EPISODE 30

18 2 0
                                    

Jingga mewarnai sebagian langit yang membiru, kicauan burung yang melayang hendak menuju pulang. Mentari perlahan mulai tenggelam, deru angin yang bertiup membuat gesekan antara dedaunan hingga berderik. Ramai yang duduk di roof top untuk menyaksikan pertandingan yang di selenggarakan oleh siswa di asrama mereka, kami bisa melihatnya dari atas ini.

Menyelonjorkan kaki ke bawah sambil sesekali menggoyangkannya, banyak penonton yang terbuai menikmati pertandingannya. Seketika aku teringat dengan Haifa yang menghindar saat kedatangan ku, membuat aku menoleh ke arah Dee yang duduk di sampingku ia pasti tau ceritanya. Aku menepuk pahanya membuat ia merintih melirikku.

“Kenapa?” tanyanya.

“Haifa tadi kok tiba-tiba pergi pas aku datang!?” ungkapku membuat Dee mengernyitkan dahinya.

“Kapan?”

“Siang tadi pas pulang sekolah.” Jelasku membuat ia ingat dengan kejadiannya.

“Oh, itu! Jadi gini—“

Saat satu persatu siswa mulai meninggalkan kelas Haifa tidak mendapati Elva yang berada di mejanya. Ia langsung bergegas keluar dan mengejar Elva yang sudah berjalan menuju asrama, wajahnya tampak kesal karena Ale menyinggung perasaannya yang sedang bertanya ada apa dengan dirinya.

“Elva!” teriak Haifa dengan napas terengah-engah menghampirinya. Mendengar namanya terpanggil ia pun berhenti.

“Kenapa?” tanya Elva penasaran apakah barang Haifa ada terbawa olehnya.

“Maafin Ale ya, tadi dia kasar ke kamu.” Ucap Haifa dengan tatapan sedu. Dee pun langsung menghampiri Elva yang sedang berbincang dengan Haifa di tengah jalan pulang.

“Kok—Emang nya ada apa sih?” tanya Elva penasaran. Dee pun memasang telinga untuk mendengarkan.

“Tadi itu kan aku sama Ale berduaan di kelas, terus kepergok sama Aisa. Habis itu dia pergi lagi sama Nur. Tau gak kenapa Pak Syamsul ngomong begitu? Kayaknya Aisa ngadu ke guru mungkin ceritanya terdengar sampai ke telinga Pak Syamsul.” Terang Haifa panjang lebar.

“Jadi itu yang buat Ale ngamuk tadi.” Ujar Dee, Haifa menganggukkan kepalanya.
“Ngapain kalian berduaan di kelas?” tanya Elva ingin tahu, apa yang membuat Aisa sampai mengadu pada guru tentang mereka berdua.

“Ya—gak ada, di luar kelas juga ramai kok.” Tukasnya seolah menyembunyikan sesuatu, saat melihat aku mulai mendekat Haifa memelankan suaranya ketika berbicara dengan mereka berdua.

“Jangan kasih tau yang lain, ya!” tegasnya mengingatkan, lalu pergi begitu saja.

“Gitu ceritanya, dia gak mau kamu tau tentang itu.” Terang Dee sambil melihat pertandingannya.

“Jadi karena aku dekat dengan Aisa makanya dia menghindar pas aku dekat?” aku menaikkan ujung bibirku.

“Bisa jadi! Mungkin dia berpikir kalau kamu dengar obrolannya kamu bakalan ceritain itu ke Aisa.”

“Sekarang aku udah dengar.” Kataku dengan ketus.

“Terus bagaimana tanggapan kamu? Kamu bakalan ceritain ini ke dia?” tanya Dee menatap dalam mataku.

“Ya enggak, lah! Malah aku ngerasa aneh dengan sikap Aisa yang sampai segitunya. Iya aku tahu dia masih suka dengan Ale, emang boleh sampai—ah entahlah!” aku menghentikan ucapanku takut salah bicara.

“Ya udah, biarin aja lah mereka.” Gumam Dee tersenyum simpul melihatku.

Setelah tiga puluh menit, pertandingan pun berakhir. Satu persatu penonton yang melihat mulai meninggalkan roof top kini hanya ada aku dan Dee yang menikmati indahnya mentari ketika hendak tenggelam. Hingga kegelapan mulai menyelimuti malam dan terbitlah bulan yang terang.


***


Hari-hari berlalu begitu cepat, semenjak kejadian itu Ale dan Haifa selalu menghindar ketika berdekatan dengan Aisa. Rasa kebencian Ale tak mudah hilang begitu saja, tampaknya ia masih belum bisa memaafkan Aisa yang sudah membuat jelek namanya di kalangan guru.

Aisa bisa merasakan itu, rasa kepekaannya terhadap orang-orang di sekitar yang menghindarinya karena perbuatannya sendiri. Ada secercah rasa bersalah di hatinya ia mencoba merayu Haifa dengan mengajaknya berbicara.

“Bunganya kok bisa gitu?” tanya Aisa melihat Haifa yang sedang memegang pot bunga setelah menyiramnya. Ia tidak menggubris pertanyaan Aisa dan berlalu begitu saja.

“Dia masih marah kayaknya.” Ujar Nur menghampiri Aisa yang ditinggalkan sendirian.

“Ya udah, sih biarin aja! Aku udah coba buat ngajak ngobrol kok.” Ucap Aisa ketus dengan mimik wajah liciknya. Nur hanya bisa menggelengkan kepala.

Aisa berjalan melintasi koridor kelas dua belas, di mana saat ini Althaf berada di posisi kelas tersebut. Ia tampak sedang berbincang dengan lawan bicaranya, Aisa mengintipnya dari luar jendela. Menyadari hal itu teman sekelas Althaf langsung keluar memergokinya.

“Ngapain kamu di situ?” tanya Fiona teman sekelas Althaf.

“Hm, itu! gak ngapa-ngapain, kak.” Ucap Aisa merasa ketakutan karena mendapati dirinya sedang mengintip.

“Lagi liatin Althaf, ya?” tanya kakak kelas tersebut, Aisa tersenyum ketika mendengar namanya.

“Dia udah punya pacar, loh!” ucap Fiona mengingatkan.

“Iya kak, tau kok.” Gumam Aisa lalu meninggalkan kelas dua belas tersebut.
Aisa berjalan cepat untuk kembali ke kelas, ia langsung menghampiri Lyta yang tengah duduk sendirian menikmati roti yang ia makan. Napasnya terengah-engah ketika duduk di bangku sebelahnya.

“Kenapa!?” tanya Lyta keheranan melihat dirinya.

“Aku butuh bantuan kamu.” Ucapnya sambil mengatur napas.

“Apaan?”

“Kamu masih pacaran sama bang Bagas, kan?” tanyanya memastikan.

“Iya, kenapa emangnya?” tanya Lyta sambil mengangkat botol minumnya.

“Bantu deketin aku dengan bang Althaf.” Pinta Aisa dengan wajah tersipu. Lyta terkejut dan menyemburkan minuman yang ada di mulutnya.

“Gak salah dengar aku? Abang itu udah punya pacar, loh!” seru Lyta menyadarkan keinginannya. Aisa memohon padanya.

“Ya udah, nanti aku bilang sama bang Bagas.”

Keesokan harinya, Aisa mulai mendekati Lyta untuk mengetahui bagaimana perkembangan selanjutnya. Ia mulai tertarik pada Althaf hingga sering memberikannya sebuah bingkisan berupa makanan yang ia suka. Aisa tampak senang ketika Althaf dengan senang hati menerima pemberian darinya walaupun Althaf tidak tahu siapa yang memberinya.

Dalam tiga hari berturut-turut saat sedang berangkat ke sekolah atau tak sengaja berpapasan dengannya di jalan, Althaf selalu tersenyum ke arahku. Awalnya aku mengira ia tersenyum dan menoleh ke arahku karena sedang mengobrol dengan teman di sampingnya. Di hari kedua juga begitu, sampai pada akhirnya saat aku sedang jalan sendirian ia benar-benar tersenyum ke arahku, senyumannya yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

“Dia kenapa, sih?” aku mengernyitkan hidung dan melengkungkan bibir ke atas keheranan melihat tingkahnya.

Tiap kali ada kesempatan, di manapun itu ia selalu tersenyum ke arahku. Membuat aku merasa aneh padahal dia sudah punya pacar. Lyta tampak bergegas berjalan menuju kelas untuk memberitahu hal penting pada Aisa mengenai kedekatannya.

“Aisa, gawat!” teriak Lyta menghampiri mejanya. Membuat Aisa terkejut hingga beranjak dari duduknya.

“Ada apa!?” tanyanya dengan jantung berdegup kencang.

“Kamu mau tau gak!? ternyata selama ini bang Althaf mengira pemberian dari kamu sebenarnya dari...” Jelas Lyta dengan napas terengah-engah.

“Hah!? Kok bisa!?” Aisa terkejut mendengarnya. Ia melirikku dengan tatapan sinis.

Here With(out) You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang