Prolog

6 1 0
                                    

Prolog.


Jika ini mimpi, aku nggak mau terbangun untuk waktu yang lama.
Aku tahu ini mimpi, karna aku nggak akan melihat perempuan tua yang berdiri dihadapanku ini di dunia nyata, dan aku nggak mau terbangun padahal sudah terisak sangat hebat. Tubuhku kehilangan tenaganya, mataku berderaian air mata, namun seorang perempuan di depanku nggak juga melangkah untuk sekedar memberi pelukan dan mengatakan ‘nggak apa-apa’ untukku. Lututku jatuh ke tanah, aku memukul dadaku yang sesak karna tangis, sembari menatapnya seolah memohon untuk diberi pelukan penuh kasih.

“sudahlah” seorang pemuda yang baru datang dari belakang punggungku berkata, ia melewatiku setelah menepuk bahuku dua kali. Itu kembali membuatku sesegukan lebih hebat lagi, karna aku kembali menyadari bahwa dua orang ini, nggak bisa kutemui dengan mudah lagi jika membuka mata sekarang.

“peluk aku, kumohon…” amat lirih tapi aku harap mereka mendengar permohonanku itu.
Namun semua sirna, getar ponselku mengirim dunia nyata kembali disaat yang nggak kuiginkan. Udara dingin menyambut pagi mendung ini, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang, waktu untuk bangkit dari kasur jika aku nggak mau ketinggalan bus lagi.

Aku mengusap air mata yang tersisa, namun isak kembali datang dan aku sangat yakin ini awal yang berat untuk memulai hari. Sudah hampir tiga bulan ini aku terus memimpikan mereka, dua orang itu. Aku menghela nafas berat lalu memeriksa ponselku sebelum masuk kamar mandi.

Bus melaju ke jalanan ramai, padat banyak orang sibuk di sepanjang jalan kota pagi ini, sama halnya dengan hari-hari biasanya. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke pustaka dari rumahku.

“selamat pagi” ujar seseorang menyapaku setelah masuk ke satu ruangan disana.
“selamat pagi” aku membalas cepat
“kau nggak terlambat seperti kemarin” seorang penjaga yang sudah hafal dengan kedatanganku hampir setiap hari itu berujar lagi.
“ya, begitulah” aku menjawab seadanya.
“anda tau dimana Master ash berada?” aku bertanya kemudian
“aku disini” seseorang yang kupanggil Master itu tersenyum kecil, ada kacamata bulat bertengger di batang hidung mancungnya. Jika melihatnya sekilas, tampak beliau ini nggak begitu tua, padahal umurnya hampir setengah abad. Ia seperti ayahku, walau aku nggak pernah tau bagaimana wajah kandungku karna ia menghilangkan diri entah kemana dari aku masih sangat kecil. Sekali lagi ia bukan ayahku, hanya saja karna umurnya yang sudah setua itu aku menyebutnya begitu.
Aku menatapnya sendu, perasaanku belum membaik sedari bangun tidur pagi tadi, ia menyapa penjaga Perempuan tadi sebelum berjalan kearahku.
“siap untuk perjalanan selanjutnya, ance?” ia jelas tau kacaunya perasaanku saat ini.


Sedetik setelahnya aku tau, kakiku tak lagi berada di lantai perpustakaan tua itu.

Hiraeth: In Every Universe.
 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang