EPISODE 10

25 1 1
                                    

Satria terdiam meratapi dirinya yang di kasihani, merasa tak di cintai dan tidak di hargai. Saat sedang berada di kantin sekolah teman-temannya berkumpul duduk bersamanya, mereka membicarakan tentang banyak hal termasuk aku di dalamnya.

“Bagaimana hubungan kalian?” tanya Indra penasaran pada Satria.

“Ya, begitulah! Sampai detik ini masih pacaran, kok.” Jawabnya.

“Dia lebih perhatian dengan teman-temannya, ya, di bandingkan dengan pacarnya sendiri.” Sindir Indra.

Mereka semua melihat ke arahku yang sedang asyik bercanda tawa dengan teman-temanku sepulang dari taman menikmati makanan di sana sambil berbincang ria. Aku dan yang lain berjalan menuju kelas untuk membuat beberapa tugas yang belum terselesaikan.

“Udah hampir seminggu ini dia gak ada di kasih suprise sama sekali?” tanya Fikar sambil mengunyah makanannya.

“Belum ada, sih.” Jawab Satria.

“Pacar apaan kayak begitu.” Murkanya tak terima adik kelasnya di perlakukan seperti itu.

“Mungkin dia lupa.” Gumam Satria membuat Jacob menatap sendu dirinya.

“Masa iya bisa lupa dengan ulang tahun pacar sendiri, lucu sih!” gerutu Fikar kesal mendengarnya.

“Bukan begitu, dia gak mau guru-guru pada tahu.” Terang Satria membelaku dengan sepenuh hati.

Bullshit! Waktu dia ngadain pesta besar di asramanya terus kamu datang sendirian kesana dia juga apa gak takut ketahuan!? sampai peluk kamu lagi.” Ucapan Fikar membuat semua mata tertuju ke arah Satria.

“Udah fix sih dia gak sayang lagi sama kamu.” Terang Fikar mencoba untuk menyadarkan Satria.

Satria terdiam mencerna setiap perkataan yang mereka lontarkan, hatinya begitu besar mencintai pacarnya itu, Nadhira. Walaupun diperlakukan seperti itu ia tetap berlapang dada Satria sedikit tersadar dengan kesalahan yang telah ia buat, mungkin ini balasannya.

Sepulang dari sekolah aku bergegas ke asrama untuk mengemasi pakaian ku, aku membuat perizinan untuk pulang ke rumah selama dua hari di hari libur sekolah, sudah lama aku tidak pulang aku merindukan ibuku. Aku berpamitan pada teman sekamarku dan berjalan keluar karena taxi yang ku pesan sudah menunggu di luar sekolah. Saat menyusuri jalanan sambil menarik koper yang kubawa di seberang sana aku melihat Satria bersama temannya menatap ke arahku hingga aku memasuki taxi tersebut.

“Lihatlah! Dia bahkan tidak berpamitan dengan mu.” Tegas Fikar menepuk pundak Satria.

“Tumben sekali dia tidak meminta padamu untuk mengantarnya pulang ke rumah.” Ujar Jacob memandangi taxi tersebut yang semakin menjauh.

“Entahlah! Aku juga gak tau dia kenapa.” Gumam Satria bingung.

Sesampainya di rumah aku di sambut hangat oleh ibu dengan pelukannya yang selalu aku rindukan. Ia menatapku penuh senyum dengan mata bahagianya, ia merangkul pundakku untuk masuk ke dalam.

“Gimana kamu di sekolah” tanya Ibu.

“Baik-baik aja kok, Bu.” Jawabku sambil membawa koper yang berisi pakaian.

“Ibu gimana kabarnya.” Tanyaku penasaran.

“Ibu sehat kok.” Balasnya membawaku menuju dapur untuk makan bersama.


***


Selama dua hari berada rumah, Satria tidak ada mengabari ku sama sekali, sepertinya ia begitu marah karena aku mengabaikannya secara terang-terangan. Aku berbaring di atas kasur dengan menatap layar ponsel, lemari pakaian ku terbuka lebar baju berserakan dimana-mana dan koper ku sudah menganga siap untuk di isi.

Aku masih bermalas-malasan sambil menatap layar ponsel berharap ada notifikasi darinya. Hingga tak terasa hari semakin gelap membuat aku terpaksa beranjak dari tidur.

“Nad! Buruan mandi, kita makan malam!” teriak ibu dari lantai bawah.

“Iya, Bu! Ini mau mandi!” sahutku sambil memasuki kamar mandi.

Seusai mandi, aku mengemasi barang-barang ku dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memoleskan wajahku dengan skincare yang selalu aku gunakan sambil menatap lama diriku yang berada di dalam cermin. Aku begitu jahat dalam memperlakukan Satria, tega sekali.

Aku turun ke bawah untuk makan bersama ibu, selesai menyantap makanan aku kembali ke kamar untuk mengambil koperku dan pulang ke asrama. Ibu menatapku dengan kedua tangannya menampung pipiku, lalu sebuah kecupan mendarat di keningku.

“Hati-hati, nak!” ucap Ibu melepas tangannya dari pipiku.

“Aku berangkat dulu ya, Bu.” Kataku masuk ke dalam taxi dan melambaikan tangan padanya. Ibu membalas lambaian tangan itu.

Selama di perjalanan aku melihat pemandangan dari kaca mobil dengan pikiranku yang entah ke mana. Aku bolak-balik melihat ponsel hanya mengecek apakah ada notifikasi yang terlewat olehku. Rasa gengsi telah menguasai diriku membuat aku malu untuk menghubunginya duluan.

Setelah beberapa jam akhirnya sampai juga di depan pagar sekolah, aku menyusuri jalanan sambil menarik koperku berjalan menuju asrama. Setibanya di lobi aku terdiam dan meraih ponselku, kali ini aku harus membuang rasa gengsi ku jauh-jauh untuk menghubunginya. Saat tombol send ku tekan aku bergegas menyimpan ponselku kembali ke dalam tasku.

“Nadhira!” jerit Dee mengarah padaku ketika aku memasuki kamar.

“Kenapa? Aku baru masuk udah main jerit aja.” Cetusku.

“Kangen loh aku! Gimana liburannya?” tanyanya membantuku membawakan koper.

“Biasa aja sih.” Balasku dengan suara memelas.

“Kamu berantem lagi ya sama Satria?”

“Ya begitulah, aku marah sama dia.”

“perkara di lapangan waktu itu?” tanya Dee memastikan.

“Jangan di ingatin lagi dong!” sergahku.

“Haha! Dasar cemburuan.”

Setelah memindahkan pakaian yang ada di koper ke dalam lemari aku beranjak ke atas kasur untuk tidur, aku meraih tasku dan mengambil ponsel di dalamnya. Aku melihat pesanku sudah di balas tak lama kemudian ponselku berdering dengan panggilan telepon masuk.

“Udah pulang ke asrama?” tanya Satria dari balik telepon.

“Udah tadi.” Jawabku.

“Kamu kenapa belum tidur?” tanyaku melihat jarum jam di dinding.

“Pesanku belum di balas gimana aku mau tidur.” Katanya sedikit kesal.

“Kan sekarang udah telponan, ya udah kamu tidur sana.” Ujarku mencari posisi tidur.

“Nanti dulu, aku masih mau mendengar suaramu.” Ucapnya membuat aku luluh seketika. Aku menahan senyumku.

“Yauda, iya.” Aku mendengar suara tawanya.

Aku mengiyakan permintaannya membuat ia merasa senang dan mengobrol banyak hal padaku sampai akhirnya kita berdua lupa akan waktu saking asyiknya bercerita. Itu menjadi malam yang panjang bagi aku dan dia hingga akhirnya tertidur dengan tenang.


***


Hubunganku dengan Satria mulai membaik seiring dengan komunikasi yang berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Aku dan dia mulai saling terbuka satu sama lain bercerita tentang hal apa pun. Hari-hariku kembali indah seperti pertama kali dicintai olehnya. Setelah sekian hari menjalani hubungan aku bahkan sampai melupakan tentang janjiku pada ibu.

Ketika jam pelajaran di mulai, Kami fokus mengerjakan sebuah tugas yang di berikan secara pribadi. Biasanya Bu Vita selalu memberikan kami tugas secara berkelompok namun kali ini tidak, Bu Vita ingin melihat sudah sejauh mana siswa yang lain memahami mata pelajaran nya. Saat di tengah jam pelajaran tiba-tiba muncul kepala sekolah yang bertamu ke kelas kami.

“Permisi, Bu Vita! Saya minta waktunya sebentar.”

“Iya, Pak, silahkan masuk!” ucap Bu Vita memberi izin.

“Baik, anak-anak! Bapak minta waktunya sebentar, ya!” seru bapak kepala sekolah membuat kami berhenti menulis seketika.

“Minggu depan kita akan mengadakan study tour, jadi bapak mengharapkan kalian bisa pergi semuanya. Di jaga kesehatannya, ya!” Terang bapak kepala sekolah memberikan sebuah pengumuman.

“Iya, pak!” jawab kami bersama.

“Terima kasih, Bu, saya permisi dulu!” ujarnya meninggalkan kelas kami.

Seisi kelas mulai terdengar ribut mendapatkan pengumuman yang menyenangkan, membuat kami menjadi tidak fokus mengerjakan tugas yang di berikan tadi.

“Ayo, selesaikan tugasnya dulu!” seru Bu Vita mengingat jam pelajaran akan berakhir.

“Ini akan jadi perjalanan yang menyenangkan, sih!” gumamku dalam hati.


Here With(out) You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang