Bab 22. Kehangatan Ayah

94 38 69
                                    

Jangan lupa vote dan komennya di tiap paragraf sebagai bentuk apresiasi pada author, gratis kok💗

🐹HAPPY READING🐹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐹HAPPY READING🐹

Di rumah sakit, Edgar duduk tepat di samping brankar pasien. Athalan sudah di tangani oleh dokter, dokter menyarankan agar Athalan jangan terlalu banyak beraktivitas karena itu tubuhnya menjadi kelelahan.

Athalan tertidur lelap setelah ditangani oleh dokter. Awalnya, Zaki lah yang duduk di sana karena perintah dari Edgar. Edgar takut Athalan membencinya. Sebab itu, lebih baik pada saat Athalan tidur saja untuk menemaninya sebentar.

Edgar memperhatikan wajah Athalan yang masih tertidur. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi setiap melihat wajah anaknya. Setiap melihat Athalan apalagi tatapannya, selalu mengingatkan tentang Elena.

Kalau saja dirinya dari dulu menerima kehadiran Elena, hal ini bisa saja tidak akan pernah terjadi. Kebencian dan rasa bersalah tidak akan pernah ada. Dan Athalan pasti akan terlahir dengan rasa cinta dan kasih sayang dari dirinya dan Elena. Karena kebencian dan rasa cinta itu tidak selaras.

Kalau saya minta maaf, itu akan percuma kan?

"Ayah?"

Lamunan Edgar membuyar setelah mendengar panggilan dari sang anak.

Athalan membuka kedua matanya, netranya menangkap sosok sang Ayah yang sedang duduk di sampingnya sambil menggenggam telapak tangan kanannya.

Terasa hangat, batin Athalan.

Edgar yang tersadar, langsung melepas tangannya dari tangan Athalan.

"Ekhem, Kamu lanjut istirahat saja dulu. Ayah akan keluar sebentar." Langkahnya terhenti saat jari kelingkingnya di genggam oleh Athalan.

"Ayah tolong jangan pergi. Temenin Alan di sini ya, Alan justru suka kalau Ayah temenin Alan di sini," pinta Athalan dengan pancaran mata penuh harap.

Tanpa menjawab, Edgar menuruti permintaan anaknya, lalu duduk di kursi itu kembali.

Matanya teralihkan pada bubur yang masih utuh yang berada di samping brankar. Edgar langsung mengambil mangkuk berisi bubur itu, kemudian sendoknya di isi penuh dengan bubur untuk ia suap ke Athalan.

"Buka mulut kamu," titah Edgar.

Athalan menjadi kikuk, "E-eh Ayah, Alan bisa makan sendiri kok."

ISI LAUTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang