CALL - 35 | TSUKITA HANAOKO

2.3K 275 22
                                    

"Istri lo nanya lagi. Gue gak enak kalau terus-terusan bohong," kata Haar.

Jan Lakis yang sedang fokus dengan pekerjaannya hanya melirik lelaki itu sekilas saat Haar menaruh ponselnya di meja yang sama dengannya. Bibirnya tetap terkatup menarik garis lurus tampak tak berniat memberi tanggapan apapun. Geriknya yang terlampau tenang membuat Haar gemas.

Terhitung sudah tiga hari Jan Lakis tidak pulang ke kondominium, ia tahu istrinya berulang kali mencoba menghubunginya; melalui ponsel pribadinya maupun menghubungi orang-orang berkaitan Jan Lakis yang Samira ketahui. Ada sebersit rasa bersalah dan mengerti bahwa tindakannya yang terus menghindar seperti ini bukanlah sikap bijak dan dewasa. Tetapi, sungguh, Jan Lakis bahkan tidak mampu menyebut namanya apalagi mendengar suaranya setelah apa yang ia terima malam itu.

Ya, Jan Lakis terlalu pengecut. Dia takut menghadapi kenyataan tersebut. Sejak malam itu, begitu karut hatinya. Dia tak siap mendengar penjelasan istrinya bila itu memang sebuah kebenaran. Sebab, hingga detik ini, Jan Lakis takkan mau lagi membohongi diri bahwa ia telah jatuh-sejatuhnya pada wanita itu. Dan tentu, perceraian takkan masuk ke dalam rencana hidupnya saat ini.

Maka dari itu, dalam masa pelariannya saat ini, Jan Lakis bukan berarti kabur dan berdiam diri saja. Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu dia lakukan.

"Gimana progresnya?"

Haar menghela napas berat. "Workload lo berat dan banyak banget ya, tolong. Jangan nanya progres sekarang! It's been 3 days!"

"Ya justru karena udah tiga hari," sahut Jan Lakis tenang tanpa simpati sedikit pun pada lingkar hitam di mata temannya itu. "Gue cuma nanya progres. Bukan hasil."

Lagi, Haar menghela napas. Kali ini lebih pasrah. Jan Lakis memperhatikan temannya itu yang masih diam, menerawang ke arah meja sementara tangannya sibuk memutar-mutar ponselnya. Dalam sekali tarikan napas, Haar berkata, "Ini lebih rumit dari yang gue kira."

"Dari awal gue gak bilang ini mudah 'kan?"

"Yaiya. But I didn't expected if this things will drag many old money. Kita harus lebih hati-hati. Tergelincir sedikit aja udah buat kita mendekam di jurang." Tak puas, Haar berkata seraya mendecak tak habis pikir. "To be honest I've never expected they really are the demons in real life. You know, the more we tried to find any information about them, the more we realize the world is scary." Mata Haar semakin tampak menerawang jauh dan dalam. Lalu, dia menoleh. "Is she know?"

Jan Lakis mengangkat sebelah alisnya, menatap Haar dengan pandangan bertanya.

"About what her father do," jawab Haar.

Jan Lakis lalu tertawa singkat yang lebih mirip seperti kekehan. Sebenarnya amat miris. "This is what we called politics, Haar. Jangan kaget begitu. Ini udah jadi konsumsi publik."

"Yaiya. Tapi-"

"Cukup cari tahu apa yang gue minta. Jangan ke lain hal. Itu bukan urusan kita," tukas Jan Lakis. Kali ini sangat serius.

Kedua pundak Haar tampak lebih luwes, tidak tegang sebelumnya. Dia berkata dengan serius menatap Jan Lakis, "Sejauh ini cuma ada satu kemungkinan yang gue simpulkan sama tim gue."

Hidung Jan Lakis berkerut mendengar nama keluarganya. Saat mata Haar menatapnya serius dan tajam, Jan Lakis bersikap terkendali seolah dia tidak penasaran sama sekali sebab sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh kawannya itu. "Kali ini Saudjaja mau main bersih, tetapi mencemplungkan diri ke kolam kotor," ungkap Haar.

Jan Lakis tertawa. Suaranya agak kencang meskipun singkat. Tawanya adalah jenis tawa yang terdengar sinis sekaligus senang. Tak salah dia meminta bantuan Haar. Itu adalah jawaban yang memang ingin Jan Lakis dengar.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang