Bab 11

23 4 0
                                    

Andi sudah bersiap-siap akan pergi, tapi sebelum itu dia mengecek ponselnya terlebih dahulu karen tadi sempat berbunyi.

Karla:
Ke rumah gue cancel dulu ya, soalnya gue lagi gak di rumah.

Karena suasana hening, terdengar jelas Helaan napas Andi. Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menghampiri Vyo.

"Lo mau ke mana?"

"Lah ngapain tanya-tanya, katanya tadi mau ke rumah Karla."

"Gak jadi, dia gak di rumah."

***

Obrolan cukup serius antara dirinya dan Sifa, membuat Launa lupa kalau dia belum membalas pesan dari kekasihnya. dengan jemarinya yang lincah, dia kembali mengetik pesan.

Launa:
Kalau lewat chat agak susah jelasinnya. Bisa gak kalau kamu punya waktu luang telepon aku.

Setelah berhasil terkirim, Launa merasa harap-harap cemas, karena dia takut pesannya kembali terabaikan dan Herli hanya membalasnya jika sempat. Saat ingin melakukan hal yang lain pun rasanya sangat berat karena fokusnya saat ini hanya untuk memikirkan Herli. Sekali lagi, Launa mencoba mengecek ponselnya, ternyata sudah ada balasan dari cowok itu.

Herli:
Yang sekarang gue tuh yang dipikir gak masalah perasaan aja. Jadi ya gue gak mau terlalu mikir ke situ dulu. Banyak banget yang harus kupikir di kerjaan, di rumah, di luar, dll. Maaf ya, kalo cuek apa kurang peduli.

Launa
Iya, gak apa-apa. Semangat ya, yang terpenting lo selalu inget kalau gue milik lo hehe

Berbulan-bulan Launa mencoba menjaga perasaan hanya untuk setia pada satu laki-laki tapi ternyata justru hal menyedihkan yang dia dapat. Membaca pesan itu rasanya seperti dihantam benda dengan sangat keras. Namun, seolah ahli dalam bersandiwara Launa membalas pesan Herli dengan sangat lembut. Launa sakit hati tapi dia tidak akan pernah bisa berpaling dari Herli. Launa jadi berpikir apakah dirinya harus pergi menghampiri laki-laki itu agar bisa tahu kegiatan apa aaja yang dia lakukan dan dengan siapa Herli berinteraksi.

Gak usah berlebihan, Na.

***

"Seriusan kita mau pindah cabang ke medan?" tanya Ezhar penasaran.

Yang ditanya bersikap santai dan mengiyakan pertanyaan temannya itu. "Emang lo gak tau ya? Apa jangan-jangan cuma gue nih yang pindah, maklum lah senior," jelasnya merasa bangga.

Jika memang benar mereka akan pindah itu artinya Heri meninggalkan teman-teman seperjuangannya di tempat ini, terlebih lagi bagi Ezhar, dia akan merindukan perempuan yang beberapa bulan ini sedang gencar Ezhar dekati. "Yah, gue bakal pisah dong sama crush gue nantinya."
Herli memutar bola matanya malas.

"Ya belum tentu juga ini keputusan final, kan baru katanya. Lagian niat lo kerja di sini apa, sih? Cari duit apa dapetin doi?"

"Dua-duanya. Lo juga harus pamit ke Launa kalau kita beneran pindah. Kasihan dia selalu ngarep kabar dari lo."

"Sok tau."

"Sekarang gue tanya cewek mana sih yang betah dicuekin mulu sama pacarnya tapi perasaan dia gak pernah berubah, padahal bisa aja loh dia berpaling dan milih yang pasti."
Meski terdengar seperti ceramah dan sangat memuakkan. Jauh di dalam benak Herli dia membenarkan ucapan Ezhar. Perlahan-perlahan laki-laki itu sadar kalau Launa memang selalu berjuang untuk dirinya. Terbukti sampai sekarang dia masih tetap mengirim pesan random setiap hari, sedangkan Herli sendiri hanya merespons pesan Launa sesempatnya.

**

Hal yang paling sulit Launa lakukan adalah saat dirinya harus tetap menjaga hubungan baik dengan keluarganya Herly. Dia harus berusaha mati-matian berusaha bersikap seolah semuanya bahagia padahal sebaliknya, Launa merasakan sesak di dada.

Malam ini langit cerah dan di lokasi tempat dia berada sekarang disuguhi pemandangan citylight dari atas bukit yang sangat memanjakan mata. Seharusnya Launa bisa menunjukkan wajah semringah tapi dia hanya bergeming dan menatap sendu pemandangan depannya. Situasi saat itu sebenernya ramai, Namun entah kenapa Launa justru merasa terganggu karena ada beberapa orang yang sibuk membuat konten sambil menyetel lagu-lagu sedih sehingga membuat hatinya semakin teriris.

"Ngobrol sih, nduk, kalau kamu diem aja kakak juga bingung mau bahas apa," ucap Ahza membuka suara.
Launa hanya tersenyum tipis.

Ya apalagi aku mbak, rasanya kayak gak kuat ada di sini

Karena berusaha mengurangi rasa canggung, mereka berdua membicarakan hal-hal ringan, ya walaupun sesekali pembahasan tentang Herli yang menjadi topik utama.

Launa kembali bergeming sambil bermonolog sendiri. Andai kakak tahu kalau sebenarnya aku sering merenung sebelum tidur atau bahkan saat tidur pun sering terbawa mimpi.

"Mbak, aku sama Herli sebener-"

"Na, kayaknya mbak harus pergi duluan, Nih. Ditinggal gak papa ya?" potong Ahza membuat Launa berhenti berbicara.

Launa mengangguk kecil.

"Kamu mau ngomong apa? Oh, apa kamu mau tau kegiatan kakak?" tanya Kak Ahza memberikan penawaran.

Launa jelas menolak, karena tidak mungkin dia menyetujui ajakan Ahza, karena takut hanya membuat repot. lagi pula dia ingin menghabiskan waktu lebih lama di tempat ini. "Gak papa, Mbak. kalau mau pergi, pergi aja."

Jangan baik-baik ke aku, Mbak. Aku bisa semakin tersiksa nanti.

Dari yang awalnya memandangi punggung kak Ahza yang semakin menjauh, Launa beralih membuka ponselnya. salah satu hal yang paling nekat dan tanpa pertimbangan, tapi dengan berani gadis itu lakukan. jemarinya sangat lincah mengetik pesan.

Launa
Gue mau nyusul lo ke tempat kerja

To be continued

Waktunya Untuk Serius [Completed]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang