Malam di mana aku sedang duduk sambil menikmati alunan instrumen yang terputar dengan jari-jari ku yang menari di atas kertas. Menulis beberapa kalimat yang terbentuk menjadi sebuah paragraf dan terciptalah satu cerita.
Kala di mana aku asyik menghayati sebuah imajinasi yang selalu bermunculan di kepalaku. Rasa senang ini aku berharap akan menetap hingga keesokan harinya.
Tak lama kemudian, ponselku berdering ada sebuah pesan masuk dari temanku. Aku langsung mengeceknya dalam keadaan hati sedang bahagia yang memperlihatkan senyuman melengkung di wajahku. Dalam sekejap senyuman itu memudar hatiku hancur seketika aku melihat isi pesan tersebut. Betapa terenyuh batinku membayangkan pesan yang aku baca tadi, aku baru saja merasakan terbang melayang di lautan awan harus terhempas ke bumi hingga ke kedalamannya.
Air mataku sudah tak terbendung lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Semudah itu perasaanku hancur, aku menggila karena tak terima. Dia yang aku cinta menjalin hubungan dengan teman dekatku sendiri. Aku sampai mengutuk temanku, tidak adil rasanya, dia yang sejak dulu tahu bahwa aku suka bertahun-tahun lamanya.
Aku mulai mencari kontak temanku yang lain hanya untuk memastikan. Air mata yang terus berlinang sudah tak sanggup lagi aku menahan. Aku terus mengingat-ingat dan mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Seseorang tolong sadarkan aku kalau ini sebenarnya tidak nyata!”
Aku menatap tanganku gemetar, rasanya sesakit ini mengamati apa yang sudah teringat. Sudah sejak lama aku menduga akan hal itu namun aku tidak menyadarinya. Mereka sudah lama memiliki perasaan yang sama hanya saja keduanya menanti kapan waktu yang tepat untuk menyatakan itu.
Aku dan temanku yang sama kagetnya tak percaya, keduanya sudah menjalin hubungan sejak lama kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Temanku yang mendengar isak tangisku ikut tak berdaya mencoba menenangkan dan meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku mendengar dengan saksama yang ia katakan tentang bahwa ia juga mengetahui hal ini dari orang lain juga.
“Aku sudah sadar sejak awal! Feeling ku tidak pernah meleset, pikiran positif selalu membantuku untuk tetap tenang bahwa pada hari itu mereka masih sama seperti sebelumnya, cuma teman.” Jelasku dengan penuh kegeraman
Aku teringat akan kalimat pujian dan persetujuan yang pernah teman-temanku utarakan pada waktu itu, sehingga membuat aku berharap bisa bersamanya sampai saat ini. Jari-jari ku terus gemetar, rintik demi rintik air mata jatuh membasahi buku dan tulisanku.
Aku mematikan telepon yang tersambung dengan temanku, aku meminta waktu untuk sendiri dan menenangkan semua yang terjadi.
“Cukup hatiku saja yang berantakan, yang lain jangan!”
Imajinasi yang sejak tadi berkumpul di kepalaku mendesak tak sabar untuk dituliskan, munculnya sebuah notifikasi membuat semuanya hancur lebur tak bersisa. Aku membanting ponselku dengan penuh emosi, aku tidak dapat mengontrol hatiku yang sangat berantakan ini. Aku merasa kehilangan segalanya tidak ada tempat untuk aku bertumpu bahkan di rumah sendiri, tidak ada tempat yang bisa aku sebut dengan rumah, seberantakan itu diriku.
Aku putus asa, aku begitu lemah. Bagaimana lagi aku harus membentuk dan membangun perasaan semangat ini. Aku meringkuk di atas kertas-kertas yang bertebaran dengan penuh coretan. Berkali-kali aku mengutuk diriku kenapa aku menggila seperti ini.
Apa aku terlalu malu mengingat tentang di mana aku pernah menyatakan perasaanku padanya?
“Aku sudah menganggap mu seperti seorang adik.”
Kalimat penolakan yang cukup menyakitkan. Memang setelah aku mengungkapkan perasaanku, aku merasa lega walau aku tahu seperti apa nanti jawabannya dan aku harus siap mendengar dan menerima konsekuensi dari apa yang telah aku lakukan. Mengetahui tentang hal itu temanku cukup marah.
“Bodoh sih, kenapa harus confess?”
“Aku capek mendam perasaan ini cukup lama, aku juga udah mikirin ini dengan sangat matang sampai kematengan, aku tidak berpikir akan diterima walaupun aku sedikit berharap. Aku sudah siap dengan konsekuensi itu.”
“Terus gimana perasaan kamu sekarang setelah mengungkapkan itu?”
“Lega, aku merasa beban yang aku pendam selama ini hilang begitu aja tapi tidak dengan perasaanku padanya.”
Senyum tipis kembali terukir, berulang kali aku meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku meringkuk menguatkan pelukan pada kedua lututku. Ternyata pura-pura kelihatan baik-baik saja sesakit ini. Rasa yang menyesak di dada mengingat kejadian demi kejadian yang telah aku lalui membuat tangisanku pecah tak terhentikan.
Sudah berjam-jam lamanya aku masih dengan posisi yang sama mata sembab yang tak bisa ku sembunyikan lagi membuat aku lelah dan menimbulkan rasa kantuk. Aku membiarkan kamarku berantakan dan mengambil posisi untuk tidur. Aku memejamkan mata dan berharap aku bisa melupakan kejadian saat ini.
Nyatanya ini tidak berlaku untuk aku yang gampang ke pikiran hingga terbawa ke alam mimpi. Sudah beberapa kali aku memimpikan dia, jika aku terus memimpikan orang yang sama berulang kali aku mengartikan itu bahwa aku masih ada harapan bersama seseorang tersebut.
Justru kebenarannya tidaklah seperti itu, sampai kapan pun dia tidak akan menjadi milikku, aku terlalu besar menaruh harap padanya. Aku sudah tidak sanggup dengan semua mimpi yang aku alami. Hingga pada akhirnya aku memutuskan hubungan komunikasi dengan mereka demi ketenangan hati dan juga pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With(out) You
RomanceKisah ini bukan hanya menceritakan tentang percintaan yang rumit, tapi juga soal hubungan persahabatan yang rumit. Tentunya ini akan menjadi kisah yang unik dan menyenangkan bagi setiap karakter yang menjalani perannya. Apakah hubungan persahabatan...