27. Kesibukan

52.4K 2.3K 15
                                    

     Darka menatap kamar Delin. Kamar anak gadis yang menjadi kembang desa yang bersih dan sederhana.

"Maaf, kak. Ga ada kamar tamu di rumah kita," Delin berdiri di belakang Darka yang asyik memandang ke setiap juru kamarnya.

Darka menatap gambar-gambar yang disobek dari majalah itu. Dengan penasaran Darka membukanya ternyata bolong.

"Ceroboh!" Darka bukannya tidak nyaman, dia justru marah karena bayangan di kepalanya sendiri.

Bagaimana jika ada yang mengintip Delin.

Darka mencoba tidak emosi. Dia maklum, perekonomian keluarga Delin belum baik.

"Kalau ga nyaman—"

"Gue nyaman." potong Darka tegas.

Darka menyentuh besi yang berada di setiap sudut kasur lalu dihiasi kulambu anti nyamuk.

Darka tersenyum mesum sambil menoleh pada Delin. "Gue iket tangan sama kaki lo disetiap tiang ini,"  bisiknya.

Pikiran Darka mendadak liar.

"Ga bisa! Ibu sama bap—"

"Ck! Gue tahu!" potong Darka kesal, dia tidak segila itu. Datang ke sini pun untuk memulai bisnisnya bukan untuk melakukan itu dengan liar.

Delin pun tidak bersuara lagi.

"Lo tidur dimana?"

"Oh itu, sama ibu, kalau ayah di sofa maunya,"

*** 

Darka mencoba memejamkan mata. Dia mencoba menjadi Delin sehari. Kasurnya begitu keras, selimutnya tipis dan juga kaki Darka kepanjangan.

Darka tidak bisa tidur. Dia memilih bangun dan melihat-lihat isi kamar Delin lebih jelas lagi.  Ada beberapa foto.

Semuanya berisi Delin dari kecil hingga wisuda dan juga ada foto laki-laki, dua orang di antara Delin.

Satu lagi dia kenal. Itu Deril.

Darka berhenti melihat foto. Dia beralih pada catatan dan memo yang menempel di meja belajarnya yang terlihat usang.

Hanya ucapan motivasi dan harapan Delin mengenai desa dan sebelum kuliah sepertinya.

Tak ada lagi yang bisa dia lihat. Dia pun memutuskan naik ke atas kasur dan memulai tidur.

Di tempat lain Delin gelisah. Apakah Darka sungguh tidak masalah tidur di kamarnya?

Delin ingin melihatnya tapi dia ragu. Bisa saja Darka salah paham atau bapaknya memergokinya yang begitu mudah masuk ke kamar yang berisi Darka.

"Lin, apa Nak Darka baik ke kamu?"

Delin melirik ibunya dengan senyuman. "Baik, bahkan ibu tahu sendiri, kamar kosanku jadi bagus karena dia, dia menjaga banget," bohongnya walau tidak sepenuhnya berbohong.

"Ibu bahagia kalau kamu bahagia, semoga kalian berjodoh ya,"

Delin mengaminkan. Semoga juga ke depannya Darka semakin baik dan dirinya semakin nyaman menerima kebaikan Darka tanpa bepikir yang tidak-tidak. 

***

Darka dan Delin sama-sama sibuk. Jika pun ada waktu luang dan kesempatan, Darka hanya memeluk atau mencium tidak pernah lebih selama 3 minggu di desa.

Bahkan Denada dan Kevin pun sesekali ke desa untuk ikut melihat perkembangan bisnis yang sedang anaknya kerjakan.

Semua warga desa menyambut kedatangan mereka dengan begitu baik.

Denada dan Kevin pun tidak gengsi atau merendahkan mereka, apalagi hunian mereka walau pada akhirnya Denada dan Kevin di ungsikan ke rumah pak Rt yang lebih luas.

Keduanya tidak keberatan karena sambutan mereka yang seperti keluarga.

Kelak Denada dan Kevin ingin membuat vila di desa, ingin menghabiskan sisa umur mereka di tempat yang begitu hangat.

"Kak, makan dulu.." Delin menyiapkan makanan yang dia buat itu ke tempat di mana sebuah gedung yang masih di bangun.

Darka mendekati Delin dan duduk di sampingnya sambil menatap para pekerja dan warga sekitar yang datang untuk melihat.

"Dia adik, Deril?" bisik Darka.

"Ha? Oh iya, kenapa? Dia beda setahun sama aku," jelasnya.

"Genit, mepet terus gue sampai mau marah," bisiknya kesal.

Delin tersenyum. "Dia sama orang baru memang begitu, dulu.. Dia tuh," tunjuk Delin pada laki-laki seusia Delin. "Dia jamal, pindahan dari kota X waktu sekolah dasar, dia di pepetnya sampai risih, untungnya semua paham," terangnya.

Darka menerima sepiring makanan dan mulai memakannya, sudah dua minggu dia merasakan masakan Delin dan rasanya tidak terlalu mengecawakan. Pas di lidahnya.

"Kak bahan masakan habis, kayaknya kita harus ke kota.." Delin menatap Darka yang sudah selesai makan.

Darka mengusap kepala Delin sekilas. "Lo udah kayak istri gue kalau gini," kekehnya.

Delin bersemu.

"Beres gedung ini, kita nikah, beli tanah yang ditunjukin sama pak Rt, kita bikin rumah," putusnya semakin yakin dengan rencananya walau semua sudah diatur Tuhan.

Entahlah, lihat saja ke depannya nanti. Semoga niat baiknya tidak ada halangan.

Delin hanya tersenyum malu. Dia berdebar tidak bisa menolak lagi. Kebenciannya sudah hilang semenjak banyaknya kebaikan yang ditebarkan Darka selama ini.

"Iya, kita harus nikah biar kak Darka ga banyak ngeluh karena jatahnya tersendat," kekeh Delin.

"Apa?" Darka merespon dengan senyuman. "Usil!" dirangkulnya Delin, dia piting manja dengan rambutnya dikecupi.

Pemandangan yang membuat sekitarnya tersenyum bahagia melihat tokoh utama yang akan memajukan desa.

Sungguh tidak iri mereka. Tidak! Ralat! Ada yang iri satu. Mulan yang satu tahun lebih muda dari Delin.

Adik dari Deril yang menggantikan Delin sebagai kembang desa selama bertahun-tahun Delin mencari ilmu ke kota.

"Udah kak, rambutnya berantakan," keluh Delin dengan suara pelan khasnya.

Darka pun berhenti dan merapihkan rambutnya. "Bunda ga sabar kita nikah, lusa katanya mau ke sini lagi sambil bawa konsep-konsep menikah, itu pun kalau bunda ada waktu," jelasnya.

Delin tersenyum senang. Dia masih ingat malam itu. Malam yang menghebohkan satu desa karena keluarga Darka datang untuk melamar Delin.

Bahkan besoknya satu desa mengadakan pesta bahagia, tentu saja Denada dan Kevin sebagai otak pertamanya.

Dari situ Delin juga yakin, dia akan menerima Darka sebagai calon suaminya. Mengabaikan Deril yang beberapa hari sebelum lamaran Darka membicarakan masalah pernikahan juga.

Delin merasa ragu.

Darka terlalu menguasai jiwanya. Deril sudah terlambat dan beruntungnya temannya itu dewasa, tidak memaksa. Bahkan ikut bahagia saat tahu dia menerima lamaran Darka.

Delin benar-benar harus semakin yakin. Semoga ke depannya lancar jaya.

"Makan lagi, kak?" tanya Delin.

Darka menggeleng. "Gue kenyang, gue ke sana lagi, makasih makanannya," dikecup kening Delin lalu pergi.

Delin mengulum senyum malu menatap kepergian Darka. Ini sudah beberapa kali Darka mengucapkan terima kasih karena masakannya.

Tak hanya itu. Semenjak sibuk Darka mungkin lelah makanya tidak galak. Entah jika semua beres, apakah dia akan kembali galak atau tidak.

Delin menatap semuanya. Desa yang kumuh mulai tertata sedikit, jalannya tidak terlalu becek atau kering.

Di sisi lain Delin cemas. Dia tidak tahu ke depannya bagaimana. Apakah Tuhan mengizinkannya selalu bahagia seperti ini?

Dark Obsession (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang