"Mas Juna udah pulang?" alis Nanda menukik kala kakak sulungnya itu tak menyahut. Memarkir sepedanya dengan kasar. Nanda masih berada ditempat yang sama setelah kepergian Rendra lima menit yang lalu.
"Tumben pulang awal mas? Nggak lembur?" Juna masih tak menjawab. Melewatinya begitu saja, membuat Nanda terheran.
"Mas tadi ada Om Rendra nyari mas Juna. Dia ngasih i---"
"Jangan temui dia lagi!" sentak Juna sebelum ucapan Nanda selesai. Nanda terpaku, bingung dengan apa yang terjadi pada kakak sulungnya itu. Nanda hanya diam menunduk. Dari suara tajamnya tadi, dapat Nanda simpulkan bahwa Juna tak suka dengan kehadiran Rendra.
"Ada apa ini mas?" Naufal datang dengan wajah lelahnya. Ia baru saja pulang dari kerja kelompok setelah siangnya melatih karate. Melihat sang kakak dan adiknya saat ini membuatnya urung untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya.
"Tanya sendiri sana sama adek kamu." Juna berlalu begitu saja meninggalkan Naufal yang kini beralih menatap Nanda. "Kenapa Nan?"
Bukannya menjawab, Nanda hanya menyodorkan apa yang diberi oleh Rendra tadi. Naufal membaca kartu nama itu, dahinya mengernyit. "Dia siapa?"
"Katanya sih kenal sama mas Juna. Om Rendra nawarin mas Juna kerja di perusahaannya. Tapi mas Juna marah pas tau om Rendra kesini."
Naufal turut dibuat bingung dengan sikap masnya itu. "Udah lupain aja, mas Juna lagi capek makanya marah-marah. Kamu udah makan?"
"Belum, masih nunggu Cakra pulang."
"Cakra kemana?" Nanda menggeleng. "Nggak tahu, tadi keluar sama Sena. Bilangnya sih cuma sebentar. Bang Nau udah makan?"
"Udah tadi dijalan. Abang ke kamar ya, nanti jangan lupa langsung makan kalo Cakra pulang."
"Iya bang."
Nanda menatap punggung Naufal yang menghilang dibalik pintu kamar. Langkahnya ia bawa ke ruang tamu, menonton televisi sambil menunggu pulangnya Cakra. Suara pintu rumah yang terbuka tak mengalihkan perhatian Nanda. Ia menebak itu pasti Cakra.
"Udah pulang Cak?" tanyanya tanpa menoleh, ia sibuk mengganti channel televisi didepannya. Pertanyaan yang Nanda lontarkan hanya dibalas deheman singkat oleh Cakra. Nanda pun menoleh.
"Makan bareng ayo, laper banget gue nungguin lo daritadi."
"Gue temenin aja deh ya, udah kenyang."
_______________
Entah bagaimana dan kenapa, tiba-tiba saja Cakra sudah berada di sebuah tempat yang tidak asing. Gelap dan berkabut, itulah yang pertama ia tangkap. Cakra tak berhenti melangkah mengamati sekitar. Ia mengerti sekarang, ini adalah jalan menuju rumah Sena. Rumah bercat putih di depan sana tak lain adalah rumah Sena.
Pandangannya tertuju pada seorang perempuan bergaun putih yang berdiri di samping rumah Sena. Perempuan itu tampak sedang menyiram bunga. Bunga melati. Perempuan itu tak lain adalah Hana. Cakra mendekat tanpa mengalihkan pandangannya dari Hana.
"Kak Hana! Aku beli ini buat kakak." Hana meletakkan penyiram tanamannya dan berbalik menghadap pemuda yang lebih tinggi darinya. Menerima sebuket bunga melati yang disodorkan pemuda itu.
"Indah sekali. Terimakasih, Sena." Cakra membulat mendengar nama yang keluar dari mulut Hana. Sepertinya ia sedikit memahami apa penyebab Hana tertarik dengan temannya.
"Dia adikku." suara lirih menyapa telinga Cakra. Ia menoleh dan sudah ada Hana di sampingnya. "Temanku, bukan adikmu. Mereka dua orang yang berbeda."
"Akan ku buat keduanya sama dalam hal apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
NURAGA
Teen FictionKisah empat bersaudara yang berjuang melawan kerasnya dunia. Sejak meninggalnya sang Bunda dan Oma, keempatnya dituntut hidup mandiri disaat anak seumuran mereka dimanja oleh orangtuanya. Juna, si sulung yang pekerja keras demi menghidupi adik-adikn...