Bab 12

25 3 0
                                    

Seperti dugaan Ezhar satu minggu yang lalu, dia dan Herli benar-benar akan dipindahkan ke tempat kerja baru. Ekspresinya memperlihatkan wajah muram, sangat berbeda dengan Herli yang justru berambisi.

"Kurang lebih 3 tahun kita kerja bareng, pas mau pindah tempat kenapa lo juga ikut, sih," keluh Herly pada Ezhar.

"Gue juga sebenernya berat ninggalin tempat ini, kalau gue udah gak di sini lagi gak bisa cari perhatian ke doi,'' sahutnya menunjukkan wajah memelas.

"Emang dia notice?" tanya Herly lagi meremehkan.

"Iya lah."

Cowok itu kemudian sibuk membereskan kamar dan menata pakaian yang akan di masukkan ke dalam koper. Saking sibuknya dia bahkan tidak sempat mengecek ponsel. Benda itu seolah tidak berguna saat ini.

"Kita berangkat jam berapa?"

"Gak tau, mungkin abis dzuhur."

Herli merasa Tuhan itu maha baik, saat dia ingin mencari pengalaman lebih luas, Allah memberi kesempatan untuknya untuk menjelajahi beberapa kota di Indonesia. Berawal dari Yogjakarta, Semarang, Bogor, dan sekarang Bandung. Meskipun ada satu hal yang tidak terlalu dia pikirkan, yaitu kisah asmara.

"Lo udah kasih kabar orang tua belum?"' Ezhar bertanya secara tiba-tiba membuat laki-laki yang ada didekatnya terperanjat. "Kabarin kalau udah sampai sana gimana, ya?"

"Jangan. Mending kasih tau sekarang daripada nanti di perjalanan ada apa-apa, gue syukurin lo," kata Ezhar kesal.

"Lah, kan bareng lo, kalau kecelakaan ya udah. Berarti lo juga luka atau langsung mati?"

"Terserah."

Menanggapi hal tersebut Herli malah tertawa puas, entah mengapa saat mengganggu temannya itu dia merasa terhibur.

"Mending tarik kata-kata lo, sebelum ada malaikat lewat yang mengaminkan omongan lo tadi," peringat Ezhar.

"Iya-iya."

***

Herli melakukan apa yang diperintahkan Ezhar, dengan ekspresi malas dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan yang akan dikirim kepada Kak Ahza.

Herli:
Kak, gue mau pindah kerjaan ke Medan, bilangin ke mama papa. Mungkin nanti sore terbang.

Selang beberapa menit pesan itu dikirim, ponsel Herli sudah berbunyi lagi.

Kak Ahza:
Serius lo? Kok mendadak, sih.

Herli:
Gue kan udah lama kerja di sini, jadi dipindahin ke tempat itu biar bisa ngajarin pekerja pemula.

Kak Ahza:
Jadi semakin lama dong lo pulang ke sini. Gak kangen apa sama kakak lo ini?

Membaca balasan pesan terakhir, Herli merasa mual karena sikap Kak Ahza yang berlebihan.

Herli:
Mending kasih doa yang terbaik buat adiknya. Demi masa depan dan uang.

Sebenarnya Ahza sangat mensupport semua usaha yang dilakukan adiknya, karena Herly bisa mempunyai banyak pengalaman dan teman baru. Tapi Ahza juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri kaalu perempuan tersebut rindu adiknya, terlebih umur yang semakin bertambah sementara momen kebersamaan mereka sangat sulit dilakukan lagi. Ahza menjadi menyalahkan dirinya sendiri, kenapa dia tidak terlahir sebagai sultan agar bisa mencukupi kebutuhan dan kemauan adiknya. Tapi, Herli tetaplah Herli yang mempunyai sifat keras kepala dan ingin hidup mandiri. Dia tidak akan mau mengandalkan orang tua apalagi kakak jika menginginkan sesuatu.

***

"Menurut gue itu ide gila, sih." Sifa tidak habis pikir kenapa Launa bisa berpikir seperti itu. Dia akan pergi ke luar kota hanya untuk menemui pacar yang notabenenya sudah tidak peduli lagi dengannya.

Udah ditampar berkali-kali sama kenyataan tapi tetep aja bego

"Gue udah mikirin ini mateng-mateng, Fa. Hitung-hitung kasih kejutan buat dia."

Jika boleh jujur Sifa sudah muak dan ingin memaki sahabatnya itu, tapi sepertinya Launa lebih membutuhkan dorongan dan motivasi.

"Sekarang gue tanya, apa komunikasi lo sama dia udah membaik? Apa dia kasih lo hal istimewa sampai kamu segininya?" Sifa mencecar banyak pertanyaan berharap Launa bisa menjawab dan meyakinkan dirinya untuk menyetujui rencana yang akan dia lakukan. Namun, gadis itu hanya menggeleng.

"Berapa lama waktu lo yang terbuang cuma buat laki-laki sampah itu?" tanya Sifa lagi dengan nada tinggi. "Gak perlu lo jawab, gue udah tau mungkin hampir berbulan-bulan kan?" Lanjutnya.

Launa hanya memberi anggukan kecil, untuk berbicara rasanya berat sekali.

"Na, seharusnya lo mempersiapkan diri untuk menyambut laki-laki yang memang pantes buat lo. Pastinya orang itu bikin lo bahagia dan merasa dicintai, bukan merjuangin orang salah kayak Herli."

Launa berusaha mencerna saran dari Sifa, sahabatnya itu memang benar. Selama ini fokusnya hanya tertuju pada Herli dan Herli, tidak ada yang lain.

"Tapi terserah deh, gue cuma kasih saran sebelum hidup lo ke depan jauh lebih hancur dan berantakan. Karena gue gak mau hal itu terjadi sama sahabat gue."

Bukannya menanggapi ucapan Sifa, Launa malah justru bertarung dengan pikirannya sendiri. Bahkan ketika gue sadar Herli memang jahat banget ke gue, gue masih tutup mata dan berharap semua akan berakhir indah suatu saat nanti.

Sifa sudah melihat ekspresi Launa yang seperti orang kehabisan energi, kedua matanya pun tampak berkaca-kaca. Akhirnya perempuan itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang lain yang lebih ringan. Namun, sepertinya Launa sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, jadi lebih baik dia memberi waktu bagi Launa untuk sendiri. Meskipun masih berada di tempat yang sama, mereka sudah tidak banyak berbicara lagi.

***

Rusaknya komunikasi Launa dan Herli ternyata berpengaruh buruk untuk semua rutinitasnya. Gadis itu sering sekali kehilangan fokus dan konsentrasinya buyar. Namun, seakan menjadi manusia yang paling bernyali, dia sangat senang mendapat notifikasi favorit yang selama ini dia tunggu.

Herli:
Gak usah ke mana-mana, di rumah aja. Gue udah gak kerja di tempat yang kemarin.

Launa mengerjapkan matanya berkali-berkali hanya untuk memastikan kebenaran dari pesan yang dia baca. Tentunya dia berharap pesan itu hanya bayangan, tapi ternyata salah. Semuanya terjadi dan itu nyata.

Lo seriusan pergi tanpa pamit ke gue, ya?

To be continued

Waktunya Untuk Serius [Completed]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang