Ziel, pemuda itu.

1 1 0
                                    

Ziel, pemuda itu.

'gerimis kota yang bertahan lama'

Malam itu, aku baru keluar kamar dengan kondisi agak kacau sehabis mengucapkan kata perpisahan untuk ryu, itu karna kejadian di taman beberapa hari lalu. Mataku panas habis menangis dan aku haus. Ibu tampak berjalan kearah ku.

"mau makan, ance?" aku menggeleng cepat tanpa menoleh

"kamu belum mau cerita?"

"nggak mau juga nggak papa"

Aku meneguk minumku sebelum berlalu dari dapur

"nanti ya bu" ibu hanya menatapku yang menjauh

Aku ingin menikmati hari patah hati ini, aku akan menghabiskan waktu untuk kacau sebentar lalu nanti, setelah diriku sendiri sudah selesai dengan lukanya, aku akan kembali menjalani hari yang tertinggal, lagipula aku juga berjanji nggak akan menampakkan diri di hadapan orang itu, lagi.

Ibu datang ke kamarku malam itu, aku tau ibu resah dan mungkin tau apa yang terjadi pada putrinya ini. Karna orang yang biasanya menjemputku untuk pergi ke kampus hampir setiap hari itu juga nggak datang ke rumah, ibu pasti tau alasan dari wajah kusut dan muramku beberapa hari ini. Ibu duduk di samping ku, sembari mengelus rambut yang baru kupotong lebih pendek itu, ibu mulai berkata

"ance, ibu bukannya nggak tau kamu kenapa, tapi ibu lagi ngasih kamu waktu buat memproses semuanya" ibu nggak protes dengan aku yang meletakkan kepalaku di pahanya.

"kamu nggak perlu mikirin apa kamu kurang atau kamu nggak baik buat orang lain, itu bukan salah kamu sepenuhnya, ance. Kadang, ada hal-hal yang nggak bisa kita kendalikan, dan kita cuma bisa berharap dapat yang baik dari perbuatan baik kita"

"nggak apa-apa buat ngerasa perlu istirahat dari semua yang buat kita sedih, tapi ingat jangan rugi lebih banyak, orang-orang yang buat kamu ngerasa sedih sekarang masih bisa hidup dengan baik, jangan biarin dirimu tenggelam lebih dalam lagi, karna semakin dalam kamu tenggelam, orang terdekat kamu juga nggak mampu buat narik kamu ke permukaan. Yang mau ibu bilang disini adalah, Cuma kamu yang bisa narik dirimu sendiri, bangun dari kekacauan ini dan mulai berenang untuk menggapai tangan orang-orang yang mengulurkan tangannya untukmu"

Aku meloloskan air mata lagi dan ibu mengelusku lebih, penuh kasih sampai aku memelukknya dalam isak

"nggak papa, sayang. Semua berproses, kamu baik-baik aja selama ada ibu disini"

"ini nyebelin bu" ibu mengangguk seolah paham maksudku

"nyebelin..."

Aku menatap keluar jendela lama sekali sembari memikirkan kacaunya aku beberapa bulan lalu saat masalah percintaanku dengan orang itu terjadi. Aku tau kenapa tiba-tiba mengigat kejadian itu alasannya karna pemuda tadi. Seperti sebuah luka yang terbuka, aku merasa takut semuanya yang nggak bisa kukendalikan kembali terjadi, setelah berpisah dengan ryu aku selalu takut jatuh cinta karna rasanya terlalu menyakitkan. Aku merasa menutup diri lebih ketat dari sebelumnya, membatasi interaksi dengan hampir semua orang di lingkunganku dan nggak suka bersosialisasi dengan mereka, aku nggak mau merasakan rasa suka lagi, lalu berpisah lagi, aku nggak mau punya masalah yang sama dan itu membuatku jadi orang lebih menyebalkan dari sebelumnya, sampai orang lain malas berurusan denganku sangking menyebalkan dan membosankannya aku.

Melelahkan karna harus mengendalikan diriku lagi saat perasaan suka atau semacamnya itu datang, padahal sudah cukup lama kejadian itu berlalu di hidupku, tapi aku merasa nggak berniat untuk mulai menggali luka yang sudah mengering itu dengan luka baru untuk saat ini. Dan bohong pemuda hari ini nggak menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku, perasaan ini bukan karna kepercayaan diriku yang tinggi tapi karna ketakutanku yang tinggi. Ada banyak orang yang hanya penasaran sampai nggak ingat batasan, padahal mengikuti alur pertengkaran antara logika dan perasaan saat menyukai sesuatu itu pekerjaan teramat sulit.

Hiraeth: In Every Universe.
 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang