Sore itu, Lela sedang quality time bersama kedua cucu kembarnya. Ia menemani mereka bermain di teras. Ia bersyukur dapat membesarkan mereka dengan baik, walau dengan penghasilan buruh tani yang pas-pasan.
"Oma, mas Juna kenapa ya cuek banget sama kita?" tanya si bungsu yang masih berusia 6 tahun.
"Mas kamu itu cuma lagi capek aja. Dapet tugas banyak banget dari gurunya. Nanti kalo Cakra sama Nanda sudah besar juga seperti mas Juna." tidak mungkin Lela mengatakan yang sebenarnya bukan? Ya, sikap Juna pada si kembar memang cuek. Hal itu dikarenakan Juna menganggap bahwa kepergian sang Bunda disebabkan oleh si kembar. Wajar saja, Juna masih berusia 5 tahun saat itu. Masih terlalu kecil untuk mengerti. Lela sudah berusaha menjelaskan, namun belum berhasil mengubah sikap Juna.
"Nanda pengen belajar karate seperti bang Nau."
"Halah, kamu main lari-larian aja besoknya langsung demam. Gimana mau belajar karate??" cibir Cakra.
"Ihh Omaa... Liat tuh Cakra." adu Nanda pada Omanya.
"Cakra... Gak boleh gitu dong sama adiknya. Minta maaf ayo."
Sedangkan Cakra yang ditegur malah mengernyitkan dahinya bingung. "Memangnya Cakra salah apa? Bukankah memang begitu nyatanya? Kecapekan dikit aja, Nanda langsung sakit."
"Iya... Tapi gak boleh bilang seperti itu, nanti Nanda jadi sedih."
"Iya deh iya. Maaf Nan."
Suara jeritan dari rumah yang ada diseberang jalan mengejutkan mereka. Bahkan beberapa tetangga yang mendengar pun turut datang dan mengecek apa yang terjadi.
"Ada apa Oma??" tanya Juna. Juna dan Naufal langsung keluar saat mendengar suara jeritan tadi.
"Oma juga nggak tau." Lela berdiri dan mendekat kearah rumah tersebut diikuti oleh cucu-cucunya. Seorang pria yang keluar dari dalam rumah itu dengan tergesa-gesa, diberhentikan oleh Lela. "Ada apa kang?"
"Ibunya Gendis gantung diri nek." katanya lantas melanjutkan langkahnya.
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un." Lela menutup mulutnya tak percaya. Almarhumah adalah sosok yang dikenal sangat ramah dan baik. Tak ia sangka kepergiannya dengan cara yang seperti ini. Wallahu 'alam.
Bisik-bisik dari mulut ke mulut mulai terjadi. Mereka berspekulasi tentang apa penyebab terjadinya hal ini. Lela menoleh pada cucu-cucunya. "Kalian masuk kerumah aja ya, Oma mau melayat. Juna, jagain adek-adeknya." Juna mengangguk.
Juna menoleh kearah Cakra saat merasa ujung bajunya diremat olehnya. Dirinya dibuat bingung saat melihat Cakra yang bergeming menatap lurus kedepan, kearah Omanya yang berjalan kerumah almarhumah.
"Kenapa? Ayo masuk."
Cakra tak merespon Juna. Namun, tangan Cakra bergerak menunjuk pintu rumah almarhumah. Dalam pandangan Cakra, ia melihat Ibunya Gendis sedang berdiri didepan pintu rumahnya dengan tali tambang yang menjuntai dari leher serta lidahnya yang keluar. "Disana..." ucapnya dengan lirih. Tangannya tampak gemetar dan tiba-tiba ia tak sadarkan diri, pingsan.
"CAKRA!!!"
Itu adalah kali pertama Cakra mengetahui bahwa ia bisa melihat apa yang tak orang lain lihat. Kemampuannya itu menurun dari sang Oma. Tak jarang, omanya itu selalu mengikutsertakan Cakra saat ada seseorang yang meminta tolong. Tidak, Omanya bukan seorang dukun. Namun jika ada hal-hal mistis yang terjadi, orang-orang di desanya sering meminta bantuan pada Lela.
Cakra kembali menghela napasnya. Berkali-kali ia mencoba memejamkan matanya, namun tak kunjung berhasil. Obat tidurnya habis, dan sialnya ia lupa untuk membeli.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...