[15]

853 99 3
                                    

Pusing langsung menghampiri kala Juna membuka kedua matanya. Matanya membulat saat melihat jam dinding kamarnya, pukul 8 pagi. Ia sudah terlambat bekerja. Ia segera bangkit dan bergegas mandi. Ingin rasanya memarahi adik-adiknya sebab tak ada yang membangunkan dirinya. Tapi ini juga kesalahannya sendiri.

Saat keluar kamar, Juna melihat Naufal yang masih duduk di meja makan dengan laptop dihadapannya. Cakra dan Nanda sudah pergi ke sekolah sejak tadi. Sedangkan Naufal, dosen yang mengampu berhalangan hadir sehingga hanya memberikan tugas untuk dikerjakan.

"Masuk kerja mas? Ijin dulu aja mas sehari." Juna menggeleng menolak usulan adiknya. Ia hanya diberi jatah 2 hari untuk libur dalam satu bulan, dan ia sudah mengambil semua jatah liburnya.

Juna mengambil sebuah tempe goreng yang ada diatas piring. Berniat memakannya dalan perjalanan. "Nau anter ayo, biar cepet sampe." kali ini Juna tak bisa menolak.

Sampai di cafe, Juna menyerahkan helm pada Nau dan memintanya untuk pulang. "Nanti telepon aja mas biar Nau jemput." Juna hanya mengiyakan saja perkataan Naufal.

Juna langsung masuk tanpa menunggu Naufal pergi. Ia tak boleh membuang waktu lagi. Di dalam, ternyata ada Dava yang berkunjung. Juna menunduk merasa bersalah. "Maaf telat bang."

"Iya gapapa, langsung kerja aja Jun." Juna mengangguk. Menaruh tas kecilnya didalam loker dan segera memakai apronnya. Langkahnya terhenti saat Raka menghalangi jalannya.

"Enak banget lo berangkat telat dan bang Dava nggak marah?"

Dava yang memang sedang mengecek dapur pun mendekat saat mendengar ucapan salah satu pegawainya. "Ada apa ini Raka?"

"Bang Dava harusnya adil dong. Juna telat tapi bang Dava nggak ngelakuin apa-apa. Jangan sampe dia jadi contoh yang gak bener buat yang lainnya bang."

"Jangan diperbesar Raka, lagian baru sekali ini Juna telat."

"Kemarin dia juga buat kerusuhan bang. Dia numpahin pesanan pelanggan. Dia juga mecahin gelas sama piring bang. Bukannya mau manas-manasin, tapi Juna bisa bikin citra cafe ini jadi buruk. Kalo begini terus bang Dava juga yang rugi. Mininal potong gaji lah, atau pecat sekalian."

"Benar itu Juna?" Juna tidak punya pilihan selain mengangguk. Apa yang dikatakan Raka memang benar.

Kemarin, orang yang telah lama tak ia panggil Ayah kembali datang ke cafe. Bukan bersama teman kerjanya, melainkan bersama seorang wanita. Melihat kedekatan keduanya membuat Juna menyimpulkan bahwa mereka adalah suami istri. Hal itulah yang membuatnya menjadi tak fokus bekerja. Meski ia tak lagi berharap sang Ayah akan kembali, tapi rasa kecewa tentu hadir dalam hatinya. Itu juga yang membuatnya menerima tawaran Alisya yang mengajaknya minum. Namun bukannya mengantar pulang Juna yang sudah mabuk berat, Alisya justru pulang sendirian. Membuat Juna di sisa-sisa kesadarannya mengabari Mikko untuk menjemput.

Juna dapat melihat Dava yang menghela napas panjang. "Jangan diulangi. Sekali lagi kamu begitu, mau tak mau kamu harus berhenti."

"Iya bang."

________________

Nanda menelisir deretan buku yang tertata rapi di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di perpustakaan untuk mengambil buku yang di maksud oleh Bu Jihan --Guru Bahasa Indonesianya. Nanda sih biasa-biasa saja, tapi siswa lain yang membuntutinya membuat ia merasa tak aman. Siapa lagi kalau bukan Kavin. Nanda hanya bisa menebak-nebak apa yang akan Kavin lakukan padanya.

Tangannya mulai mengambil buku yang ia cari setelah ketemu. Meletakkannya di meja terlebih dahulu karena jumlahnya yang banyak.

"Saudara lo itu masih gila ya?" Nanda menoleh mendengar pertanyaan aneh dari Kavin. "Siapa?"

"Ck. Tentu saja Cakra!"

"Cakra bukan gila! Dia spesial."

Kavin tertawa mendengar jawaban Nanda. "Lucu ya. Satunya cupu, satunya lagi gila."

Brakk

Nanda meletakkan buku yang ia ambil dengan kasar keatas meja. Tatapanya mengarah pada Kavin yang kini tersenyum miring padanya. "Kenapa? Mau marah?" kedua tangan Nanda mengepal, sebisa mungkin menahannya agar tak membuat keributan di perpustakaan. Juga mengingat bahwa ia hanya sendirian. Melawan Kavin sendirian adalah ide yang buruk. Ia jadi teringat dengan apa yang Kavin lakukan padanya saat masih duduk di bangku SMP dulu.

"Buruan balik kelas, Bu Jihan udah nunggu." Nanda membawa separuh tumpukan tersebut dan berlalu begitu saja. Melihat itu, Kavin ogah-ogahan membawa separuhnya lagi. Ia segera menyusul langkah kaki Nanda. "Ck, sial banget gue hari ini jadi babu."

Kavin berhasil menyamai langkah Nanda. Keduanya berjalan beriringan namun tetap membuat jarak. Baru saja hendak masuk kelas, Kavin dengan sengaja menyilangkan salah satu kakinya kearah Nanda. Nanda pun terjatuh bersama dengan buku-buku yang ia bawa. Sontak gelak tawa teman sekelasnya memenuhi ruangan. Nanda tertunduk malu, ia bisa melihat Bu Jihan berjalan mendekat.

"Ayo Ibu bantu Nan." Bu Jihan mengulurkan tangannya membantu Nanda. Nanda meringis saat berhasil berdiri. Pergelangan kakinya terasa nyeri, sepertinya terkilir. Bu Jihan yang melihat ekspresi Nanda pun bertanya tentang keadaannya. Tapi Nanda hanya menjawab tidak apa-apa.

"Kalian itu gimana sih?! Ada temannya yang jatuh bukannya ditolong malah diketawain! Coba kalian ada di posisi Nanda, gimana perasaan kalian??" Semuanya diam, tak ada yang berani menjawab.

"Sudah. Nanda, Kavin, kalian bisa duduk kembali."

_________________

Indahnya langit senja kini telah digantikan oleh gelapnya malam. Seorang pria paruh baya menatap lurus televisi di depannya, namun pikirannya melayang entah kemana. Sang istri yang melihat itu memutuskan untuk mendekat. Mendorong roda dari kursi yang ia duduki dengan perlahan, hingga akhirnya berhasil sampai di dekat suaminya.

"Masih kepikiran sama yang kemarin?" pria itu menoleh mendapati istrinya yang duduk di kursi roda. Ia mengangguk membenarkan perkataannya.

"Dia yang pernah aku ceritain ke kamu sebelumnya. Pertama kali kita ketemu, dia seperti terkejut seolah mengenalku. Menurutmu, apa mungkin dia yang kucari selama ini?"

"Hanya kamu yang tahu jawabannya mas. Tak ada salahnya untuk mencari tahu lebih dalam lagi."

"Jika aku menemukannya, bagaimana denganmu dan putramu?"

"Kita pikirkan itu nanti."

"Besok aku libur. Aku akan mencari rumahnya."

Tanpa disadari oleh keduanya, seorang pemuda turut mendengarkan percakapan mereka. Kedua tangannya tampak terkepal dan rahang yang mengeras.

________________

07 Mei 2024

.

.

.

 Main tebak-tebakan yuk, hehe ^ω^


Vote dan ramaikan komen yaa~~

NURAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang