O3.τρία

49 5 0
                                    

.

.

.

"Apa kabar, Jan?"

Janu menatap ruang di sekelilingnya, tempat ia berpijak sekarang sangat asing, ruangan ini seperti kamar. Dengan banyak buku yang berserakan di lantai.

Janu menolehkan kepalanya ke sumber suara. Ia terdiam kaku kala mendapati seseorang yang memanggilnya tadi. Mengapa orang itu mirip dengannya? Apa itu adalah kembaranya yang hilang? Tidak mungkin.

Janu memundurkan tubuhnya dengan kepala menoleh ke kanan dan kekiri, ini sudah gila!

"Lo siapa?" Tanya Janu dengan tatapan tajam.

Sosok yang tepat berada di depan wajah Janu tersenyum. Menampakan senyuman yang sangat mirip dengan wajahnya. Ia menunjuk diri. "Gue? Gue itu lo."

"Jangan bercanda! Lo siapa?" Janu berteriak, masih mendesak seseorang yang didepannya untuk berkata jujur.

"Gue Ja-"

.

.

.

"Gila!" Satu kata berhasil terucap dari mulut Janu setelah ia terbangun dari tidurnya. Ia terdiam sejenak ketika bisikan yang ia alami akhir-akhir ini kembali merasuki rungu.

"Kita butuh lo. Multiverse dan parallel itu nyata!"

Janu menutup telinganya dengan kedua tangan. Bisikan itu kembali membicarakan hal itu. Kalimat yang terus di ulang. Bahwa Multiverse itu nyata atau terkadang membahas parallel bahwa itu nyata. Sepenggal kata yang terus-menerus merasuki rungu serta kepala Janu.

Jika seperti ini, lama kelamaan Janu akan di anggap gila oleh orang lain. Jika ia tidak mampu mengendalikan.

"Siapapun lo-" Janu menatap sekitar kamarnya.

"Setan atau manusia, gue harap lo berhenti." Lanjutnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur sembari memijat pangkal hidung. Ia akan bercerita hal ini ke siapa? Tidak akan ada yang mempercayai hal yang tidak masuk akal seperti ini.

Bahkan Satria-sahabatnya sendiri saja malah menertawainya. Jika seperti ini tidak ada yang bisa Janu lakukan selain-mencari tahu. Tentang multiverse.

•••

"Gue percaya."

Janu menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu ruang kelas. Ia terdiam dan mengarahkan atensinya ke arah manusia yang tengah duduk di kursi dengan wajah cemas.

"What?"

Janu berjalan memasuki kelas dan meletakan tas miliknya di kursi. Kemudian mendudukan tubuhnya itu sembari menatap seseorang yang baru saja mengatakan hal tersebut. Tanpa ada konteks yang jelas.

"Gue percaya multiverse nyata! semalem gue mimpi orang yang mirip banget sama gue, Jan."

Janu terdiam membeku. Mengapa mimpi yang dialami Satria mirip dengan mimpinya semalam? jika ini semua kebetulan bukankah tidak wajar?

"Apa yang dia bilang?" Tanya Janu setelah mencerna apa yang di ucapkan Satria.

Satria mengusap wajahnya. "Dia bilang. Multiverse itu nyata! parallel itu nyata. Dia butuh kita."

Janu mengangguk. "Persis. Persis sama bisikan yang sering gue denger."

"Jadi?"

Janu menghela nafas. "Gue selalu denger bisikan dari seseorang yang mengaku berasal dari semesta lain."

Satria menggeleng masih mencoba menangkal. "Tapi emang beneran multiverse itu nyata? bukan nya para ilmuwan nggak bisa buktiin itu secara empiris?"

"Ilmuwan bilang, mereka menganggap multiverse tidak bisa dibuktikan karena adanya decoherense. Gangguan pada gelombang.
Jika gelombang antar universe kita tidak terganggu. Mungkin aja mereka yang lain, bisa berkomunikasi dengan kita yang ada disini."

Satria mengusak rambutnya. Ia pusing sekaligus tidak percaya setelah mendengar pernyataan Janu. Semua ini tidak bisa diterima oleh akal sehatnya.

•••

"Si Varo kemana?" Tanya Janu setelah mereka mendudukan diri di kursi kantin. Ke-dua temannya yang lain juga sudah berkumpul di sini. Hanya tersisa Varo yang tidak terlihat sejak pagi oleh Janu.

Rai mengangkat kepalanya. Dengan mata yang terpaksa di buka ia menatap Janu. "Keluar kota dia. Katanya liburan. " Ujarnya. Setelah itu ia menenggelamkan kembali kepalanya di lipatan lengan.

"Lah, kocak. Tidur lagi tuh bocah?" Gumam Satria menatap heran.

Janu menggeleng sembari terkekeh kecil. "Ada-ada aja, "

Drrrt.

Drrrt.

"Ada yang call lo, Jan. Di angkat lah buset. Berisik banget." Kata Satria kesal.

Janu mengangkat handphone nya yang sedari tadi berdering. Nama tertera di layar handphone miliknya.

Setelah melihat nama tersebut ia mengerutkan dahi. Untuk apa Varo menelfon nya? jarang sekali Varo melakukan panggilan.

"Halo. Ada apa Var?"

"Lah, Lo liburan ke Jogja ya? Kok nggak bilang. "

"Hah?" Janu memasang wajah bingung setelah mendengar suara Varo.
Varo sedang tidak sadar atau bagaimana?

"Gue di sekolah, anjir. Nggak kemana-mana."

Terdengar grusak-grusuk suara di seberang sana. "Terus lo rambut biru yang gue lihat tadi, siapa?" Nada Varo terdengar bingung.

Janu memijat pangkal hidung. "Lah mana gue tau."

"Ya udahlah. Gue matiin telfonnya. Ngantuk kali gue, jadi salah lihat."

Tut-

"Bocah nggak jelas, " Itu adalah kalimat yang bisa Janu ucapkan setelah Varo mematikan telefonnya.

"Kenapa?"

"Si Varo lihat gue. Lagi liburan ke Jogja. Mana segala nyebut rambut gue biru. " Janu menggeleng heran.

Satria terdiam dengan wajah masam. "Lo nggak sadar? Ini udah saling bersinggungan."

"Maksud lo apa, Sat?"

"Diri lo yang lain, mulai menunjukan eksitensi nya."

•••

Multiverse (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang