XVI

20.1K 1K 77
                                    

−Februari, MMXXIV−

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

−Februari, MMXXIV−


Berhubung hari Sabtu aku ada acara, terus takut gak sempat publish, jadi Larissa dan Mas Devanya dipos malem ini, ya. ☺️

Dulur-Dulur, Yuk, berinteraksi dengan aku di kolom komentar. ^^

Happy reading, Semuanya.

Warmest Regards,

Your Harumi.

♡♡♡

Kaki Sabian melangkah mendekati Larissa. Air mata sudah menggenang di pelupuk. Lelaki itu sungguh merindukan gadis di hadapannya.

Gadis yang tak pernah luput dari ingatan. Gadis yang senantiasa mengisi hatinya. Gadis yang teramat dicintainya.

Larissa Zayna Ganendra.

Namun Sabian sadar betul kesempatan untuk menjalin kasih bersama Larissa sudah terkubur dalam-dalam sejak ia mendapat kabar bahwa Deva akan menikah kembali, menikah dengan seorang gadis jelita pujaan hatinya.

"Long time no see, Cha. Kamu apa kabar?" Rasa berkecamuk dalam diri membuat suara lelaki itu terdengar gemetar.

Tak ada jawaban dari pujaan hatinya, Larissa masih mematung. Pikiran gadis itu teramat kacau, isi kepalanya ribut bukan main.

Bagaimana Bian bisa berada di sini? berkumpul bersama keluarga besar Deva.

Sekian tahun menunggu kehadiran Sabian, malam ini ... malam ini lelaki itu berdiri di hadapannya, ikut berkumpul bersama keluarga besar suaminya.

Sepasang netra bermanik cokelat terang milik Sabian masih sama, masih memancar tatapan teduh. Tatapan yang selalu membuat Larissa mendayu rindu.

"Kamu kenal Bian, Larissa?" suara berat Deva memecah kediaman gadis itu. Larissa melipat bibir ke dalam, netranya menatap sembarang arah, menggagalkan air mata yang sudah siap terjun bebas membasahi pipi.

Larissa rindu. Teramat rindu pada Sabian, saking rindunya sampai-sampai ia tak mampu menguar kata selain menggumamkan nama lelaki itu.

Gadis itu menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan, ia mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Deva.

"Bian." Larissa melirihkan nama lelaki itu sekali lagi.

Seolah mengerti perasaan Larissa, Arsen mengeratkan genggaman tangan dengan sang mama. Anak laki-laki itu mendongak, meresapi ekspresi mamanya. Di mata Arsen, binar ceria yang sejak tadi terpancar di wajah jelita mamanya telah meredup, berganti gurat sendu.

"Kamu kapan balik dari New York, Bian?" Deva kembali memecah hening.

"Satu minggu yang lalu, Mas." Sabian mengakhiri kata dengan senyuman tipis.

Pancarona Larissa [TAMAT-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang