Pertemuan Zephyer dan Aurora ibarat melodi angin dan cahaya. Melodi angin yang mengalun lembut, bercampur cahaya matahari yang menari berirama. Keduanya bersatu, menciptakan simfoni alam yang indah.
Di antara tembok pemisah dan ketegangan yang memba...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SALEP🍓
Zephyer mengetuk pintu rumah Aurora perlahan. Pintu dibuka lebar seorang laki-laki paruh baya sembari menenteng tas kantornya keluar.
"Ze, ada apa?" tanya Dirgantara dengan ramah.
Zephyer menarik Aurora yang berada dibelakangnya. Arah pandang Dirgantara kini menatap Aurora, pandangan yang awalnya ramah kini menjadi tajam. "Kamu ngapain pulang?" tanya Dirgantara dengan tegas, bahkan senyum yang ia berikan kepada Zephyer tidak ia berikan kepada Aurora.
"Aurora sakit, dia juga kecelakaan, tidak memungkinkan untuk sekolah hari ini," jawab Zephyer.
Terdengar helaan napas berat dari Dirgantara. Ia menarik lengan putrinya kasar. "Ada-ada saja kamu itu, menyusahkan orang," ucap Dirgantara.
"Musibah tidak ada yang tau pa, Rora juga nggak pengen kecelakaan," jawab Aurora.
"Berani kamu jawab papa, sekarang masuk," ucap Dirgantara tegas.
Aurora menatap Zephyer. "Gue masuk dulu, makasih Ze," celetuk Aurora lemah seraya melenggang masuk kedalam.
"Luka Aurora cukup parah om, dikontrol untuk obatnya," ucap Zephyer.
Dirgantara mengangguk sebagai jawaban. "Terimakasih Ze, memang Aurora ini suka merepotkan."
"Tidak masalah."
"Saya permisi."
Zephyer berjalan meninggalkan pekarangan rumah Aurora.
Dirgantara bergegas kedalam rumahnya kembali. "AURORA, AURORA!" teriak Dirgantara memenuhi ruang tengah.
"Iya pa? Ada apa?" tanya Aurora ramah, seraya membawa air putih dari dapur. Ia berjalan tertatih menuju Dirgantara.
"Kenapa kamu tidak sekolah hari ini hah!" tanya Dirgantara penuh penekanan.
Aurora tidak menjawab, ia melihat kakinya, kemudian melihat papanya. "Hanya karena sakit segini? Kamu tidak sekolah? Jangan jadi wanita lemah!" pertegas Dirgantara.
"Pa, aku sebenarnya anak papa apa bukan sih? Kenapa papa nggak pernah berikan kasih sayangnya sama aku?"
"Aku sadar aku bodoh, aku nggak sepintar kak Venus."
Dada Aurora naik turun menahan isakan, dadanya pun terasa sesak untuk bernapas. "Tapi aku pengen diperhatiin sama papa."
"Disayang sama papa."
"Aurora punya hati, Aurora juga rasain sakit."
"Aku juga bukan robot pa, yang bisa papa atur sesuka papa, aku anak papa, darah daging papa."
"Kapan papa bisa sayang sama aku? Dari dulu aku nunggu kapan waktu itu tiba."
"Aku sayang papa, maafin Rora, kalau nggak pernah bikin papa bangga."