19.δεκαεννέα

18 3 0
                                    


     "E itu V, Z itu A, M itu N—"

"Van Gogh," suara Arsen terpotong, Janu menunjukan kertasnya yang penuh dengan alfabeth. Arsen yang melihat itu mengangguk, "Bener berarti ini lukisan, soalnya Van Gogh, itu seniman,"

"Tapi apa hubungannya sama Van Gogh?" tanya Arsen masih kelewat penasaran.

Rai memasang wajah masam, jika dibiarkan Arsen tetap bergabung dengan circle mereka, bisa-bisa Arsen akan terus bertanya perihal kejanggalan ini. Jadi dengan kesadaran penuh Rai menepuk pundak Arsen, "Sen, itu Naila nggak sih? pacar lo ya!?" seru Rai, sembari melihat kearah pintu masuk. Di sana ada Naila teman satu sekelas Rai, ia tengah melambaikan tangannya memberikan kode untuk menyadarkan Arsen.

Arsen dengan cekatan langsung berdiri, "Belum pacaran coi, gue lagi pdkt sama dia aja, ya udah gue pamit bro!"

Empat sekawan menatap kepergian Arsen dengan tatapan lega,"Gue juga udah was-was, soalnya Arsen pinter. Dia pasti bakal nanya terus," ucap Janu, langsung di setujui oleh Satria.

"Tapi dia cukup membantu, kita jadi cepet mecahin cluenya." celetuk Rai.

Satria terdiam, tidak menghiraukan ucapan Rai, "Bentar. Ini lukisan yang dilukis Van Gogh? maaf-maaf nih, tapi Van Gogh punya banyak karya." katanya.

"Tinggal perhatiin lagi kalimatnya,"

"Setahu gue, lukisan katanya 'gelapnya malam' itu lukisan Starry Night," Rai menimpali.

Varo tertawa jenaka, "Sejak kapan lo tau lukisan-lukisan gini deh? bukannya lo nggak suka sama seni ya?"

Rai menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Gue juga nggak tau, akhir-akhir ini suka sama lukisan,"

Janu memincingkan mata, "Gue kira lo cuma tau cara menghancurkan motor, Rai—
Tapi bener kata Rai, ini lukisan Starry Night, berarti roccia merah ada di lukisan itu." lanjut Janu menatap Rai.

"Namanya strofíred, Jan. Dia juga punya nama."

Janu memasang wajah malas, "Ya apalah itu pokoknya, intinya lukisan ini karya Van Gogh, dengan judul Starry Night," Janu mengibaskan tangannya tanda tidak peduli dengan nama batu yang akan mereka cari.

"Kapan eksekusinya?" tanya Varo to the point.

"Malam aja nggak sih, soalnya kalau siang pasti banyak pengunjung."

"Iya udah malam aja. Sama kayak kita maling di Bank Glory waktu itu,"

Satria menggesekan telapak tangannya. "Gue penasaran, tantangan apalagi yang akan kita hadapin lagi kali ini."

Pukul 8 malam, Satria berguling-guling di kamar miliknya, membaca kertas berisi tulisan ceker ayam milik Rai. Dan beberapa coretan milik Janu, kasur dengan sprai berwarna hitam itu sedikit berantakan akibat ulahnya. Ia menatap langit-langit kamar, kepalanya dipenuhi oleh clue tersebut.

"Jadi 0 1 maksud Rai itu apaan ya?" gumamnya sendirian. Ia membuka handphonenya lalu membuka google maps. Membuka letak Museum Lukisan Artsren yang akan mereka kunjungi. Satria menjelajah masuk ke sana, hingga ia membulatkan mulutnya.

"Oh jadi ini kenapa dari 0 menuju 1,"

"Jadi kamu ikut tergabung buat keseimbangan universe ini, Janu?"

Janu mengangguk sebagai jawaban. Ia sekarang tengah berada di laboratorium tempat bundanya. Bunda Janu adalah seorang profesor, ia adalah sainstis, jadi dapat Janu pastikan Bundanya telah meneliti adanya dunia parallel sejak jauh-jauh hari.

"Bunda udah mengamati gelombang kita, memang sedang terganggu, seperti ada lubang hitam yang mencoba menarik keseimbangan universe kita, Jan." ujar Bunda Sena. Ia mengamati komputernya dengan beberapa pemrograman disana.

"Janu mohon Bunda. Bunda jangan menjadikan Janu sebagai objek penelitian, jangan manfaatin Janu buat itu."

Bunda Sena menghela nafas, "Selagi itu nggak membahayakan kamu, Jan. Bunda nggak akan menganggu kamu," senyuman hangat terbit disana. Membuat Janu ikut tersenyum,  meskipun sebenarnya Janu sedikit ragu.

       Waktu menunjukan pukul 10 malam, terpantau Varo tengah memasak mie di dapur rumahnya, entah mengapa ia tiba-tiba merasakan lapar, apakah karena ia merasa gugup sebelum aksi ke museum lukisan.

Varo meniriskan mie nya yang tengah matang, ia menaruhnya di piring yang telah dituang bumbu, setelahnya ia mengambil gelas yang telah berisi air putih. Ia menaruh piring berisi mie dan gelas itu di meja makan rumahnya. Jangan tanyakan bagaimana keadaan rumah Varo, tentunya sudah sangat gelap, orang tuanya sudah tidur, dan kakak laki-lakinya entah kemana, belum pulang, katanya ada tugas kuliah yang tak terbantahkan.

Varo menyantap mie nya dengan khidmat sembari memainkan ponsel genggamnya, tiba-tiba dering ponsel miliknya mengaggetkan acara makannya.

"Apa sih anjir nelpon jam segini?" Varo menaruh ponselnya di telinga.

"Woi, cepetan ke rumah Janu, lo kok belum nyampe-nyampe?" tanya seseorang di seberang sana.

"Oh iya-iya bentar, lupa gue, ini siap-siap."

Panggilan dimatikan, Varo segera meninggalkan mie nya yang masih setengah itu, ia dengan tergesa segera mengambil jaket yang tergantung di kamarnya setelah itu mengambil kunci motor yang ia gantung di pintu.

"Si Satria memang jamet, gue masih laper udah di buru-buru aja," ujarnya menggerutu.


Multiverse (✔️) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang