16.δεκαέξι

19 3 0
                                    

       Janu berusaha keras untuk tidak menoleh kebelakang, dengan kekuatan penuh mereka berlari menjauhi Bank Glory. Kabar baiknya keberuntungan datang kepada mereka berempat. Tiba-tiba mobil berwarna hitam berhenti di depan mereka yang sedang kehabisan nafas akibat berlari, "Masuk cepet."

Tanpa berlama-lama mereka memasuki mobil itu, dan mereka mampu menghirup nafas lega. "Kita kriminal berarti?"

"Iya."

"WOI Sat, kenapa nggak nolongin kita dari lama?"

"Gue kan ikut aksi sama kalian," Satria bingung.

"Bukan Satria, tapi Satya."
Iya benar, pemilik mobil hitam yang membantu mereka adalah mobil milik Satya Sadiwa, musuh bebuyutan mereka sejak zaman Majapahit. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Satya—sebut saja Diwa, datang sebagai pahlawan kesiangan untuk sekawan.

"Kalian gila ya?"

"Mencuri sesuatu di Bank beresiko besar. Kalian terlalu sembrono." Diwa berujar.

Janu yang sedari tadi menunduk tiba-tiba mengangkat kepalanya, "Lo ngalamin kayak kita juga?" tanya Janu tiba-tiba.

Diwa melihat jalanan yang gelap, "Iya. Manusia yang ngaku dari semesta lain, mirip banget sama gue, dan namanya Sean, dia yang bikin gue harus bantu kalian. Dia ngasih tau gue banyak hal."

"Kami kira, ya cuma kami doang yang ngalamin," ujar Rai.

"Kita udah terikat," Kata Diwa. "Di dimensi lain mungkin Sean berteman baik dengan kalian. Tapi sumpah demi apapun, gue nggak merasa akrab sama sekalian. Yang gue lakuin sekarang pure menyelamatkan diri gue sendiri."

"Lo bener bener ya Wa—"

Mobil berhenti tiba-tiba, sebelum Varo melanjutkan ucapannya kepalanya telah terbentur terlebih dahulu karena Diwa yang mengerem dadakan.

"Lo beneran mau bikin kita mati?"

Janu tidak menghiraukan ocehan sahabat-sahabatnya, ia terpaku dengan sosok di depan mobil, dan manusia yang tergeletak di aspal dengan luka terkoyak lebar dan cakaran yang berada di sekitaran tubuh.

"Demon," Gumam Diwa sembari menatap Janu. "Kita kabur,"

"Nggak bisa Jan. Mereka punya sayap, mereka menyerang, semakin kita bergerak semakin kita akan diserang."

"Terus kita harus gimana, Wa?"

"Tenang dulu, biarin iblis itu pergi dari sini." Diwa berujar sembari mengamati sekelilingnya. Bukannya pergi demon itu malah mengetuk mobil mereka, menubruk mobil yang mereka kendarai dengan tubuhnya yang lumayan besar itu.

"Keluar dari mobil."

Terlambat, sebelum semua keluar dari mobil, Varo yang baru saja ingin keluar tiba-tiba tertusuk oleh kuku panjang milik makhluk bengis itu. "VARO!" Janu tanpa mempedulikan sekitar berlari kearah Varo yang sudah bersimbah darah.

"Jan, bahaya!"

"Temen gue sekarat!"

Janu menekan pendarahan yang terus keluar dari perut Varo. Ia menatap demon berwajah bengis itu dengan tatapan marah. Ia harus memutar otak, jika ia melawan demon ini, ia akan mati di tempat. Baru satu langkah Janu maju, ia terhempas oleh sayap hitam milik demon itu, mengakibatkan batu roccia biru terjatuh dari kantong celana miliknya. Tanpa disangka, batu itu bercahaya kesana kemari, membuat sekitar tertutup oleh cahaya putih, Janu memejamkan mata. Hingga, cahaya putih itu menghilang perlahan, Janu terdiam, demon itu sudah menghilang dihadapanya, menyisakan batu roccia biru dan Varo yang terkulai lemas.

Satria di ikuti oleh Diwa dan Rai berlari menghampiri, "Detak jantung nya udah nggak ada," lirih Rai.

Janu terdiam.

"Batu Roccia hijau mampu menyembuhkan, gunakan itu."

Dengan tangan yang tergesa ia mengambil batu Roccia hijau di saku nya. Ia menempelkan batu itu tepat di luka Varo, dan benar saja. Tiba-tiba luka itu bercahaya, menyisakan sisa darah yang berada di baju Varo.

"Lah, gue kenapa? kalian kenapa dah?"

"Kita bukan penyihir atau apapun itu yang punya kekuatan magis, terlalu gila, karena kita harus hadepin makhluk terkutuk." Gerutu Satria sembari melangkahkan kaki menelusuri jalan beraspal itu.

Iya. Setelah penyerangan demon yang mengakibatkan Varo sekarat tadi, mereka tidak bisa kembali menaiki mobil milik Diwa, karena mobil itu hancur akibat di tabrak oleh tubuh Demon, jadi dengan terpaksa mereka berjalan kaki di jalan yang sepi untuk menuju rumah salah satu dari mereka yang terdekat dari tempat mereka berada. Tepatnya rumah Rai.

"Ini udah tengah malem, kita bisa aja ketemu orang jahat, jalan luntang-lantung disini." Kata Rai sembari melihat teman-temannya itu. Mereka hanya bisa terdiam, pikiran mereka semua berkecamuk

"Berarti gue tadi beneran mati ya?" tanya Varo tiba-tiba.

"Iya, mati. Kalo nggak ada batu roccia kayaknya kita semua juga bakal mati, makhluk dunia immortal beneran udah keluar dari tempatnya, misi pencarian batu roccia harus cepat diselesaikan," kata Diwa.

Rai mendengus. "Gue masih kesel sama lo ya Wa, gara-gara lo nyuruh kita tenang di mobil, Varo jadi kena tusuk!" seru Rai kesal.

Sadiwa menghela nafas, "Iya kan gue nggak tau kalau demon itu lebih agresif,"

"Emang sebelumnya lo tau apa?"

"Gue sering baca buku-buku fantasy, jadi makhluk-makhluk kayak gitu udah gue hafal. Cuma kan teori sama aslinya beda." balas Diwa.

"Tapi batu itu bener-bener bikin kita bahaya. Apalagi kita udah di cap jadi buronan, kita jadi buronan!" Satria berseru.

"Yang nyawanya terancam bukan lo doang, Sat. Nyawa orang lain di bumi juga terancam." Janu menatap Satria dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Varo menghela nafas, "Sebenarnya batu itu fungsinya bukan cuma buat penutup portal, tapi juga punya kekuatan magis lain,"

"Singkatnya—Batu itu lebih hebat dari yang kita kira."

Multiverse (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang