Jam menunjukkan pukul 6 pagi saat Nanda membuka matanya. Ah dia ketiduran selesai sholat subuh tadi. Untung saja hari Sabtu, hari libur. Jadi ia tak perlu tergesa-gesa untuk pergi ke sekolah. Meskipun begitu, ia harus tetap membuat sarapan untuk saudara-saudaranya. Baru saja hendak turun dari ranjang, Nanda meringis saat pergelangan kakinya terasa ngilu. Ia meraba area yang sakit itu perlahan. Dan benar saja kakinya bengkak. Padahal tadi subuh masih belum sesakit ini.
Ceklek
Cakra membuka pintu kamar dengan pakaian santainya. Rambut yang sedikit basah dan handuk tersampir di bahu. Sepertinya ia baru selesai mandi. Dahinya mengernyit menatap Nanda dengan heran. "Kenapa lo?"
"Nggak papa." Nanda berusaha bersikap biasa saja. Ia berusaha bangkit dan segera ke dapur. Namun baru berjalan satu langkah, tubuhnya limbung ke samping. Kakinya yang bengkak terasa sangat sakit saat dipaksa berjalan. Beruntung ada Cakra yang refleks menangkap Nanda.
"Lo tuh kalo sakit bilang, gue bukan peramal yang bisa tahu isi pikiran lo." Cakra membantu Nanda kembali bersandar di ranjang dengan kaki yang diluruskan. Mati-matian Nanda menahan ringisannya dalam diam, tak ingin Cakra yang sedang memeriksa kakinya mendengarnya.
"Kenapa bisa bengkak gini? Lo habis jatuh?"
"Iya, kemarin."
"Ck, bentar gue ambil es batu buat kompres."
Nanda hanya diam mengamati. Masih tak percaya kejahilan Kavin yang membuatnya jatuh di depan kelas akan berakhir seperti ini. Ia kira hanya sakit sebentar kemudian sembuh setelah sedikit dipijit. Cakra kembali dengan membawa kantung es batu. Ia duduk di pinggiran ranjang, mulai mengompres kaki Nanda perlahan.
"Jatuh dimana?"
"Di kelas."
Cakra kembali mengernyitkan dahinya. "Gara-gara Kavin?" tebaknya membuat Nanda gelagapan. Secepat mungkin ia rubah ekspresi kagetnya.
"Bukan, kesandung kaki gue sendiri ini. Udah biarin aja, nggak sakit k---"
"ARGHH SAKIT GOBLOK!!" Teriaknya saat Cakra dengan sengaja menekan kakinya yang bengkak. "Cih, katanya nggak sakit."
"Nih kompres sendiri, gue mau bikin sarapan."
"Jangan! Nanti kebakaran. Beli aja di warung, uangnya di laci dapur." Cakra hanya memutar bola matanya malas. Sebenarnya ia bisa memasak, ya walaupun hanya sebatas mie instan atau telur dadar. Tapi ia yang ceroboh pernah hampir membuat dapur kebakaran. Serbet yang Cakra letakkan di dekat kompor tiba-tiba saja terbakar saat ia lupa mematikan kompor. Sejak saat itu, Nanda lah yang meng-handle urusan dapur.
"Iya iya."
_________________
Dalam sebuah ikatan persaudaraan, pasti ada perselisihan diantaranya. Namun hal itulah yang menjadi alasan makin dekatnya sebuah persaudaraan. Seperti yang terjadi diantara Nanda dan Cakra. Keduanya telah bersama sejak dalam kandungan sang Bunda. Sebesar apapun permasalahan diantara mereka, pada akhirnya akan berdamai dengan sendirinya. Mereka tak bisa saling membenci dalam waktu yang lama.
Malam ini Cakra sedang menemani Nanda menonton televisi, berjaga apabila Nanda membutuhkan sesuatu. Kaki kanannya masih belum bisa bergerak bebas. Juna serta Naufal sudah pergi dengan urusannya masing-masing sejak pagi.
"Ambilin minum dong Cak, gelas gue kosong tuh." pinta Nanda.
"Lo sengaja ya nyuruh-nyuruh gue?" protesnya. Bukannya tak mau mengambilkan, tapi ia baru saja mengambilkan camilan dari dapur atas permintaan Nanda 10 menit yang lalu. Dan sekarang diminta kembali ke dapur untuk mengambil minum. Meskipun begitu ia tetap bangkit menuruti Nanda dengan mulut yang tak berhenti mendumal.
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...