11.έντεκα

24 3 0
                                    

   "Var belakang lo!"

Varo menoleh ke arah belakang menghiraukan ular dihadapanya yang berusaha memangsa. Dirinya langsung dikagetkan dengan wujud ular yang cukup besar tengah membuka mulutnya dan memperlihatkan gigi yang tajam, hendak mencabik-cabik Varo. Namun, Rai dengan kecepatanya memukul ular itu dengan balok kayu yang tadi ia temukan.

  Mari beri tepuk tangan untuk Rai, karena meskipun dia hobi tidur tapi refleksnya cukup luar biasa.

  4 manusia yang tengah di ujung ajal saat ini tengah putus asa, mereka sama sekali tidak ada harapan akibat di kelilingi oleh ratusan bahkan ribuan ular. Tinggal tunggu waktunya saja mereka akan menangis berjamaah.

  "Janu sama Satria lari duluan cepat ke depan pintu Gutes Buch! Kita halau dari sini ular-ularnya. "

  "Buat apa Var? tujuanya kita biar kita cepet keluar!?" Janu berteriak. Ia tidak mungkin meninggalkan 2 sahabatnya yang tengah melawan makhluk tidak jelas ini.

   Varo yang tengah melempari kepala ular dengan buku itu menoleh ke arah Janu. "Kalo ribuan ini keluar, terus ke jalan? apa nggak bahaya! kita harus selametin warga kota juga!"

   "Bener kata Varo, Jan. Kita harus halangin ular ini keluar. Karena bakal bahaya banget." Rai menjawab dengan terus memukuli kepala ular dengan balok. Beberapa ular yang berada disana juga sudah mati tidak berdaya dengan dara yang berciprat kemana-kemana.

  "Ayo Sat. cepet ke pintu depan!" Teriak Janu setelah menimang nimang.

Setelah melihat Janu berlari dengan Satria. Varo dan Rai saling bertatapan, "Kalo kita mati disini gimana Rai?" Tanya Varo sembari mengambil kursi dan melempar ke arah ular yang ada di sana.

  "Yaudah, mati. Mau gimana lagi, " Ucapan dari Rai barusan mampu membuat Varo berdecak kesal. Kemudian ia menarik tangan Rai dan mulai berlari dari sana. Jika terus melawan lama-lama mereka benar-benar akan mati, karena ular itu tidak akan habis.

      "Mati lo anjeng!" Ujar Varo sembari memukul kepala ular yang mendekatinya ditengah pelarian.
   
      Ular krisis identitas, karena sebenarnya ular itu anjing atau ular? entahlah. Terserah Varo saja. Mereka hampir sampai di pintu depan tempat mereka masuk tadi, disana juga ada Janu dan Satria yang juga memegangi kedua pintu itu, bersiap akan menutup.

   Dengan jarak yang sedikit lagi sampai di daun pintu, tiba-tiba kaki Rai dililit oleh ular berukuran kecil. "Ular JABINGAN!" Teriak Rai kelewat kesal dan depresi. Rai melempar balok kayu ke arah Varo,  memberi kode untuk segera memukul ular ini sebelum bisanya masuk ketubuh Rai.

  Dengan cekatan dan penuh dendam Varo memukul kepala ular itu, dalam sekejab darah mulai muncrat mengenai kaki Rai sebagai korban. Ribuan ular mengejar dua manusia yang tengah berjuang ini. Hingga sampailah mereka di luar, pintu langsung ditutup oleh Janu dan Satria.

    "Gue hampir mati bangSat!!" Rai memukul kepala Satria dengan brutal, entah fungsinya apa, namun yang jelas ia menyalurkan emosinya kepada sahabatnya itu.

  "Bangsat. Handphone gue ketinggalan di dalem lagi!" Rai kembali bersuara namun dengan teriakan yang lebih menggelegar.
 
    Janu menepuk bahu Rai. "Bersyukur lah Rai, masih hidup aja udah syukur setelah lo dililit ular tadi. "

   Rai menghela nafas, "Iya, deh. "

  Setelah itu mereka meninggalkan bangunan tua dengan plang Gutes Buch disana. Mereka kembali berbincang dengan 90% adalah perkataan kasar sembari mereka melangkah menjauh dari bangunan, mereka akan menuju motor mereka yang terparkir didepan tadi. Karena terlalu asik berbincang hingga mereka tidak menyadari jika di belakang mereka, tepat di depan pintu Gutes Buch, terdapat pria tua yang menatap mereka dengan tatapan yang tidak bisa diartikan dengan seringaian yang tercetak jelas dibibirnya.

|

     Sekarang empat sekawan itu tengah berada di rumah makan lesehan Warung Sambal.
Mereka mengisi perutnya, setelah drama membunuh ular yang entah muncul darimana, energi mereka seperti terkuras habis. Apalagi sekarang sudah malam, dan terakhir mereka makan itu tadi siang.
 
    Jadi, jangan tanyakan bagaimana keadaan Rai sekarang, tentu ia sekarang tengah duduk rapih menunggu ayam bakar yang sedang Janu pesankan untuk mereka berempat.

   "Lo kadang pernah ngira nggak sih, kalo lo bakal di datengi ribuan ular, ular yang muncul dari tanah pula?"

  "Nggak. Aku kemarin lihat dia masih jalan sama temennya kok, dia nggak selingkuh. "

   Bukan, bukan Janu, Varo ataupun Satria yang menjawab pertanyaan Rai barusan. Namun 2 perempuan yang berada di sekat sebelah tempat 4 sekawan ini bersantai. 2 perempuan itu sangat berisik, sepertinya mereka sedang membicarakan pacar salah satu temannya yang berselingkuh.

   Rai menatap sinis sekilas kearah dua perempuan itu. "Buset. Ini bukan rumah makan lo sendiri anjay. " Gerutu Rai.

   Varo menatap malas, "Ya gue nggak expect lah Rai. Tujuan gue ya cuma mau dapet batu Roccia, terus udah selesai gua bisa hidup damai. " Kata Varo kesal.

     Rai mengangguk menanggapi jawaban dari Varo. Seperskian detik setelah Varo berbicara, ayam bakar yang mereka diantarkan oleh pelayan rumah makan Warung Sambal, mereka dengan riang menatap nasi dan ayam bakar dengan nanar. "Yes, makan." Kata Satria senang, dia kalau urusan makan, jelas nomer satu.

     Di sela-sela makannya Satria teringat sesuatu tentang bagaimana nasib batu Roccia yang mereka perjuangkan sampai dititik penghabisan. "Batu Roccia tadi gimana? aman?" Tanya Satria ke arah Janu.

  Janu menelan nasi yang berada di mulutnya. "Aman, gue simpen nih di kantong." Ujarnya, sembari menepuk kakinya memberikan gestur bahwa batu itu aman bersamanya.

  "Gue udah sampe sini aja."

Mereka bertiga menatap Varo yang bersuara, menuntut penjelasan tentang apa yang barusan dia ujarkan. "Maksud lo?"

  "Gue ikut kalian nyari batu, sampai sini aja. Kita hampir mati cuma gara-gara batu itu yang bener ada gunanya atau enggak."

  "Var, kok lo gitu?" Tanya Janu tidak terima dengan pernyataan dari Varo.

"Gue setuju sama Varo sih Jan. Nyawa kita emang terancam karena batu, yang bahkan nggak kita tahu fungsinya sama sekali. Gimana kalo kita itu sebenarnya lagi di hipnotis orang? atau parah-parahnya lagi kita punya penyakit halusinasi, amit-amit sih. Tapi kenapa kita harus langsung percaya malam itu, gue hampir mati karena di lilit ular jabingan tadi. "

  Janu menghela nafas lelah. Ia mengambil teh anget yang berada dimejanya kemudian ia teguk. "Iya. Emang semua kelihatan kayak 'kok kita mau-mau aja sih?' tapi gue yakin, otak kalian pasti faham, kalo ular yang dari tanah. Ataupun siluman yang waktu itu gue ceritain, dan bookpedia yang butuh darah sebagai pembayaran itu adalah hal yang nggak bisa diterima pakai logika, karena pada kenyataan hal itu nggak bisa dijelasin bahkan pakai sains. Sama, kayak kita yang coba pakai logika, padahal emang kita nggak bisa lari dari ini."

  "Kita bisa lari dari ini. Kita bisa pura-pura lupa dan jalanin hidup kayak biasanya. "
   
    "Bisa. But—that whisper will kill you."

Multiverse (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang