[20]

542 83 6
                                    

Cakra terbangun dengan badan yang demam di pagi harinya. Meskipun begitu, ia tetap berangkat sekolah. Nanda sudah melarang, tapi Cakra sangat keras kepala. Dirinya kekeuh untuk tetap masuk. Sebenarnya Cakra bisa saja tetap dirumah dan bergelung dengan selimutnya. Tapi respon Juna saat sarapan bersama tadi membuatnya kesal. "Sakit gitu doang jangan dibawa males. Kamu bukan Nanda yang imunnya lemah." begitu katanya.

Naufal sempat menengahi kala itu, tapi hal itu tak membuat Cakra berubah pikiran. Benar kata Juna, ia hanya demam. Tidur di rumah hanya akan membuat sakitnya semakin manja.

Saat ini Cakra dan Nanda sedang berjalan menuju kelas masing-masing. Nanda rela mengantar Cakra sampai kelas walaupun kelas mereka berbeda arah. Berjalan dibelakang Cakra, jaga-jaga jika tubuh lemas itu limbung.

Inilah yang tak disukai Cakra. Disaat kondisi tubuhnya tidak fit, disaat itulah mereka berlomba untuk masuk kedalam tubuhnya. Biasanya Cakra tetap dapat melihat kerumunan mereka. Namun anehnya, kali ini ia tak melihatnya. Ia hanya bisa merasakan kehadiran mereka. Penuh dan sesak, begitulah.

"Titip Cakra ya Sen, anaknya lagi sakit." setelah mendapat acungan jempol dari Sena, Nanda segera pergi ke kelas. Sena menatap punggung Nanda yang menghilang dibalik pintu, kemudian beralih menatap Cakra yang sudah menenggelamkan kepalanya diatas meja.

Nanda meletakkan tasnya di bangku miliknya. Ia keluar kelas untuk ke toilet sebelum pelajaran pertama dimulai. Namun sialnya, ia kembali dicegat oleh Kavin. Pemuda itu tersenyum miring melihat Nanda yang keluar dari salah satu bilik toilet. "Well, kita ketemu lagi."

Nanda melangkah mundur saat Kavin semakin mendekat. "Mau apa lagi lo?"

Kavin terkekeh. Entah apa yang lucu. "Pahlawan lo lagi nggak ada hari ini, kayaknya seru kalo kejadian dulu gue ulangin lagi."

"J-jangan macem-macem Vin."

Bughh

Nanda terjatuh saat Kavin membogem mentah perutnya. Ia hanya bisa meringkuk memeluk perutnya yang terasa nyeri. Tak berhenti sampai disitu, Kavin menginjak kaki kanan Nanda membuatnya memekik tertahan. "L-lepas Vin, sshhh." ringisnya.

Tangannya bertengger di kaki Kavin, mencoba melawan. Tapi tetap saja, ia tak cukup kuat untuk melawan Kavin sendirian. Bahkan saat Kavin menarik kerah seragamnya untuk berdiri dan menyeretnya keluar dari toilet, Nanda hanya bisa berharap. Kakinya terseok mengikuti langkah besar Kavin. Jangan lupakan kakinya yang diinjak tadi, menyisakan rasa ngilu.

Banyak pasang mata yang melihat tanpa ada niatan untuk menolong atau hanya sekedar melaporkan pada guru. Kavin membawa Nanda menuju lorong yang jarang dilewati orang. Gudang. Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Nanda mulai berontak. Ia tak mau dikurung di gudang, lagi. "Please Vin, tolong lepasin gue. Gue mohon..."

Kavin mengabaikan ocehan Nanda. Mereka semakin dekat dengan pintu gudang. Sampai di depan gudang, Kavin mendorong Nanda masuk ke gudang hingga tersungkur. Dengan cepat ia menutup dan menguncinya dari luar. Ia menatap senang pada kunci yang ia curi dari pos satpam. Dapat ia dengar gedoran Nanda yang memohon agar pintunya di buka. Ia menulikan pendengarannya dan segera pergi dari sana.

"Buka pintunya Vin!! Gue gamau disini, please... buka!!" dadanya berdebar kencang sekarang ini. Pandangannya menyapu sekitar. Gudang yang berdebu, sempit, dan gelap. Ia benci tempat ini. Ia gedor kembali pintu yang kini menjadi sandarannya. Ia mulai panik, ini mengingatkannya pada kejadian saat dirinya menjadi siswa pindahan SMP. Sama persis seperti sekarang. Dulu, Kavin juga yang mengunci Nanda di gudang saat SMP. Nanda kira semuanya akan baik-baik saja setelah hari kelulusan. Tapi tak disangka, takdir membuatnya bertemu kembali dengan Kavin. Bahkan mengulang hal yang sama.

NURAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang