02 ⚘ Inner Turmoil & Negative Thoughts

36 8 4
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Usai mandi dan berpakaian, sang ratu keluar dari kamar besarnya dan berjalan santai menyusuri lorong. Mengabaikan tatapan remeh dan cibiran-cibiran dari para pelayan yang berlalu-lalang di lorong istana dengan tatapan datar andalan. Sudah biasa, bagi Fioletta mendapat perlakuan demikian semenjak kabar buruk mengenai dirinya tersebar ke seluruh penjuru istana.

Ratu yang tidak bisa memberikan keturunan untuk sang raja.

Tidak hanya orang-orang istana saja. Berita itu bahkan sudah menyebar di Kerajaan Veroxz sendiri. Seperti angin, berita itu menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Seperti racun yang belum menemukan penawarnya, sampai sekarang pun, Fioletta tetap bertahan dari cibiran orang-orang dan berusaha tetap mempertahankan posisinya di istana ini.

Ia tidak akan menyerah terhadap Frost karena ia sudah jatuh cinta pada suaminya itu. Ia tidak akan menyerah, karena ia tidak ingin kembali ke keluarga lamanya sebagai seorang putri yang gagal. Bukannya mendapat ketenangan, yang ada ia malah akan mendapat banyak siksaan.

"Wah! Sang Ratu sudah keluar dari kamar megahnya."

"Kau benar. Aku heran kenapa Yang Mulia Raja masih mempertahankannya. Seharusnya ia mulai mencari istri baru sekarang."

"Hey! Jangan berbicara keras-keras. Nanti kalau Yang Mulia Ratu mendengar, bagaimana?"

"Bukankah bagus? Biar dia sadar diri kalau seorang perempuan tidak bisa hamil dan memiliki anak itu adalah aib serta kutukan yang tak termaafkan."

Fioletta mengulum bibir bawahnya, berusaha menahan rasa sesak di dada. Ia tak berani menoleh ke belakang untuk sekadar melihat siapa saja yang telah bergunjing tentang dirinya.

Seandainya Frost tahu bagaimana perlakuan para pelayan itu padaku, apakah dia akan marah dan bertindak?

Ah, rasanya tidak ya.

Mengingat hubungan mereka yang merenggang semenjak berita tentangnya tersebar di Veroxz, hubungannya dengan Frost menjadi dingin. Laki-laki itu seolah enggan berurusan dengannya. Ia bahkan sampai meragukan perasaan cinta suaminya itu. Jika Frost benar-benar mencintainya, tidak mungkin laki-laki itu akan bersikap demikian. Menutup mata dan telinga tanpa berbuat apa-apa untuk membungkam mereka.

"Yang Mulia, Anda sudah selesai dengan semua dokumen-dokumen Anda?"

"Ya, aku sudah selesai dengan pekerjaanku."

Fioletta tersentak, dan spontan menghentikan langkah saat suara yang sangat dikenalinya itu terdengar. Suara Frost dan juru bicaranya. Mereka berdua baru saja keluar dari ruang kerja sang raja. Fioletta yang memang sudah merindukan suaminya itu segera saja menghampiri posisi keduanya dan memberikan pelukan pada lengan kanan Frost yang bebas.

"Yang Mulia! Anda baru saja keluar dari ruang kerja Anda setelah dua hari lamanya! Apa saja yang Anda lakukan di dalam? Tidakkah Anda merindukan saya?" Senyuman manis terukir di bibir merah Fioletta Verriz. Pun dengan kedua manik aquamarine miliknya yang berbinar-binar.

"Salam untuk Yang Mulia Ratu." Sang juru bicara memberikan salam pada Fioletta yang disambut dengan senyuman ramah wanita itu.

"Hai, Morris! Salam juga untukmu."

"Apa yang Anda lakukan di sini?" Sang raja yang sedari tadi terdiam, kini berujar sembari menatap sang ratu. "Bukankah saat ini Anda biasanya berada di kebun belakang dan memberi makan ikan-ikan di kolam?"

"Ah, ya! Saya baru saja hendak ke sana."

"Apakah Anda belum makan?"

Fioletta mengernyit. Sedikit tidak mengerti dengan pertanyaan Frost yang terbilang cukup tiba-tiba. Ia melirik ke arah juru bicara sang raja yang masih setia berdiri di tempat.

Frost yang seolah mengerti dengan tatapan sang istri, memerintahkan Morris untuk pergi. "Morris, kau bisa pergi dulu ke ruang pertemuan. Nanti aku akan menyusul."

"Baik, Yang Mulia. Saya pamit undur diri terlebih dulu." Morris berpamitan pada sepasang suami-istri tersebut sebelum benar-benar pergi meninggalkan keduanya di lorong istana.

"Morris sudah pergi, jadi apakah Anda sudah makan?"

Fioletta menggeleng dan menjawab dengan senyuman canggung. "Sebenarnya saya baru saja bangun dan selesai mandi. Saya juga belum sarapan, Yang Mulia." Wanita yang memakai gaun berwarna berry itu meringis saat melihat sang suami menghela napas.

"Ayo ke ruang makan. Kita makan bersama."

Sudut bibir Fioletta Verriz spontan terangkat ke atas. Ia tahu kalau Frost masih sangat peduli padanya meskipun tertutup oleh sikap dingin dan cuek laki-laki itu. Akan tetapi, apakah ia harus selalu mencari perhatian seperti istri kurang belaian sementara ia tahu diri kalau ia tidak bisa memberikan keturunan untuk sang suami?

Ya Tuhan, aku mencintai Frost. Aku sangat ingin memiliki keturunan darinya, memberikan pewaris untuknya. Menjadi sosok wanita seutuhnya. Menjadi seorang ibu yang didambakan semua orang. Tidak bisakah kau mengambil kutukan ini dariku?

Fioletta menggigit bibir bawahnya saat pikiran-pikiran negatif terus saja berputar di otaknya. Tidak dipungkiri, bahwa ia pun merasa sakit hati dan kecewa saat tabib istana memvonis dirinya mandul dan tidak bisa memiliki anak. Padahal kehidupan rumah tangganya bersama Frost sudah sempurna. Laki-laki itu pun juga mencintainya. Ia sudah berbagi ranjang bersama, bercanda bersama, bersikap layaknya sepasang suami istri yang bahagia.

Lantas kenapa Tuhan merampas kebahagiaan yang baru saja ia cicipi itu dengan paksa? Dosa apa yang telah ia perbuat di masa lalu sehingga ia tidak bisa bahagia di masa sekarang?

Jalan menuju ruang makan istana terasa lama. Fioletta melirik sosok Frost yang berjalan di sampingnya dengan ekspresi datar andalan laki-laki itu. Ia jadi teringat kalau Frost adalah sosok yang begitu berjasa untuknya. Frost adalah pahlawannya karena telah menyelamatkan ia dari kedua orang tuanya yang gila. Meskipun pada awalnya pernikahan ini hanyalah karena kesepakatan politik semata, tapi ia bersyukur dipertemukan dengan Frost Verriz.

Namun sayang, semua kebahagiaan itu dirampas begitu saja saat berita tentang Fioletta yang tidak bisa memiliki anak tersebar.

Di masa ini, perempuan memang seringkali mendapat perlakuan tidak adil. Seorang perempuan akan menjadi sempurna saat ia sudah menjadi seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu.

Tapi aku tidak bisa menjadi ibu.

Miris.

Sepertinya kata itu memang cocok jika disematkan di belakang nama sang ratu.



Kiw! Gimana sama bab duanya, nih? Jujurly, aku kasian sama Ratu Fioletta😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kiw! Gimana sama bab duanya, nih? Jujurly, aku kasian sama Ratu Fioletta😭

LA TENTATRICE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang