Jika kuingat-ingat, terakhir kali aku berlibur dengan Ayah dan Ibu adalah saat musim panas tahun lalu. Waktu itu bunga matahari mekar dengan indah di seluruh padang bunga. Kami menggelar kain dan duduk di sana sambil memakan roti isi dan meminum limun buatan Ibu.
Masih jelas di ingatanku, bayangan wajah Ayah saat menyampaikan lelucon, membuat aku dan Ibu tertawa terpingkal-pingkal. Hingga beberapa lebah tiba-tiba terbang di sekitar kami untuk mencicipi madu yang kami bawa. Aku dan Ibu berlarian karena takut, sedangkan Ayah bertingkah sok pahlawan dengan gulungan surat kabar di tangannya. Mengibas udara di sekitarnya, padahal jelas sekali lebahnya tidak ada di sana. Sekali lagi kami tertawa keras di hari yang panas.
Sangat menyenangkan. Cuaca sangat cerah dan udara sangat panas. Namun yang kuingat hanyalah angin yang berhembus di ruang antara Ibu dan Ayah. Yang kuingat hanyalah pipi merona Ibu saat Ayah menggodanya. Yang kuingat hanyalah rasa sejuk karena kedua tangan orang tuaku memutup sinar matahari dari mataku.
Kami tidak akan pulang sebelum matahari benar-benar hilang di balik gunung. Bahkan saat matahari telah berganti dengan bulan, dan awan telah berganti dengan bintang, kami hanya berbaring di sana dalam diam.
Ah ... kenapa tiba-tiba aku memimpikan ini? Kenapa pemandangan yang kurindukan ini tiba-tiba ada di depanku? Terakhir kali kuingat, aku tertidur setelah meminum obatku. Namun sekarang, aku bisa melihat Ayah, Ibu, dan aku yang lebih kecil dari sekarang sedang memandang bintang bersama. Apakah ini yang dinamakan fever dream? Orang bilang, saat demam kita bisa bermimpi sesuatu yang sangat aneh.
Aku tidak pernah melihat muka keduanya, tapi sekarang semua tampak jelas. Aku duduk memeluk lutut di sebelah Ayah. Kupandangi wajahnya sangat lama. Apa aku bisa sedikit egois dan meminta untuk tetap seperti ini? Ibu, maafkan aku, tapi aku belum akan bangun dan ingin ada di sini sedikit lebih lama lagi.
Itu adalah terakhir kalinya kami pergi berlibur bertiga. Satu bulan setelahnya, ayah pergi memancing tapi tidak pernah pulang. Padahal ayah berjanji akan membawakanku ikan yang besar untuk dibakar bersama malam harinya.
Jika bisa kuulang waktu liburan saat itu, aku ingin ikut memukul lebah dengan Ayah. Lebih lama memandang wajah kedua orang tuaku daripada bintang di langit. Aku ingin tertawa lebih lepas saat mendengar lelucon Ayah, alih-alih mencibir saat leluconnya terdengar tidak lucu.
Liburan terakhir kami yang penuh penyesalan, bagaimana aku bisa lupa?
.
.
.[TBC]
DWC NPC 2024 Day 2: Done
[02/02/2024 - 21.31]
[358]Shell
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We There Yet?
Ficção Geral"Kemarin aku melihat bebek di danau," ucapku pada Leta, salah satu teman terdekatku di desa ini. "Tidak mungkin. Danau itu, kan, katanya tidak bisa disentuh makhluk hidup." "Tapi kemarin ada. Sungguh. Dia berenang ke jauh ke seberang sana." Leta mel...