mengantri untuk mendapatkan makanan yang telah di pesan. Namun, ada sebagian pelajar yang tidak ingin mengantri panjang mereka hanya membeli sebuah cemilan dan memakan nya di dalam kelas.

Salah satunya Bella yang sedang berjalan bersama Maundy sambil menggenggam jajan di tangannya menuju kelas. Mereka berjalan lambat sambil asyik bercerita, saat menoleh ke depan Bella mendapati seseorang yang di idamkan nya sedang berada di luar kelas.

“Ngapain dia di bawah tangga? Lagi asyik ngobrol—hah? Cewe?!”

Bella mematung, matanya mulai berkaca-kaca, kekhawatiran dan kecemasannya selama ini sudah menjadi nyata.

Here With(out) You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang