Jam baru menunjukkan pukul tiga pagi. Sialnya, Cakra yang tertidur dengan bantuan obat itu tiba-tiba saja terbangun karena mimpi buruk. Berakhir tak bisa tidur lagi dan memutuskan mencari udara segar diluar rumah.
Disinilah Cakra sekarang, duduk bersandar di pohon mangga tempat Mbak Ayu biasa nangkring. Cakra ingin tahu tentang kejadian semalam. "Mbak Ayu kemarin kemana aja? Seharian nggak nongol."
"Hihihi kamu kangen ya."
"Cakra serius Mbak."
"Sebenarnya udah dua hari yang lalu, pas kamu pulang malam terus kakakmu yang galak itu marah-marah."
Cakra tampak mengingat-ingat sesuatu. "Dua hari yang lalu? Apa sepulang dari rumah Nila?"
"Malam itu kamu bawa aura yang negatif banget. Saya sampai ngungsi dirumah kosong sebelah."
"Terus yang semalem? Kenapa Cakra nggak bisa lihat apa-apa?"
"Ada sesuatu yang nutup mata kamu. Energinya nggak senegatif sebelumnya sih, jadi mungkin mereka cuma kiriman seseorang buat peringatan. Makanya saya masih berani ngusir."
"Apa mungkin ada hubungannya sama orang yang Cakra tolong mbak?"
"Bisa aja sih. Jadi orang itu jangan terlalu baik Cak, nggak semua kebaikan akan dibalas kebaikan pula."
"Cakra." panggilan dengan suara datar itu mengejutkan Cakra yang asik melamun. Ia langsung berdiri saat mendapati Juna sudah berdiri didepan teras. Menatap sinis kearah dirinya. "Mas Juna? Kebangun gara-gara Cakra ya? Maaf."
"Ngomong sama siapa tadi?" Cakra hanya menggeleng. Jika ia jujur, maka kakaknya itu sudah dipastikan akan marah lagi. "Bukan siapa-siapa kok mas."
"Masuk rumah, gausah aneh-aneh."
_______________
Seperti biasa, Cakra dan Nanda berjalan bersama menuju kelas kemudian akan berpisah di ujung tangga karena arah kelas yang berbeda. Saat ini Nanda sudah duduk manis dibangkunya dengan buku diatas meja. Ia mendongak kearah jam dinding. Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi teman sebangkunya masih belum terlihat. Tidak bisa dikatakan teman juga sih, sebab Nanda tak terlalu dekat dengannya. Nanda itu tak punya teman jika di kelas, ia terlalu menutup diri. Oleh karena itu Nanda lebih sering bersama Cakra saat istirahat tiba.
Nanda yang telah fokus kembali dengan bukunya itu mulai terganggu dengan bisik-bisik yang terdengar.
"Ada anak baru ya?"
"Beneran? cowok atau cewek?"
"Gatau deh, liat aja nanti."
Nanda tetap acuh. Ia tak berminat dengan apa yang teman-temannya bahas. Lagi pula, ia juga tak ingin menambah teman. Bersama Cakra dan Sena saja sudah cukup baginya.
Tak berselang lama dari itu, Bu Nina selaku wali kelas sekaligus guru matematika masuk dengan seorang siswa yang membuntuti dari belakang. Nanda masih tak bergeming. Tak mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca.
"Hari ini kalian mendapat teman baru. Ayo perkenalkan diri kamu."
"Gue Kavino Ardana."
Nanda terdiam. Nama itu, ia mengenalnya. Ia mendongak memastikan seseorang yang sedang berdiri didepan kelasnya. Keduanya saling bersitatap tanpa sengaja. Nanda segera menyembunyikan tangannya yang tampak gemetar. Dia kembali.
"Kavin kamu duduk di sebelah Nanda ya."
"Loh Bu, terus Arya gimana?" protes salah satunya.
"Hari ini Arya gak masuk, sakit. Tadi orang tuanya hubungi saya. Nanti biar saya carikan bangku lagi untuk Arya. Silakan duduk Kavin, materi akan saya mulai." Kavin tampak mengangguk dan segera ke bangku yang kosong.
Ditempatnya, Nanda tampak gelisah. Ia tiba-tiba berdiri saat Kavin mendekat. Satu tangannya terangkat ke udara. "Maaf Bu, saya izin ke toilet sebentar."
Setelah mendapat izin dari Bu Nina, Nanda segera beranjak. Namun sebelum itu, Kavin membisikkan sesuatu padanya. "Kenapa? Takut? Mau ngadu ke Cakra?" Nanda sontak menggeleng, dapat ia lihat bahwa Kavin tersenyum miring. Tangannya yang gemetar itu terkepal disamping bahan. Kemudian keluar kelas menuju toilet.
Sampai di toilet, Nanda menunduk didepan wastafel. Tangannya masih terkepal. Ia memejamkan kedua matanya saat kenangan masa lalu yang susah payah ia lupakan muncul kembali. Napasnya tampak memburu. Dengan cepat ia menyalakan keran dan membasuh wajahnya. "Tenang Nan, lo bakal baik-baik aja. Lo harus tenang." gumamnya.
Nanda tampak berpikir. Haruskah ia memberitahu Cakra? Ah tidak, sepertinya itu ide yang buruk. Orang itu bisa saja berbuat macam-macam.
Jam istirahat telah tiba. Cakra dan Sena sudah duduk manis di kantin dengan pesanan masing-masing. Ya, hanya berdua. Nanda bilang dia harus mengerjakan tugas terlebih dahulu.
"Gue denger-denger ada anak baru ya? Katanya sih satu angkatan sama kita."
"Siapa?"
Sena mengangkat bahunya singkat, tanda ia tak tahu. Kemudian kembali menyuapkan sebuah bakso kedalam mulutnya. "Udah kelas 12 baru pindah kesini?" sahut Cakra.
"Kalo punya duit mah apa aja bisa di lakuin Cak."
"Bener juga."
"Nanti jadi kerumah gue?" Cakra mengangguk. "Jadi, nanti gue chat Nanda biar pulang duluan."
"Bagus deh, nyokap gue juga pengen ngobrol sama lo." hal itu sukse membuat Cakra mengernyitkan dahinya.
______________
Naufal baru saja keluar dari ruang ganti. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya melatih anak-anak. Selesai kuliah siang tadi, ia langsung meluncur ke tempat kerjanya yang tak lain adalah milik mantan pelatih karatenya dulu. Naufal melirik jam tangan miliknya. Pukul 15.00, seharusnya Khansa sudah selesai dengan kuliahnya. Ia ada janji untuk menjemputnya hari ini. Ia segera meraih kunci motor serta tasnya, tak lupa berpamitan pada pelatih yang kini merangkap sebagai bosnya sebelum akhirnya melajukan motornya menuju kampus.
Tak butuh waktu lama sebab jaraknya yang hanya satu kilo dari kampus. Dapat ia lihat dari kejauhan, Khansa yang telah menunggunya di parkiran fakultas.
"Maaf nunggu lama." ucapnya dengan menyodorkan helm untuk Khansa. "Enggak kok, aku juga baru keluar."
"Mau mampir kemana dulu?"
"Emm, beli kopi dulu yuk. Pusing habis ngerjain kuis."
Naufal terkekeh mendengarnya. Ia pun segera melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Menikmati setiap menit bersama Khansa. Naufal mengaku bahwa ia beruntung memiliki Khansa. Bahkan terkadang ia merasa tak pantas bersanding dengan Khansa. Khansa terlalu sempurna untuk dirinya yang biasa-biasa saja. Tapi Khansa selalu menepisnya. "Kamu berlebihan Nau." katanya.
Motor Naufal berhenti kala lampu lalu lintas berubah merah. Mengamati jalanan yang tak terlalu ramai itu. Matanya menangkap seseorang yang ia kenal. "Ayah?"
Didalam mobil terlihat seorang pria paruh baya yang berhenti membeli koran milik anak jalanan. Setelahnya segera memacu mobilnya karena lampu masih menyala hijau.
"Ayah? Benarkah itu Ayah?" Naufal masih terlarut dalam pikirannya sendiri. Hingga tepukan kecil dari Khansa menyadarkannya. "Lampunya udah hijau Nau." Naufal mendapatkan dunianya kembali. Suara klakson yang bersahutan membuatnya segera menarik gas motornya, mengesampingkan apa yang ia pikirkan sebelumnya.
_______________
01 April 2024
.
.
.
udah lama nggak update hehe adakah yang nungguin??
meet sahur para readersku wkwkwk
next?
vote + komen banyak banyak ya <3
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...