Cakra sampai di rumah pada pukul 6 malam. Sepulang sekolah tadi, ia mampir untuk membeli obat tidur. Ia sengaja tak langsung pulang setelah membeli obat agar Nanda tak curiga. Ya, ia berbohong pada Nanda jika ada rapat OSIS sepulang sekolah. Ia tak mau Nanda mengetahui bahwa dirinya mengonsumsi obat tidur. Lebih parahnya lagi, ia tak mau Nanda mengadu pada Juna.
"Baru pulang Cak?" tanya Naufal yang kebetulan sedang mengerjakan tugas di ruang tamu.
"Iya, ada rapat osis tadi." Naufal mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Tadi saat ia bertanya pada Nanda, anak itu tak menjawab yang membuatnya keheranan.
"Mandi sana." Cakra mengangguk lantas segera pergi ke kamar.
Cakra membuka pintu kamarnya dan mendapati Nanda yang duduk dimeja belajarnya. Ia masuk dengan santai, menggantung tasnya di paku dinding. Sejenak ia menoleh kearah Nanda. Setelah merasa aman, ia membuka tasnya perlahan kemudian mengambil dan memasukkan obat tidur yang tadi ia beli kedalam laci. Selesai dengan itu, Cakra meraih handuk yang di hanger di pintu lemari.
Langkah Cakra yang hendak keluar kamar untuk mandi seketika berhenti, saat Nanda angkat bicara. "Lo bohong."
Cakra menoleh dan bersitatap dengan tatapan datar Nanda. "Lo darimana?" Cakra mengernyit mendengar pertanyaan Nanda. "Udah gue bilang, gue ada rapat."
"Bohong."
"Tadi gue ketemu Abi, dia bilang gak ada rapat hari ini. Masih mau bohong?" lanjutnya. Cakra terdiam. Tak menyangka jika kebohongannya akan terbongkar secepat ini.
"Gue tanya sekali lagi, lo darimana?"
"Bukan urusan lo." Nanda berdecih. "Lo ngganggep gue saudara atau bukan sih Cak? Hal kaya gini aja lo gak mau terbuka sama gue."
"Nggak semua hal harus lo tau Nan."
"Apa gue salah? Gue takut Cak, lo gak tau gimana rasanya. Terakhir kali lo bohong, dan lo berakhir koma di rumah sakit. Lo gak tau kan seberapa takutnya gue saat itu?! Gue cuma gak mau hal itu keulang lagi. Sesusah itukah jujur sama gue?"
"Gue pastiin hal itu ga akan keulang."
"Bisa gue pegang janji lo?"
________________
Malam semakin larut, pekerjaan hari ini terasa lebih berat daripada biasanya bagi Juna. Entah karena pengunjung yang lumayan ramai, atau karena kejadian ia bertemu seseorang yang ia kenal tadi pagi. Juna juga menjadi kurang fokus saat bekerja. Beberapa kali Mikko menepuk pundaknya karena menjumpai Juna sedang melamun.
"Lagi banyak pikiran Jun?" Mikko kembali menepuk pundak Juna dari belakang. "Ah enggak kok bang, nggak papa. Ini pesanan meja nomor berapa bang?"
"Nomor 8." Juna mengangguk lantas segera mengantar pesanan, meninggalkan Mikko yang menatap sendu punggung Juna. Juna telah ia anggap sebagai adiknya sendiri, Namun Juna tetaplah sulung di keluarganya. Mikko tahu ada banyak beban yang Juna pikul sendirian. Juna itu pekerja keras, dan juga keras kepala.
Bel yang terletak diatas pintu masuk cafe bergemerincing, menandakan ada seseorang yang masuk. Mikko menoleh kearah sumber suara. Disana terdapat seorang perempuan sedang celingukan seperti mencari seseorang. 'Hadeh, cewek itu lagi' batin Mikko.
"Mau pesan apa kak?" Mikko tersenyum saat perempuan tadi mendekat, berusaha tetap professional.
"Juna mana?" Mikko menatap malas perempuan didepannya itu. "Minuman kaya biasa aja, dan harus Juna yang nganter ke meja." perempuan itu berlalu begitu saja setelah membayar.
Melihat Juna yang baru saja kembali dengan nampan berisi gelas kotor membuat Mikko tersadar dan segera membuatkan pesanan perempuan tadi. "Jun, meja nomor 5. Cewek lo tuh." Juna menoleh kearah seseorang yang dimaksud Mikko dari kejauhan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengantarkan pesanan.
"Udah mau tutup, ngapain kesini?" Juna meletakkan segelas cappucino latte di meja perempuan itu, Alisya. "Aku kangen sama kamu Jun. Dari semalem kamu susah banget di hubungin, kamu kemana aja sih?"
"Aku sibuk Sya, kamu lihat sendiri kan?" Alisya menahan tangan Juna yang hendak pergi. "Kenapa lagi? Aku masih harus kerja Sya."
"Besok kamu libur kan? Aku lagi pengen shopping, mau beli lipstick sama tas baru. Kebetulan banget kamu habis gajian kan?"
"Aku nggak bisa, maaf." Juna hendak pergi tapi Alisya kembali mencegahnya. "Kenapa sih Jun?! Apa susahnya tinggal beliin aja?!"
Tangan Juna mengepal disamping badan. "Nggak semua hal tentang kamu Sya. Aku punya keluarga, aku punya adik-adik yang lebih butuh uang itu daripada kamu."
"Kenapa kamu jadi perhitungan gini sih? Kamu berubah."
"Kamu yang berubah. Aku nggak kenal kamu yang sekarang. Alisya yang dulu selalu ngertiin keadaan aku, selalu mahamin situasi aku. Sikap kamu berubah sejak beberapa bulan terakhir. Lebih baik kamu pulang, aku masih harus kerja. Jangan buat keributan disini, kita bahas lain kali aja."
"JUNA!!" Alisya berteriak saat Juna meninggalkannya begitu saja, membuat dirinya menjadi pusat perhatian para pelanggan yang ada disana.
"Juna sialan, awas aja kamu."
______________
Juna masuk kedalam rumah dengan langkah gontai. Lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Mulai dari persoalan keluarga, hingga percintaan. Ingin rasanya cepat-cepat merebahkan badannya di kasur kesayangannya dan melupakan semua masalah. Tapi sepertinya hal itu tak bisa ia dapatkan segera karena kebisingan yang berasal dari dapur. Juna menghela napas sebelum akhirnya memutuskan untuk mengecek apa yang terjadi.
Sampai di dapur, Juna melihat salah satu adiknya sedang berjongkok membersihkan pecahan gelas. "Sehari nggak bikin ulah bisa nggak sih Cak?" Cakra terperanjat kaget, ia tak menyadari keberadaan Juna dibelakangnya.
"Maaf mas, Cakra ga sengaja." Juna memijit pangkal hidungnya, pusing. "Beresin, terus tidur." Cakra mengangguk saja.
Cakra menghela napasnya. Tak bisakah kakak pertamanya itu bertanya penyebabnya dulu sebelum menyimpulkan sesuatu? Ya, ia selalu salah di mata Juna. Seperginya Juna dari sana, Cakra kembali berjongkok membersihkan kekacauan yang dilakukan oleh sosok tak diundang. "Gara-gara lo mas Juna makin gak suka sama gue."
Yang dimarahi justru tertawa dengan suara melengkingnya. "Saya hanya cari teman." namanya Ayu, sosok berambut panjang yang menempati pohon mangga depan rumah. Dia tidak jahat, namun sangat usil. Dia juga lah yang selalu mengganggu tidur Cakra setiap malamnya. Dia juga sering menampakkan diri secara tiba-tiba. Jika itu dalam bentuk normal seperti sekarang sih bukan masalah bagi Cakra. Tapi jika dalam bentuk yang penuh darah dan luka, Cakra sangat membencinya. Mual.
"Gak sudi jadi temen lo. Balik ke pohon sana, atau mau gue usir paksa?" Cakra berancang-ancang membaca basmallah namun Ayu sudah melayang pergi duluan.
_____________
28 Februari 2024
.
.
.
Sorry baru update, habis sakit huhu ︶︿︶
Tapi gapapa aku double update hehe <3
Gak pede sama part ini
next >>
part 7 dah update
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...