Setelah menurunkan Mei dan membawanya ke kamar, Gibran langsung menaruh obat yang ia beli tadi di apotik terdekat di nakas sebelah kasur besar milik Mei.
Gibran terduduk di samping kasur sambil melihat wajah rupawan Mei, sesekali ia mengelus pipi halus itu dan tersenyum. "Pas tidur aja cantik."
Gibran memutuskan untuk pulang dan berusaha melupakan semua kejadian yang terjadi di kelab malam tadi. Tapi Tuhan berkata lain, malah Gibran terbawa sampai mimpi tentang kejadian tadi. Mei benar-benar membawa Gibran gila.
Renjana pun tiba dengan tepat waktu. Hari ini Mei memutuskan untuk tidak sekolah karena kepalanya pening akibat malam kemarin. Mei terbangun di pukul 9.30 pagi. Ia merasakan pening di kepalanya dengan hebat.
Mei berusaha untuk mengingat apa yang terjadi semalam tapi kenapa seperti ada yang menghapus ingatannya? Mei tidak bisa mengingat sama sekali setelah Gibran mengajaknya pergi. Bahkan ia tidak tahu ia diajak kemana.
Ponselnya berdering, ia buru-buru melihat ponselnya.
Gibran Abraham: Nggak sekolah kan?
Gibran Abraham: Gua ke rumah lo ya, sekalian bawain bubur
Gibran Abraham: Seru nggak semalam?
Meikiana Julinea: Semalam lo ngajakin gua kemana? Kok gua nggak inget ya
Gibran Abraham: Serius nggak inget sama sekali?
Gibran Abraham: Hahaha, nanti gua ceritain tingkah lo.
Meikiana Julinea: Lo tau rumah gua darimana sih?
Gibran Abraham: Dari Cindy***
Sesampainya Gibran di rumah Mei, ia langsung menunjukkan bubur yang ia beli di pinggir jalan tadi. Mei mempersilahkan Gibran untuk masuk ke dalam rumah mewahnya. Gibran sempat terpelanga sebentar, rumah sebesar ini tapi hanya dihuni Mei sendirian?
"Orang tua lo mana? Kok sepi rumahnya?" Tanya Gibran sambil membantu Mei untuk menyiapkan buburnya.
Mei tersenyum sejenak, "orang tua gua nggak disini."
"Maksud lo?" Gibran bertanya sembari melihat wajah sedih Mei. "Lo nggak tinggal bareng orang tua lo?"
"Iya, mamah gua selingkuh dan tinggal di rumah selingkuhannya sementara papah gua pergi nggak tau kemana sejak tau mamah selingkuh." Jelas Mei.
"Sorry-sorry, gua nggak tau." Gibran langsung merasa bersalah karena telah mengingatkan kejadian mengenaskan di hidup Mei.
"Biasa aja kali, gua udah biasa." Mei tertawa pelan melihat kepanikan Gibran yang terlihat sekilas oleh mata cantiknya.
"Kok lo beda sih di sekolah sama di rumah?" Tanya Gibran. Ia jarang sekali melihat Mei tertawa di sekolah maupun di kelas, ia hanya selalu melihat wajah jutek Mei.
"Masa sih? Gua rasa biasa aja."
"Serius, lo beda banget di rumah dan di sekolah. Lebih cantikan di rumah."
Pipi Mei sontak memerah, Mei langsung molotot kepada Gibran yang tidak ada habisnya menggoda Mei. "Bisa diem nggak?"
"Hahaha, lucu banget muka lo merah gitu. Salting, hm?"
"NGGAK!" Jerit Mei yang sontak memukul lengan kekar milik Gibran. Gibran hanya bisa mengelus kesakitan sambil tertawa puas, baginya—membuat Mei kesal adalah salah satu kesenangan pribadinya.
"Iya-iya, ampun kanjeng ratu!"
"Eh btw kok lo nggak sekolah hari ini?" Tanya Mei penasaran.
"Biar bisa nemenin lo di rumah."
"Alasan basi."
"Serius."
"Iya sayang, aku serius." Gibran mengelus pinggang perempuan itu dari belakang, sekarang posisi mereka layaknya pasutri yang baru menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incendiary!
Romantizm"Dia mempesona kan, Mei?" Bisik seseorang ke telinga cantik itu. Mereka menatap laki-laki indah itu bersamaan, tidak mau melepas tatapan mereka. "Buat apa ganteng kalau suka memanfaatkan orang lain?" Balasnya sambil memainkan kukunya, ia sama sekali...