"Ngapain Anda ada disini?!" Juna menatap nyalang kearah Rendra yang menampilkan senyumnya.
"Kamu nggak kangen sama Ayah, Juna?" Rendra mendekat hendak memeluk Juna, tapi Juna menghindar. Senyum Rendra pun luntur begitu saja. "Maaf Ayah nggak ada di masa-masa sulit kalian, maaf... Seharusnya Ayah bisa menemukan kalian lebih cepat."
"Permintaan maaf itu gak bisa mengubah semua masa sulit yang kita jalani. Kita bisa, dan kita sudah terbiasa tanpa Ayah. Ah, masih layakkah panggilan itu disematkan?"
"MAS! Nggak sopan sama Ayah!" sela Naufal. Ia berdiri menengahi keduanya. Sedangkan Cakra turut menyimak.
"Tau apa kamu Nau? Kamu nggak tau rasanya kerja banting tulang cari uang! Bahkan disaat Oma masih hidup pun mas lebih banyak ngalah demi kalian! Dan sekarang disaat kita bisa lewatin semuanya, dia datang. Dia datang dengan seenaknya dan mau hancurin semua yang udah kita tata rapi? Kamu pikir keluarga barunya itu mau menerima kita begitu saja? Hah?!" Naufal terhenyak mendengar tuturan Juna. Ia tidak tahu jika Ayahnya itu sudah menikah lagi. Dan mengapa Ayahnya tak memberitahunya?
Tak jauh berbeda dengan Naufal, Cakra pun merasakan hal yang sama. Baru saja ia merasa senang karena bertemu kembali dengan sang Ayah, kini harus menelan kecewa. Ia tak tahu harus marah atau tidak. Tapi, hidup di kota yang keras seperti ini Ayahnya memang harus memiliki penyemangat dihidupnya kan?
Melihat Nanda yang terusik membuat Cakra angkat bicara. "Mas, jangan ribut disini. Biarin Nanda istirahat."
Dengan emosi yang belum surut, akhirnya Juna memutuskan untuk keluar ruangan. Ia butuh udara segar untuk menenangkan diri.
Seperginya Juna dari ruangan itu, Rendra beralih pada Naufal dan Cakra yang menatapnya kecewa. Helaan napas panjang ia keluar kan. "Maaf, Ayah nggak cerita dulu ke kalian."
"Setelah ini kalian ikut Ayah mau? Tinggal sama Ayah bareng istri dan anak tiri Ayah." Naufal dan Cakra saling melempar tatap. Tak tahu harus menjawab apa.
"Coba Ayah bujuk mas Juna dulu." semua keputusan ada di Juna, tak mungkin bukan jika mereka bertiga pergi meninggalkan Juna seorang diri? Tidak. Mereka harus tetap berempat. Jika Juna tak menyetujui, maka mereka juga tidak akan ikut sang Ayah. Lagipula mereka sudah terbiasa hidup sederhana bersama.
"Ayah?"
"Nanda..."
__________________
Nanda masih menatap tak percaya pada sosok didepannya yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Ia tak sedang bermimpi bukan? Tolong bangunkan ia jika memang ini hanya mimpi, ia tak mau menaruh harap pada seseorang.
"Biasa aja kali Nan ngeliatinnya." Nanda mendengus mendengar ucapan Cakra yang sedang mengupas apel untuknya.
"Gue nggak mimpi kan Cak?"
"Ck, kalo ini mimpi gue ogah banget ada di mimpi lo. Mending ngopi sama Sena-- aduhh!" Pukulan Nanda bukan main-main. Bahu Cakra terasa nyeri sekarang.
"Kok malah pada berantem sih, Nanda jangan dijahilin terus dong Cak." kata Rendra menengahi.
"Tau tuh Om, rese banget Cakra." Nanda reflek menutup mulutnya saat menyadari kesalahannya. "Maaf, maksud Nanda A-ayah."
Rendra mendekat dan mengusap puncak kepala Nanda. "Nggak papa, nanti juga terbiasa." Nyaman, itulah yang dirasakan Nanda. Rasanya sama seperti saat bersama Oma. Semua ketakutan yang hadir saat ia membuka mata hilang digantikan oleh rasa bahagia. Ia tak perlu takut selagi ada Ayah bersamanya.
"Sekarang jawab gue, siapa yang lakuin ini Nan?" Nanda tak menjawab. Ia hanya meraih apel yang telah dikupas Cakra dan memakannya dalam diam.
"Sudah Cak, biarin Nanda nenangin diri dulu." ucapan Rendra membuat Cakra berdecak dan berpindah ke sofa panjang di ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...