Bab 17

19 3 0
                                    

Belum sempat Sifa menyelesaikan ucapannya, Launa dengan cepat langsung menyahut. "Gue cuma pengen tunjukin ketulusan aja kok. Andai aja lo tau Fa, kalau setiap gue ketemu sama kak Ahza, dia selalu bersikap manis dan baik banget," jelas Launa dengan suara lirih. Sesekali dia mengucek matanya karena sempat berkaca-kaca.

Sekarang Sifa paham, alasan dibalik sahabatnya itu masih terus bertahan dalam hubungan yang menurutnya benar-benar toxic. "Enggak. Lo gak boleh kayak gitu, karena nanti yang bakal jalanin hubungan itu kalian berdua. Lo sama herli, bukan orang lain apalagi sama kakaknya."

"Tapi gimana kalau setiap kita ketemu dia selalu tanya tentang hubungan yang kami jalani. Disitu kadang gue cuma bisa kasih senyuman tanpa tau harus berkata-kata-"

"-Karena gak mungkin kan gue ceritain semua masalah ke kak Ahza apalagi sampe ngadu."

Baik Sifa maupun Launa, semuanya terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. Sifa sebenarnya tidak ingin terus-menerus menasehati Launa seperti itu, bahkan sampai dirinya sendiri pun tidak mementingkan lagi urusan percintaannya.

"Gue pamit dulu Na! Pesanku cuma satu semoga hati lo gak hancur karena terus bertahan kayak gini."
Mungkin dengan cara pamit bisa memberi ruang dan waktu untuk sahabatnya itu agar bisa berpikir.

"Inget masa depan lo lebih penting," ucap Sifa lagi sebelum benar-benar keluar dari kamar Launa. Sementara gadis itu hanya tersenyum sekilas dan beralih mengecek ponsel.

1 minggu lebih Launa tidak bermain ponsel hanya untuk mengetes apakah laki-laki yang dia perjuangkan selama ini menghubungi dan mencarinya? Tapi saat rencana tersebut berhasil Launa justru heran, karena ternyata Herli masih menghubunginya.

Herli :
Na, lo baik-baik aja?

Enggak! Setelah lo pergi semua berantakan dan hati gue hancur.

Launa :
Kenapa lo gak jujur aja sih?

Herli :
Jujur tentang apa?

Launa :
Jujur bilang ke gue kalau lo nyuruh gue pergi yang jauh. Biar gue gak nunggu lo terus.

Herli :
Gak mau lah, gue masih sayang sama lo. Lusa gue pulang, gue ke rumah ya!

Entah kenapa rasanya Launa malas sekali merespons chat dari kekasihnya itu, padahal biasanya notifikasi dari cowok tersebut yang selalu dia tunggu, tapi sekarang justru berbanding terbaik.

Launa:
Gak perlu, hari ini gue udah otw ke luar kota, lo betah-betahin aja di sana.

Herli :
Hah, lo mau ke mana?

Kenapa baru sekarang Herli terlihat peduli? Bukankah sebelumnya cowok itu membiarkan Launa untuk jatuh cinta dan excited sendiri. Launa tidak punya alasan lagi untuk mempertahankan hubungan mereka. Jadi lebih baik gadis itu menata ulang hidupnya untuk masa depan yang lebih baik. Menggapai cita-cita yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan.

Namun bagaimana Launa bisa fokus untuk mengejar impian, sementara otak dia masih terus memikirkan laki-laki yang saat ini jauh dengannya.

Apa gue nyusul Herli ke kotanya ya?

***

Kurang lebih satu minggu berlalu dan Herli mulai tidak fokus dengan pekerjaannya karena beberapa hari lagi dia akan pulang menemui Launa. Tapi sepertinya semesta tidak mendukung karena chat terakhir gadis itu yang berkata bahwa dia akan pergi ke luar kota tanpa menyebut tujuannya.

Lo mau ke mana sih, Na? Bentar lagi gue pulang. Emang lo gak pengin ketemu gue ya?

Di tengah kacaunya pikiran Herli, Ezhar tiba-tiba memanggil namanya cukup keras dan berulang kali.

"Herli, lo dicariin sama seseorang. Cepet temuin dia dalam waktu 15 menit, sebelum dia pergi lagi." Ezhar berbicara dengan nada serius, sementara Herli hanya menatap cowok itu sinis sambil menggerutu dalam hati.

"Gila! Siapa sih orang yang pengen ketemu gue? Sok penting banget," tanyanya dengan nada kesal.

"Tinggal temuin aja susah banget, kayaknya malah lo yang merasa jadi orang penting."

"Masalahnya dia ngasih waktu singkat banget."

Bukannya segera menemui seseorang yang dimaksud oleh Ezhar, cowok itu malah sempat-sempatnya bermain ponsel. Namun sesaat kemudian Herli menatap wajah temannya dan bertanya ulang. "Siapa sih orang yang ngasih waktu ke gue cuma 15 menit?" tanya Herli menunjukkan ekspresi wajah serius. "Padahal kan dia yang yang pengin ketemu gue."

Karena rasa penasaran yang cukup tinggi akhirnya Herli berjalan menemui seseorang yang ingin menjumpainya. Tubuhnya seolah mematung dan jantungnya berdetak lebih cepat. "Launa?"
Dia rela nyamperin gue Lampung-Medan?"

"Na?" Panggil Herli pelan. "Ngapain ke sini?"

Posisi mereka saat ini berhadap-hadapan, pandangan keduanya bertemu. Launa sempat berkaca-kaca karena tak kuasa menahan rasa rindu yang dia pendam selama ini.

"Iya, ini gue."

"Lo bilang kalau pergi ke luar kota beberapa hari yang lalu. Kok tiba-tiba udah ada di sini aja tanpa kasih tau gue dulu?"

"Gue pengen ketemu lo. Lo gak mau ketemu gue ya? Ya udah gue pergi lagi aja ya."

Sebelum Launa berbalik badan, dengan cepat Herli menarik tangan Launa dan membawanya ke dalam dekapannya. "Gue kangen lo, Na."

"Gak percaya, selama ini juga beku banget kayak es. Bahkan temen gue sampai bilang kalo lo itu manusia dingin."

Herli tidak mau berdebat dan melawan semua perkataan Launa hanya dia dengarkan. "Maafin ya sayang. Maaf juga karena udah buat lo jauh-jauh dateng ke sini," ucapnya lirih. Melihat kedatangan Launa yang sebelumnya tidak pernah terpikir membuat dia semakin yakin kalau gadis itu memang benar-benar menunjukkan effort untuk cintanya. Padahal Herli juga sadar sudah terlalu banyak kesalahan yang dia lakukan pada gadis itu.

"Gue hampir ngadu semua ke kak Ahza tentang semuanya. Mulai dari lo yang gak pernah hubungi gue sampai berbulan-bulan dan pergi ke sini tanpa pamit."

Herli hanya mendengarkan tanpa mengucap sepatah kata pun karena merasa bersalah.

"Dia taunya hubungan kita baik-baik aja tanpa masalah. Gue juga gak mau dianggap sebagai pecundang karena memanfaatkan kedekatan sama kak Ahza-"

"Na..."

"Kalau gue nekat mungkin semua hal udah gue kasih tau ke dia, tapi gue masih mikir ketidakmungkinan dan respons yang bakal gue terima."

Herli masih mendengarkan semua perkataan yang ingin Launa ucapkan.
Laki-laki itu bahkan tidak mengerti kemauan Launa. Setelah beberpa detik, dia baru membuka suara.

"Na, lo dateng jauh-jauh ke sini cuma pengen bentak gue?" tanya Herli dengan suara lirih. "Iya, gak papa silakan. Lakuin aja."
Perasaan Launa saat ini tidak bisa dideskripsikan. dia menyesal sekaligus merasa menjadi perempuan paling bodoh.

"Lo gak seneng kan gue ada di sini dan mungkin berpikir Launa itu perempuan bodoh macam apa, sih, rela jauh-jauh nyamperin cowok ke luar kota padahal gak tau dianggap atau enggak."

"Na, lo belum kasih kesempatan gue buat ngomong."

"Bahkan mungkin kalau besok gue udah pergi dari sini lo gak akan merasa sedih atau kehilangan, yang ada cuma rasa lega dan bebas."

Tanpa menunggu aba-aba Herli langsung menarik tubuh gadis itu ke pelukannya untuk kedua kali. "Na, lo yakin bakal ngelakuin yang lo bilang barusan? Emang gak pengin ngabisin waktu bareng gue dulu? Orang yang lo kangenin, sekarang lagi peluk lo, Na."

To be continued

Waktunya Untuk Serius [Completed]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang