Perpustakaan Kota

3 1 0
                                    

Perpustakaan kota
'berhentinya waktu di duniaku'

6 bulan lalu, aku nggak menyangka masih menghirup udara dan tetap berdiri di atas bumi, aku nggak menyangka diriku bisa melewati masa-masa kritis dan mengguncang itu. dari dalam kamar suramku, terdengar kendaraan saling bersahutan seolah meminta ruang untuk menguasai jalanan, menghantam kelamnya embun yang menghalau. Kehidupan di luar sana jauh lebih hidup dibanding kamar yang nggak kubiarkan bersinar dan nggak tersentuh sinar matahari ini. Tubuhku meringkuh lebih dalam kasur dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal. Hari-hari hujan tiba dengan cepat, menjadi lebih dingin dari waktu ke waktu.

Aku nggak mau berusaha untuk muncul ke permukaan penuh sesak manusia dan menatap sibuknya sekitar, aku hanya sedang menangkis semua pikiran ribut di kepalaku yang selalu berawalan kata 'andai, jika, kenapa'seolah aku masih ingin waras. Seperti saat ia masih terjangkau dalam pandanganku. Aku terlalu suka kenangan itu, terbuai bak mimpi tanpa bangun. Benar bila ini mimpi, biarkan aku terlelap sampai matahari berpamitan pada penduduk bumi.
Aku memeluk selimut lebih erat, lalu berkata dalam hati

'kumohon, aku akan lebih banyak berdo'a, aku akan lebih banyak berbuat baik lebih dari kemarin, aku akan lebih banyak belajar, jadi kumohon tuhan, kumohon jangan tenggelamkan aku ke dalam kenangan indah itu, Tarik aku kembali ke permukaan karna itu terlalu indah sampai aku kesulitan untuk tetap waras.'

Wajahku pernuh air mata, aku bahkan nggak berusaha untuk mengusap mereka dan membiarkannya kering. Ini sudah cukup melelahkan, aku sudah kelelahan dengan segala riuh kepalaku.
Seseorang nggak berusaha menghubungiku, mungkin aku akan terjebak lebih lama di kamar gelap ini. Setelah ibu meninggal aku sering datang ke pemakaman dan mengobrol setidaknya sepuluh menit lalu pergi berpamitan.

"hai bu, ini aku ance. Setelah ibu pergi orang itu juga nggak memgabarikusama sekali, ia menghilangkan diri dan aku nggak tau harus mencari atau mengabaikannya tapi ya sudahlah, aku nggak punya tenaga untuk melakukan hal lain sekarang ini."
Aku menatap sekitar, sunyi nggak ada orang lain selain aku disin.
"aku selalu menyuruhmu berdo'a untukku, kali ini aku juga mau mengatakan itu bu, tapi aku ingat sepertinya sekarang aku yang akan lebih banyak berdo'a untukmu" air mata jatuh terlalu cepat dari telapak tanganku, aku mengusapnya kasar.
"mungkin hidup sendiri seperti ini awalnya melelahkan tapi tak buruk juga. Aku masih berlum terbiasa kau nggak ada di rumah bu, aku belum percaya semua ini terjadi." Aku mengumpat air mata yang mengalir bebas di pipiku, melelahkan karna harus mengangkat tangan untuk mengusapnya lagi, ah sial.
"aku nggak mau kau pergi, aku nggak mau tinggal sendiri, aku mau kau membelaku saat sesuatu nanti berhasil melukaiku, atau memarahi musim hujan yang panjang karna selalu bikin hidungku mampet, aku ingin kau memarahi mereka untukku."
Dan benar saja, diatas sana awan sudah berubah menjadi kelam lalu angin berhembus kencang menghantam wajahku. Satu umpatan terucap spontan untuk angin itu, karna rasanya wajahku membeku sekarang.
"bu, aku takut jatuh cinta lagi tapi aku juga takut nggak dicintai oleh siapapun di dunia ini setelah kau nggak ada." Aku menunduk membiarka air mataku luruh begitu saja, isak sayup-sayup terdengar menyakitkan bersamaan dengan gerimis kecil yang mulai membasahi sekitar.
"sial, ini menyakitkan"

Tiba-tiba aku merasakan ada sebuah tepukan lembut di bahuku, ia menatapku lama lalu berujar
"awalnya aku ingin mencarimu di rumah, tapi kupikir kau ada disini" seorang pemuda, aku tau dia siapa, seorang yang terakhir kali kubahas bersama ibu, seseorang yang membuatku takut untuk jatuh cinta lagi.
Aku mengusap air mataku cepat setelah memutuskan kontak dengannya.
"maaf" katanya lirih, tapi nggak tau 'maaf' untuk apa. Ia memandang jauh sembari berkata begitu.
"sebaiknya kau pergi" ujarku tanpa menoleh kepadanya
Ia mengangguk, lalu meletakkan bunga mawar putih diatas makam ibu sebelum menjauh dari hadapanku.
"semoga ini nggak sulit untukmu, maaf" aku nggak membalas perkataannya sampai punggungnya tak lagi terlihat.
'aku nggak tau untuk apa kau meminta maaf, setidaknya katakan dengan jelas' lirihku pelan.

Duniaku yang nggak ramai dan nggak punya banyak kegiatan menakjubkan itu berhenti berputar, aku memutuskan untuk menerima semua rasa sakit yang sedang melandaku silih berganti setiap hari itu, dan memberi diriku sedikit waktu untuk egois sebentar sampai lukaku mengering. Ibu bukan pelaku dari hancurnya diriku, hanya saja ibu terlalu berharga sampai aku nggak tega untuk berusaha baik-baik saja padahal ini sesak sekali, ibu juga akan mengerti semua tangis dan jatuhku karna sekali lagi ia begitu berharga untuk nggak dikenang oleh siapapun karna ia hanya punya aku. Karna pada akhirnya aku sadar, yang benar-benar kita miliki hanya sebuah kenangan dan ibu adalah kenangan itu sendiri. Biarkan aku runtuh dan rapuh sejenak, biarkan duniaku berhenti sejanak, aku percaya ibu mengerti hancurku karna sejatinya, ia juga menangis sebelum memejamkan mata untuk nggak lagi membukanya selama sisa umurku karna ia meninggalkanku sendiri.
Aku berkata dalam isak
"hey, seharusnya kau meminta maaf pada ibuku, karna membuat putrinya menangis, aku benar-benar takut nggak dicintai sama siapapun lagi, sial kau, ryu!."

'Hujan usai, hanya sedikit rintik yang menyusul hilang.
Manusia akan terganti, akan berubah, akan saling meninggalkan,
dan susah dilupakan,
mereka juga punya rencana panjang untuk hidupnya,
tapi kenapa aku tidak begitu?
Hidupku seolah mudah meninggalkanku sendirian,

tanpa rencana, banyak keraguan, dan ketakutan.
Ya, aku takut.
Pada banyak hal di depan sana.
Aku juga nggak tau kenapa menangis hanya memikirkannya'

"Aku belum mau baik-baik saja, aku masih ingin bersedih"

Alancevia, 2024.

Hiraeth: In Every Universe.
 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang