Bab 21

20 3 0
                                    

"Ya udah kalau gitu Na, omongon gue ini mungkin gak bakal lo dengerin, gue pamit pulang. Lo kan capek, mendingan tidur aja. Pesen gue cuma satu sih,  kasih ruang buat sayang sama diri lo sendiri."

Setelah mengucapkan hal itu Sifa langsung memutuskan untuk pulang. Launa tidak membalas atau berkata apapun. Kenapa sih disaat hubungan gue sama Herli udah mulai membaik dan hangat lagi, malah bertengkar sama Sifa.

Tubuh yang kelelahan dan pikiran yang berantakan membuat gadis itu tidak tahu harus berbuat apa lagi. Gue harus ngapain sih, Ya Allah.

Saking ruwetnya pikiran gadis itu, Launa sampai mengabaikan telepon dari Herli. Entah berapa panggilan yang tidak terjawab Launa tidak peduli. Dia kembali berjalan ke kamar dan memutuskan untuk langsung tidur.

Launa berharap saat dia bangun besok semua keadaan udah mulai membaik. Gadis itu tidak mau terus-terusan mendapat masalah. Launa juga tidak ingin memulai hubungan tentang orang baru, menjelaskan ulang tentang hal yang membuat dia senang dan paling dibenci. Launa sudah tidak punya energi untuk itu semua.

***

Seharusnya Herli bisa menikmati malam yang tenang saat ini, tapi semuanya musnah ketika mendapat chat dari kakaknya.

Kak Ahza:
Udah lupa sama keluarga di sini ya kamu.

Herli:
Kenapa sih kak? Tiba-tiba chat ngomel-ngomel.

Jika berkaitan dengan kakaknya sebisa nungkin Herli menanggapi chat tersebut fast respon.

Herli:
Kan gue kerja, Kak. Megang Hp juga kalau pas istirahat.

Kak Ahza:
Kamu gak pernah mau nelepon duluan sebelum di telepon. Mama kangen.

Herli:
Iya maaf, besok lagi bakal sering ngabarin deh.

Tidak memedulikan lagi chat dari kakaknya itu, Herli beralih membuka roomchat dari Launa. Ekspresinya berubah murung karena tidak ada chat apa pun dari gadis itu. Herli menjadi khawatir dan muncul banyak pertanyaan dalam benaknya. Dia baik-baik aja kan? Sampe rumahnya jam berapa ya? Kenapa kok gak langsung kasih tau gue pas udah sampe rumahnya.

"Kayaknya belum lama ketemu doi tapi udah ditekuk aja mukanya," tegur Ezhar karena merasa heran dengan tingkah sahabatnya itu.

Tanpa menoleh, Herli menanggapi perkataan Ezhar dengan nada ketus.
"Masalahnya bukan Launa, tapi kakak gue. Nge-chat cuma untuk ngomelin gue."

"Biasanya juga lo cuek."

Tapi memang benar yang dikatakan Kak Ahza, dia jarang menghubungi keluarganya sebelum kakaknya memberi kabar terlebih dahulu. Entah lah, rasanya malas untuk memegang benda kecil yang disebut Handphone itu kecuali untuk mengecek pekerjaan.

"Pas lo main sama Launa sempet main ke tempat wisata yang lagi rame itu gak sih?" tanya Ezhar serius. Herli pikir sahabatnya itu sudah pergi karena tidak terlalu dihiraukan olehnya.

"Tempat wisata apa namanya?"'
Ezhar terlihat berpikir, sebelah alisnya terangkat. "Ah gue lupa, yang jelas tempat itu baru dibuka dan pengunjungnya rame banget, cocok juga buat orang pacaran."

"Telat! Launa udah pulang kemarin, lo ngasih taunya kenapa baru sekarang?"

"Makanya kalau mau pergi tuh prepare dulu, jangan lupa juga buat searching tempat romantis. Biar momen kalian berkesan." Memang Herli akui, Ezhar lebih paham dan banyak mengetahui tempat-tempat recommended didatangi.

"Lo waktu itu pernah bilang kalau sebentar lagi bakal pulang kampung, ya?" tanya Herli serius. Ezhar juga heran kenapa tiba-tiba cowok itu mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Gue juga udah bilang ke orang tua."

"Gue juga kayaknya mau pulang kayak lo."

"Serius lo? Bukannya di sini lo yang paling keliatan pekerja keras."

"Di mana pun gue berada emang pekerja keras," sahut Herli bangga dan penuh penekanan.

"Perasaan lo luluh karena didatengin Launa kemarin?"

Kali ini Herli tidak menjawab karena yang dikatakan sahabatnya itu benar, dia juga ingin mencoba hal baru. Sesuatu yang lebih menantang, dia ingin berkolaborasi bersama kakaknya dalam membangun usaha.

Semoga aja kak Ahza setuju sama keputusan gue ini. Biar gue gak perlu jauh-jauh lagi hidup di kota orang.

Namun, hal yang menjadi alasan kuat Herli ingin segera pulang adalah Launa. Cowok itu ingin membuktikan kalau memang saingan Launa selama ini adalah pekerjaan, bukan perempuan lain.

Tunggu gue pulang ya Na, gue gak akan berpaling dari lo.

***

Satu minggu sebelum Herli memutuskan untuk pulang ke rumahnya, dia menyempatkan diri untuk mengajak Ezhar pergi keliling kota, mengunjungi tempat-tempat bagus yang sebelumnya belum pernah dia datangi. Dia ingin mengabadikan momen lebih banyak lagi dengan teman-temannya.

"Lo yakin mau ngajak gue jalan-jalan, kan kita satu kota kayak mau pisah aja," tanya Ezhar dengan nada malas.

''Iya emang kita satu kota, masih bisa ketemu juga. gue ngajak lo buat nunjukin jalan aja, kan lo yang hapal," sahut Herli enteng seraya menyindir. Sementara Ezhar yang mendengar perkataan itu langsung cemberut dan ngedumel dalam hati.

''Temen macam apa lo."

Tawa Herli pecah karena berhasil membuat Ezhar merasa jengkel. "Ya gak papa sih, lo kalau gak mau ikut ya di sini aja, biar gue ngajak temen yang lain."

Ezhar sempat terdiam beberapa detik untuk berpikir, kemudian menyetujui. Karena dia sudah merencanakan sesuatu. Ezhar dan Herli berjalan menuju parkiran, sambil menunggu 2 orang temannya yang lain. Cowok itu memandang langit sekitar untuk memastikan cuaca hari ini cerah. Karena semua sudah berkumpul mereka pun berangkat dan masing-masing berboncengan.

Mereka semua berkendara dengan kecepatan normal, baru setengah perjalanan keempat temannya itu menghentikan motor di depan toko karena ingin membeli sesuatu dan menyuruh dia untuk jalan duluan.
Herli mengendarai motornya dengan fokus, saat sampai di perempataan jalan dia bertanya arah kepada Ezhar.

"Ini arahnya ke mana, ya?"

"Gak tau, jalani aja dan percaya semua bakal indah pada waktunya, kok."

Jika tidak sedang berada di jalan, kepala Ezhar mungkin sudah mendapat pukulan keras dari Herli, tapi apa yang bisa Herli lakukan selain diam seraya menarik napas panjang. "Serius anjir, gak usah sok dramatis."

Ezhar malah justru tertawa. "Belok kanan."

Herli mengikuti arahan dari Ezhar dan tidak banyak bertanya lagi. Sementara sahabatnya itu masih belum berhenti tertawa karena niatnya kali ini berhasil. Jalan yang mereka lewati sekarang sebenarnya salah dan harus memutar.

Goblok banget gue ajak lewat jalan tikus masih nurut aja.

Setelah kurang lebih 30 menit dalam perjalanan, Herli baru sadar jika mereka tidak sampai-sampai di tempat yang mereka tuju. Muncul rasa curiga juga pada sahabatnya itu, Herli memperlambat laju motornya dan mengecek google maps dan sesuai dugaan jalan yang mereka lewati tidak sesuai seperti yang tertera pada layar.

Waktunya Untuk Serius [Completed]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang