03. Perjanjian 12 hari

301 28 0
                                    


Galen Pov

Kegiatan belajar ku tergangu saat lagi lagi dan lagi aku mendengar tangisan itu. Genggaman tangan ku pada bolpoint itu mengerat. Aku tidak suka hal ini.

Tetapi, walau hatiku sangat membenci hal ini, tetap saja aku tidak bisa berbuat apa apa. Berakhir aku yang hanya bisa memperhatikan dan mengawasinya dalam diam.

Pada akhirnya, aku hanya akan mendengarkan dia menangis sepuasnya. Maafkan aku Hera.

Sraak!

Tulisanku terhenti, kala telingaku mendengar suara pintu balkon yang terbuka. Aku pun bangkit dari duduk ku dan mengintip ke arah kiri, ingin memastikan bahwa yang membuka pintu balkon kamar adalah Hera.

Dia tersenyum dalam pejaman matanya, kurasa Hera sedang menikmati hembusan angin di malam ini. Sudut bibir ku menukik ke atas, aku senang bisa melihat Hera tersenyum.

“Hiks hiks hiks..”

Tindakan selanjutnya yang Hera lakukan membuat bola mataku melotot, dia menangis.

Aku meremas bagian samping kaos yang aku kenakan, memang aku sudah terbiasa mendengar tangisan dari dia. Tetapi jika melihatnya langsung seperti ini membuat hati ku sakit berkali kali lipat.

Aku memejamkan mataku sejenak, aku berfikir apa yang harus aku lakukan? Aku sudah berusaha sebelumnya. Apakah aku harus melakukan jenis usaha lainnya?

Lalu dengan fikiran yang matang, aku memutuskan untuk berbicara langsung dengan Hera. Aku sudah sangat yakin dengan keputusanku, aku akan berusaha lagi, dan ini adalah usaha ku yang terakhir. Bahkan jika resikonya aku yang semakin disuruh untuk menjauhinya lagi, aku akan terima.

Sreeekk!

Dengan mantap, aku menarik pintu geser di balkon ku ini, lalu berdiri menghadap kearah Hera dan memanggilnya.

“Hera..”























***





















Dengan perlahan aku membuka kenop pintu kamar Hera, sedikit rindu dengan rumah dan kamar ini.

“Galen..”

Pandangan mataku langsung tertuju kearah balkon kamar Hera, dimana dia masih belum beranjak dari duduknya.

Dengan segera aku tutup kembali pintu kamar Hera, dan mulai berjalan mendekat kearahnya.

Puk puk puk

Salah satu tangannya menepuk bagian samping sofa yang kosong, Hera menyuruhu untuk duduk disampingnya. Aku pun mengangguk.

Tatapan ku masih lurus menatap kearah luar, belum berani untuk menatap mata itu secara langsung lagi.

Aku menunggu Hera yang berbicara, tapi sepertinya dia pun tidak berniat untuk memulainya, dengan terpaksa aku pun menghela nafas ku dengan pelan, lalu berujar sesuatu.

“Sebenarnya—“ ucap galen
“Aku baik baik saja—“ ucap hera

Dengan wajah terkejutnya yang sama dengan ku, Hera juga berbicara dengan waktu yang bertepatan dengan perkataan ku.

“Ah, maaf. Galen bisa bicara lebih dulu”

Ucapnya dengan sedikit kekehan yang ku dengar, sekali lagi mataku tak sengaja menangkap beberapa bagian tubuhnya yang lebam.

Aku mengatur nafasku yang perlahan memburu itu, aku masih harus menahan emosi ku selama aku sedang berhadapan dengan Hera.

Tapi, fikiranku berkata lain, aku sudah lelah melihat Hera yang selalu disakiti, laki laki berengsek bernama Seno itu membuatku muak.

Golden Hour (Short Story) GxGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang