"Lo pernah denger gak? kalau pennyesalan terbesar laki-laki itu pas tau perempuan yang selalu merjuangin dia akhirnya bahagia laki-laki lain," tanya Sifa lagi.
Mobil yang dikendarai mereka berdua tiba-tiba berhenti karena Launa mengerem mendadak, sehingga membuat Sifa mengernyit bingung.
"Kenapa berhenti, sih?" Sifa berbicara dengan nada ketus.
"Kalau gitu siapa cowok yang jatuh cinta ke gue Fa, biar gue bisa liat penyesalan di wajah Herli," ucapnya menggebu-gebu.
"Dih, ya mana gue tahu," kata Sifa sinis.
Launa menghela napas berat sebelum menjalankan mobilnya kembali. Dalam benaknya masih terus terpikir dan bertanya tentang hal yang sama.
Siapa sih cowok yang jatuh cinta ke gue dan jadiin gue alasan supaya dia bisa tetap hidup?
Perjalanan menuju mall seharusnya tidak selama ini, tapi entah kenapa hari ini waktu terasa sangat lama dan melambat. Apakah karena mobil mereka tadi sempat berhenti atau kondisi hati mereka berdua yang menjadi penyebabnya?
"Fa, lo nyadar gak kalau perjalanan kita ke sini kayak lama banget?"
Sifa menggangguk. "Ini pasti gara-gara lo yang nyetir terus tadi sempet berhenti juga," omel Sifa.
Karena tidak ingin memperkeruh suasana dan ingin cepat melihat-lihat miniatur rumah minimalis yang dia inginkan. Launa berjalan mendahului Sifa, tidak peduli jika di belakang Sifa masih terus ngedumel. Perhatiannya teralihkan karena beberapa miniatur rumah yang dipajang benar-benar memanjakan matanya dan yang pasti gadis itu ingin membawanya pulang. Kerena kebetulan juga pada hari ini sedang diadakan event pameran miniatur rumah. Belum puas memperhatikan sekitar, Launa merasa terganggu karena Sifa yang menepuk-nepuk pundaknya. "Na, kayaknya ada kak Ahza deh, dia mau jalan ke arah sini."
Launa langsung menoleh ke arah yang Sifa maksud dan ternyata benar. Karena tidak ingin ada urusan lagi dengannya, Launa segera pergi sebelum Kak Ahza semakin dekat. Sifa mengikuti Launa yang berjalan sangat cepat dan tidak banyak bertanya. Meskipun dalam hati dia juga ingin tahu alasan di balik dia menghindar barusan.
"Kita mau ke mana sekarang?" tanya Sifa penasaran.
"Pulang aja ke rumah."
***
Semuanya terlambat karena Kak Ahza sebenarnya tahu dan menyadari kalau Launa sedang mencoba menghindarinya. Lah, kenapa kok tumben banget ketemu gue langsung pergi?
Ahza langsung mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya dan membuka whattsapp, satu namanya yang saat ini ingin dia hubungi adalah Herli. Dia curiga hubungan adiknya sedang bermasalah,
Ahza:
Waktu lo pergi kemarin bilang gak sih ke Launa atau minimal pamit gitu.Herli:
Enggak, gue gak pamitAhza:
Lo tau akibat dari sikap lo itu? Launa jadi menghindari gueHerli:
Perasaan kakak aja kali, biarin aja kak. Gue mau lanjut kerjaSemakin lama Ahza menjadi kesal karena sikap adiknya itu, selalu menganggap santai apa pun yang terjadi. Laki-laki itu tidak memikirkan akibatnya akan seperti apa. Tapi setelah dipikir-pikir kenapa malah gue yang kepikiran mereka berdua sih?
Ahza kembali melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda dan tidak ingin memusingkan masalah tentang hubungan adiknya lagi. Dia yakin, Herli juga bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
***
Di tempat lain, Herli hanya duduk diam termenung, seperti kehilangan sesuatu. Perkataan kakaknya masih terus terngiang dan dia juga membenarkan kalau memang beberapa hari terakhir Launa menjadi berubah, sepertinya tidak pernah lagi mengirim spam chat untuk dirinya. Herli meng-scroll chat satu minggu terakhir yang dia terima. Dan setelah membaca pesan tersebut terbesit rasa bersalah karena Herli hanya sesekali merespons padahal Launa sangat full effort. Perhatiannya masih sama.
Untuk menebus rasa bersalahnya Herli itu berjanji pada dirinya sendiri akan fast respons jika nantinya Launa mengirimi pesan atau menghubunginya lagi. Herli merebahkan tubuh di atas sofa. Matanya terpancang di langit-langit ruang yang tertutup plafon putih. Sesekali terdengar helaan napasnya. Setelahnya, tangan kanannya bergerak menutup mata. Berharap bisa menghilangkan seluruh beban pikirannya kala mata tertutup. Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Pikiran yang semula ruwet, malah makin bundet. Bahkan Herli sampai tidak sadar jika ponsel yang dia taruh di atas meja masih menyala.
"Ngapain lo? Tumben banget keliatan kayak orang putus asa?" Suara Ezhar yang cukup keras membuat Herli sedikit terkejut, pasalnya laki-laki itu sempat memejamkan matanya.
"Gak papa, lagi santai aja."
Ezhar malah terkekeh karena dia melirik ke arah ponsel milik Herli yang menyala karena mendapat notifikasi pop up whatsapp.
"Jiah, ternyata masih mandangi foto Launa ya lo!"
Herli hanya terdiam karena tebakan Ezhar tepat sasaran. Memang benar setelah membaca ulang pesan mereka berdua, Herli berulang kali memandangi foto Launa yang masih tersimpan. Dia juga sudah berniat ingin mencetak foto gadis itu dan akan dia pasang di belakang layar case ponselnya.
Cewek secantik Launa mah gak akan gue lepas dan izinin jadi milik orang lain.
Herli buru-buru mengambil ponselnya dan mengecek siapa yang menghubungi. Sialnya dia masih berharap kalau yang menghubunginya Launa, padahal rekan kerja lain yang ingin membahas tentang jobdesk. Herli hanya bisa menghela napas panjang.
***
Seperti sudah terbiasa tanpa kehadiran Herli dan notifikasi chat dari laki-laki itu, sekarang Launa ingin fokus dengan seseorang yang sedang bersamanya, yaitu Sifa. Dia ingn mengucapkan rasa terima kasih karena selama beberapa bulan terakhir, Sifa sudah meluangkan waktunya hanya untuk mendengarkan keluhan Launa yang berulang-ulang.
"Makasih ya, Fa, lo udah jadi sahabat sekaligus safe place bagi gue. Lo setia dengerin curhat gue dari awal sampai akhir meskipun topik yang gue bahas selalu sama," Launa berbicara seraya menatap lekat wajah sahabatnya itu.
"Kapan pun lo merasa risih karena cerita gue ini, bilang aja Fa. Gue bakal berusaha mengurangi, kok," lanjutnya.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktunya Untuk Serius [Completed]✓
General Fiction[Revisi setelah tamat] Launa hanya ingin bercerita tentang bagaimana dia menjalani hubungan jarak jauh atau long distance relationship bersama Herli. cowok yang melatih mentalnya dan membuat batinnya teruji. Entah bagaimana akhirnya dan sejauh man...