06

18 3 0
                                    

Pagi harinya, ia sudah siap dengan seragam Accelois yang melekat sempurna di tubuhnya. Juga sebuah jaket hitam yang pakai. Tidak lupa sebuah tas tersampir di bahu kanan lelaki itu. Tangan Ziega sesekali memainkan kunci motor sembari berjalan menuruni tangga.

Suasana rumah kali ini terlihat lebih ramai dari biasanya. Namun, tetap saja Ziega merasa kosong. Seolah ada peran yang sudah lama tidak terisi.

Terlihat Bi Minah yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka semua. Ziega duduk di salah satu kursi di meja makan.

"Nyonya sama Tuan nggak sarapan?" tanya Minah yang melihat kedua majikannya sudah siap dengan pakaian kerja dan saling beriringan menuju pintu keluar.

"Nggak Bi, kita buru-buru. Ada rapat penting hari ini," jawabnya dengan langkah tergesa, sembari membawa beberapa dokumen penting di tangannya.

Telinga Ziega 100 persen mampu menangkap obrolan pembantu dengan orang tuanya. Seketika ia berdecak kecil, dan ikut bangkit dari tempat duduknya, tangan Ziega secara kasar meraih tas yang sebelumnya tersampir di sandaran kursi.

"Loh! Den Ziega mau ke mana?" tanya Minah ikut merasa heran.

"Ini Aden belom sarapan loh."

"Ziega nanti makan di kantin aja Bi," Dapat Ziega dengan suara mobil yang di kendarai orang tuanya yang pergi meninggalkan rumah. Tanpa menunggu waktu lama, lelaki itu juga melakukan hal yang sama, yaitu segera pergi dari bangunan tersebut.

Ziega mengendarai motornya dengan perasaan kacau, sesekali ia meremat kasar stang motor, untuk melampiaskan rasa kesalnya. Hingga tanpa sadar, lelaki itu justru memberhentikan motor yang ia kendarai di sebuah bangunan minimalis. Namun, terlihat menyejukkan.

Baru saja dia mematikan mesin motornya, seseorang tiba-tiba keluar dari arah gerbang rumah tersebut.

"Ega? Ega ngapain ada di depan rumah Lora? Ega mau jemput Lora? Wihhhh!!! Ayo-ayo! Jadi Lora nggak perlu takut telat gara-gara kelamaan nunggu angkot!" serunya heboh.

Ziega memandang muka gadis berisik di depannya, dia sendiri heran kenapa bisa sampai di rumah gadis itu.

Lora menatap wajah Ziega, yang terlihat lebih masam dari biasanya.

"Masalah semalem ya?" tebak Lora.

"Hem," sahut Ziega, sesekali ia mengusap kasar  mukanya sendiri.

"Ega udah bicara sama orang tua Ega?" tanya Ilora lagi.

Terlihat lelaki itu yang mengelengkan kepalanya pelan, "Gue aja sampai lupa kapan terakhir kali ngobrol sama mereka," gumamnya miris.

Ziega sendiri tidak paham dengan apa yang membuat keluarganya jadi seasing sekarang. Dia masih ingat sehangat apa kedua orang tuanya dulu. Namun, mendadak semua jadi terasa berbeda.

"Buru naik, gue nggak mau telat gara-gara lo." Ketusnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

Tanpa banyak protes, Ilora menuruti apa yang Ziega mau. Dengan hati-hati ia menaiki motor Ziega. Jujur ini bukan kali pertama Ilora di bonceng oleh lelaki itu, karena sebelumnya, Ziega pernah mengantarkan dia.

"EGA! PELAN-PELAN BAWA MOTORNYA!" pekik Ilora, saat tiba-tiba Ziega mengendarai motornya dengan kecepatan penuh.

Reflek, tangan Ilora terulur, ia memeluk pinggang Ziega, dan menyembunyikan wajahnya di punggung lelaki itu, untuk mengurangi rasa takut yang seketika datang menyerangnya.

Ziega terus mengendarai motornya, sesekali terdengar umpatan para penguna jalan yang merasa di rugikan dengan aksi kebut-kebutan lelaki itu.

Rambut panjang Ilora nyaris tidak berbentuk akibat sapuan angin.

Zielo{On-going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang