"Kak Darka mau minum?" tawar Delin saat sudah satu jam perjalanan yang agak macet.
Darka hanya mengangguk, menerima botol dari Delin saat lampu merah dan hanya meneguknya sedikit. Darka malas cari toilet umum.
"Kalau ga macet perkiraan kapan sampe?" Darka membiarkan Delin membawa lagi sebotol air itu.
"Kadang 8,7,6,5 jam, kak.."
Darka membuka laci dashboard dan mengeluarkan satu ponsel dari sana yang sudah Darka atur.
"Ponsel baru lo, jangan pake yang lain!" tegasnya.
Delin menerima itu dengan syok dan gelisah. Dia tidak bisa menerimanya, itu barang mahal. Ponsel seharga 1.2juta saja sudah sangat mewah baginya.
"Engga, kak Darka.. Ini—"
"Pake!" potong Darka penuh perintah. "Gue ga mau banyak alasan!" tegasnya sambil fokus berkendara lagi.
Delin pun diam tak berani apa-apa lagi.
"Ma-makasih, kak.."
Darka tidak merespon hingga tak lama dari itu dia menarik jemari Delin tak ada lembut-lembutnya sama sekali lalu menggenggamnya.
"Kita cari makan dulu." putus Darka.
Delin hanya mengangguk dan menikmati perjalanan dalam diam. Dia tidak menyangka akan pulang di antar mobil mewah dan sosok Darka yang pasti mencolok saat di desa nanti.
***
"Delin!" Darka melotot dan telat menyambar gelas berisi air panas itu. Untung hanya cipratan saja yang mengenai Delin.
Tetap saja Delin kepanasan.
"Lo itu bego apa tolol sih! Lo fokus!" desis Darka seraya melap paha kiri Delin. "Lo biasain di tempat umum begini! Jangan norak! Lo panik kenapa sih! Tolol!" lanjutnya dengan pedas.
Delin berdebar sakit. Pertama kalinya dia dikasari begini dengan ucapan dan tatapan Darka yang merendahkan di matanya.
Delin menggigit bibirnya menahan dorongan tangis.
"Ga usah nangis! Dan berhenti gigit bibir! Itu tugas gue!" bisiknya masih kesal.
Delin melepaskan gigitannya dan air mata pun jatuh setetes.
Darka menyeka agak kasar air mata itu. "Lanjut makan!" perintahnya ketus.
Delin meraih lagi sendok dan mulai makan dengan sesekali menyeka air matanya agar tidak ketahuan Darka.
Padahal Darka tahu, di balik rambut menutupi wajah itu, Delin tengah menangis.
"Kita ke hotel beberapa jam, gue mau istirahat."
***
Delin meremas bantal, membiarkan Darka melampiaskan semua kesalnya. Delin mengenyampingkan wajahnya agar bisa bernafas. Terus terbenam di bantal rasanya dia kesulitan.
Delin menggigit bibir menahan desah yang dia benci.
Darka membalik Delin hingga kembali terlentang. Darka angkat kaki yang terkena air panas. Beruntungnya paha Delin yang mulus hanya memerah saja.
Darka kecupi sekilas lalu mulai lagi menekan masuk dan bergerak cepat agar cepat selesai juga.
"Gue harus jadi pacar yang baik di sana, awas aja kalau— Kalau lo tegang dan panik kayak ketemu penjahat." Darka semakin cepat, tak lupa menggerayangi Delin yang ikut terguncang.
Delin memejamkan matanya kuat-kuat saat Darka tak terkendali dan tak lama keduanya sampai bersama.
Darka ambruk dan membenamkan wajahnya di antara bahu dan leher Delin.
Keduanya terengah.
Darka mengecupi rahang Delin. "Berhenti panik dan merasa terancam saat deket gue. Kalau lo mau mereka ga gue sakitin, lo harus berperan dengan baik," bisiknya.
Delin mengangguk dengan nafas berangsung-angsur normal.
Darka beranjak dari atas Delin lalu memesan minuman dan makanan. Darka kembali lapar, mungkin makannya sedikit karena tidak nafsu.
Delin juga mulai beranjak, memeluk dirinya sendiri sambil memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai.
Darka hanya duduk di sofa dengan percaya diri dan tidak tahu malu. Minimal pakai dulu boxernya.
Delin mengambil semua pakaian Darka yang berserakan juga.
Darka menatap bagaimana tubuh indah itu sesekali menungging atau berjongkok memungut semuanya.
Delin yang gelisah dan malu selalu berhasil menghiburnya. Membuat fokus Darka tidak bisa terbagi.
"Ini—AGH!" Delin terengah panik saat lengannya ditarik Darka hingga terduduk di satu pahanya.
"Gimana kuliah?" Darka mengusap pinggang Delin, menahan tubuhnya agar diam dan tidak terjengkang. "Kata Demian, ada masalah,"
Delin mencoba mengalihkan pandang dan menahan rasa tidak nyamannya. Kaki Delin juga merapat agar tidak menyenggol belalai yang tertidur.
"Iya.. Ada kesalahan nilai, katanya bisa aja beasiswa dicabut," tatapan Delin meliar gugup sambil memainkan kuku jemarinya.
"Lo bisa lulus, gue biayain," Darka mengecup kening Delin lalu memindahkannya ke sofa saat mendengar bel kamar hotelnya berbunyi.
Delin mengerjap salah tingkah saat suara Darka sebelum mengecup keningnya mendadak lembut tak seperti biasanya.
Delin buru-buru mengambil lagi pakaiannya lalu bergegas membersihkan diri.
***
Darka melirik Delin yang asyik mengotak-atik ponsel. "Ternyata gue salah kasih lo ponsel, fokus lo jadi ga ke gue!" kesalnya.
Delin sontak tersentak dan mematikan ponselnya panik.
Lagi-lagi ekspresi itu. Darka mulai menatap Delin kian tajam saking jengkel. Apa tidak bisa Delin merespon senormal mungkin?
Delin terengah pelan saking panik. "Ma-ma-maaf," gagapnya saking merasa terintimidasi.
"Gue bikin lo kejang-kejang lagi di kasur mau? Supaya kita ga jadi ke rumah lo mau?"
Delin menyingkirkan ponsel itu. "Ga lagi, maaf kak," cicitnya panik dengan kepala menunduk.
"Bukan soal ponsel!" tegas Darka. "Soal lo yang panikan, merasa terancam!" amuknya.
Delin meremas jemarinya yang bergetar, dia terpejam kuat saat Darka mendekat seolah akan menamparnya.
Tapi ternyata tidak. Jemari Darka mengangkat wajah Delin agar menghadapnya.
"Jangan takut, jangan nimbulin curiga, rileks.." suara Darka dibuat selembut mungkin. Darka mencobanya sama berat seperti Delin yang mencoba tetap tenang.
Delin mengangguk.
Jempol tangan Darkan mengusap setiap sisi pipi Delin. "Gue ga akan sakitin lo, bahkan soal video asal lo biasain, gue akan maklum kalau sekali dua kali lo panik, tapi kalau sering! Gue akan hukum lo," bisiknya lalu tersenyum menyeramkan.
"Hukuman yang bikin lo em.. kejang-kejang," tambahnya membuat Delin merinding dan paham maksudnya.