3. A City Full of Pain

2.3K 274 14
                                    

Lisa POV

"Ah akhirnya kau menghirup udara Seoul juga Lisa, bukankah bandara ini sudah banyak berubah dari terakhir kali kau ada di sini?" Rose bersuara di sebelahku.

"Akan aneh jika bandara ini tidak berkembang" jawabku datar dan berjalan menarik koperku, aku tidak membawa banyak baju, hanya satu koper berukuran sedang.

"Yak kau selalu meninggalkanku" protesnya dengan wajah cemberut namun lagi-lagi aku abaikan.

"Apa yang akan pertama kali kita lakukan yaa" ucap Rose sambil berpikir sepanjang jalan kami keluar, supir Rose sudah menunggu di luar.

"Membeli mobil" jawabku singkat dan membuat Rose cengo.

"Bukankah kau di sini hanya sebentar?" tanyanya yang kebingungan.

"Bukan berarti aku akan berjalan kaki atau naik bus kemana-manakan?" tanyaku balik yang heran dengan pemikiran sederhananya.

"Kau kira kau berteman dengan siapa? Kau bisa meminjam mobil ku bodoh" ucapnya lagi yang membuat aku memejamkan mata dan menghentikan langkahku sambil menatapnya setelah aku kembali membuka mata.

"Tidak, aku tidak menggunakan barang orang lain" jawabku final dan kembali melanjutkan langkah.

"Heol, sombong sekali wanita ini" gerutu Rose di belakang yang masih bisa ku dengar dengan jelas.

Setelah aku mencapai kesuksesan, aku merasa kalimat paman Smith darah yang mengalir di dalam tubuhku akan menyadarkan ku bahwa aku merupakan bagian dari keluarga Bruschweiler adalah sebuah kutukan. Dari mana kesombongan dan kepongahan ini berasal? Seolah aku benar-benar tidak bisa lupa bahwa aku berasal dari keluarga terhormat dan harus menjaga kehormatanku tidak lebih rendah dari itu.

"Selamat siang nona Lisa, saya bawakan koper anda" ucap seorang pria yang membuat ku kaget, aku melangkah mundur ke belakang berusaha menghindarinya.

"Apa yang kau lakukan? Dia supir ku bodoh" ucap Rose yang kini membuatku sadar, ternyata ini orang yang menjemput kami.

Aku menyerahkan koperku pada pria ini, dan begitu juga dengan Rose. Kami masuk ke dalam mobil dan Rose menyampaikan bahwa aku ingin pergi membeli mobil terlebih dahulu. Sepanjang jalan, aku melihat keluar jendela. Ternyata Seoul banyak berubah, dan jalanannya semakin ramai.

Saat ini tanggal lima belas januari, aku belum memutuskan untuk datang ke acara itu namun aku sudah memutuskan untuk datang ke negara ini, memenuhi harapan bibi ku sendiri. Banyak pertimbangan sebenarnya, selain dari aku mengkhawatirkan kondisi paman Smith, aku juga berpikir sampai kapan aku akan lari dari mereka. Setidaknya kali ini, aku harus datang sebagai orang yang menghormati mereka sebagai keluarga ku, meski marga itu sudah ku hilangkan dari namaku, tetap saja, darah ku tetaplah darah keluarga tersebut.

Aku datang ke sini bersama Rose, Diana ku tinggalkan di New York. Aku menginginkan dia mengurus semua urusan perusahaan selama dua minggu ini. Bagaimana bisa aku meninggalkan perusahaan ku sendiri tanpa orang kepercayaan selama aku pergi? Meski Diana sempat marah dan tidak mau tapi akhirnya setelah negosiasi yang cukup logis, dia mau menuruti ku.

"Oh ya, bagaimana Diana unnie mau tinggal di sana?" tanya Rose yang membuat ku menoleh.

"Sampai kapan kau akan memanggilnya unnie, dia bukan orang Korea" jawabku datar dan kembali melihat keluar jendela.

Jujur saja aku sedikit risih dengan budaya-budaya Korea yang masih ada di sekelilingku, meski sesekali aku juga harus menggunakan bahasa Korea untuk berkomunikasi dengan Rose dan Jisoo unnie.

"Aku melontarkan pertanyaan duluan" ucapnya yang membuat ku menghela napas.

"Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain memberikannya 1 persen saham di perusahaanku" jawabku santai.

Rest of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang