Nanda terbangun dengan napas yang tak beraturan. Kepalanya menoleh pada ranjang disampingnya. Ia menyibak selimut yang ia pakai dan mendekat kearah Cakra yang masih terpejam. Jari telunjuknya ia dekatkan ke bawah hidung Cakra. Nanda menghela napas lega saat merasakan hembusan napas Cakra. Mimpi yang buruk.
Matanya tertuju pada jam dinding di kamar, pukul 5 pagi. Nanda menggoyangkan tubuh Cakra pelan. "Bangun Cak, sholat subuh."
Cakra menggeliat di kasurnya. "Ayo ah cepetan, keburu habis waktunya." Nanda bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu.
"Iya iya." Cakra merubah posisinya menjadi duduk. Berdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa hingga Nanda kembali dengan wajah yang basah.
"Buruan wudhu, habis itu ikut gue beli nasi." Cakra mengernyit. "Lo gak masak?"
"Males, beli aja. Sekalian lari pagi mumpung hari Minggu." decakan kesal terdengar dari mulut Cakra. Bukannya tak ingin menemani Nanda, tapi jarak rumah ke warung yang menjual nasi itu tak bisa dikatakan dekat. Butuh waktu 15 menit untuk sampai dengan berjalan kaki.
"Buruan ambil wudhu anjir! Gue gamau nunggu lama-lama." Nanda yang sudah siap dengan sarung serta songkoknya segera membaca niat sholat subuh. Biarlah nanti Cakra menyusul setelahnya.
Setelah selesai melaksanakan kewajibannya, Cakra segera menyusul Nanda yang sudah menunggunya di teras. Udara pagi ini lumayan dingin sebab tengah malam tadi turun hujan, menyisakan mendung yang masih setia menutupi sinar pagi sang surya.
"Mana jaket lo?"
"Buat apa?"
"Dingin Nan, sana ambil jaket."
"Dikit doang Cak yaelah, udah ayo jalan." bukannya melangkah, namun Cakra justru duduk di kursi teras.
"Yaudah sana jalan, gue gamau ikut." Nanda kembali masuk dengan berdecak kesal. Cakra itu terlalu berlebihan menurutnya. Dingin tak akan membuatnya sekarat bukan? Ya memang sih tubuhnya sangat menyebalkan, mudah sekali jatuh sakit.
Seperginya Nanda, Cakra hanya diam melamun. Hingga ia menyadari sesuatu. "Mbak Ayu kemana? Tumben banget nggak nangkring diatas pohon?" gumamnya.
"Ngelamun mulu, ayo jalan."
_______________
Hari Minggu yang mendung adalah suatu hal yang sangat cocok untuk melanjutkan berlayar ke pulau kapuk. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Naufal. Tugas kuliah yang menumpuk membuatnya tak bisa tidur kembali setelah sholat subuh tadi. Meskipun begitu, bukannya mengerjakan tugas justru ia hanya tiduran dan bertukar pesan dengan Khansa. Rencananya mereka akan pergi ke pameran buku. Kemudian siangnya, Naufal ada janji untuk kerja kelompok.
Jam dinding telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Naufal sudah rapi dengan celana hitam serta sweater birunya. Ia berjalan keluar kamar menuju meja makan untuk sarapan. Sepi. Itulah yang ia tangkap pertama kali. Di meja makan juga tak ada apapun. Kemana adik-adiknya? Pikirnya.
Dari arah lain Juna datang dengan seragam kerjanya. Wajahnya segar namun masih terlihat sedikit pucat. "Yang lain mana Nau?"
Naufal menoleh. "Nggak tau mas, Nau juga baru kesini."
"Mas Juna mau kerja? Udah enakan emang?" lanjutnya.
"Udah kok tenang aja." lagi-lagi Juna menyunggingkan senyumnya. Senyum yang tidak disukai Naufal. Naufal yakin ada banyak hal dibalik senyum kakaknya itu.
Ucapan salam yang terdengar membuat Juna dan Naufal menoleh mendapati Nanda serta Cakra datang dengan sebuah kresek putih. Nanda meletakkan nasi uduk yang dibeli keatas meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...