BAB 3 TETIBA DINGIN

15 0 0
                                    

“Gak kok, aku gak bakal sedingin es yang kayak kau kira. Tapi, entah mengapa rasanya aku gak terima oleh ucapan buruk seseorang yang suka mengecap kata tanpa melihat seisinya terlebih dulu.” – Dilan Darmawangsa.

***
Dilan masih merenungkan kata-kata dari dua gadis di sekolah tadi, kenal pun tidak. Bahkan anak ini merasa cukup terganggu. Hatinya mulai resah, sikapnya sedingin es batu pun mulai mengusik dirinya di dalam ambang kesunyian. Tak hanya itu, Dilan merasa tak nyaman dengan Fian saat mendengar omongan yang tidak mengenakan.
Fian tidak menyadarinya sama sekali, bahkan dia hanya datang membawa secangkir teh hangat kesukaan mereka saat sudah tiba di rumah.
“Nih, teh anget dulu biar seger,” kata Fian menaruh secangkir kopi di atas meja.
“Gak, Fi. Aku lagi gak pengen ngopi dulu,” tolak Dilan, langsung merebahkan tubuhnya ke atas sofa.
“Loh kenapa? Biasanya’kan suka minum teh.”
“Gpp, Fi. Lagi males aja aku.”
“Terus tehnya aku apain, Dil?”
“Kamu aja deh minum dua-duanya!”
“Lah, kok dua-duanya, sih?” Fian kebingungan dengan garuk-garuk kepala. Dilan tidak menyahut, malahan anak itu menutupi wajahnya dengan pergelangan tangan alih-laih untuk tiduran. Mbak Pimel datang dengan membawakan makanan enak.
“Makasi, Mbak Pim,” sahut Fian pada mbak-nya.
“Sama-sama, Fi. Eh, Dilan napa tuh?” tanya Mbak Pimel yang melihat Dilan tengah tertidur.
“Gak tau, Mbak. Galau banget dia, teh hangatku aja ditolak sama dia tadi,” jawab Fian. 
“Beneran?” tanya Mbak Pim tidak percaya. Fian hanya mengangguk, Mbak Pim melirik adiknya dan Dilan dengan menaikkan satu alisnya.
“Kalo gitu Mbak mau bikin crimbilini lagi ah, hmm … kali ini pasti lebih –” Dilan tiba-tiba memotong pembicaraan Mbak Pim yang dia sedari tadi hanya pura-pura tidur dengan menutupi wajah dengan lengan tangannya.
“Gak mau, Mbak. Ga usah repot, aku hari ini udah cukup kenyang aja. Lagi gak mood makan,” ucapnya tanpa mengubah posisi rebahannya di atas sofa. Fian dan Mbak Pimel pun kaget mendengar jawaban Dilan.
“Apa sih? Aneh banget dah anak ini,” protes Mbak Pim.
“Udahlah, Mbak. Tinggalkan saja kami. Kalo Dilan biar aku aja yang urus,” kata Fian.
“Baiklah, pokoknya kalian jangan berantem,ya?” kata Mbak Pim yang tiada henti mengingatkan kedua adiknya, termasuk Dilan yang sudah dianggap adik oleh Mbak Pim semenjak Tom and Jerry ini menjadi sahabat.
“Gak, kok, Mbak Pim,” jawab Fian. Mbak Pim mengangguk, lalu meninggalkan mereka berdua menuju kamarnya. Tinggal hanya ada Fian dan Dilan di ruang tamu, Fian pun merasa bersalah karena sedari tadi Dilan hanya diam saja.
“Dil, kamu itu kenapa sih?” tanya Fian.
“Gpp, Fian,” jawabnya singkat.
“Gpp apanya? Jangan bohong napa? Soalnya di balik kata gpp-mu pasti ada apa-apanya nih. Udah dong, mending kamu jujur aja sama aku,” bujuk Fian. Dilan makin malas untuk bercerita.
“Gak ah. Aku ini gak napa-napa, kok, Fi,” sangkal Dilan. Fian bingung sambil garuk-garuk kepala. Seketika dia mendapatkan pencerahan pada kejadian tadi di sekolah.
“Apa karena udah bosan dengan ruang BK dan hukuman tadi?” tiba-tiba Fian menanyakan hal tersebut.
“Itu udah berlalu, jadi aku bisa masuk ruang BK kalo terjadi masalah lagi. Tapi, udahlah bukan ini masalahnya,”
“Nahkan, jadi apa masalahnya?” tanya Fian menerka-nerka. Dengan sigap Dilan menatap pergelangan tangannya seolah-olah ada arloji yang melekat di pergelangannya. 
“Duh, udah jam 5 sore nih. Aku balik dulu,ya? Bokap sama Nyokap pasti udah nungguin di rumah. Thank’s ya udah ngasi crimbilini sama nginep semalem di rumahmu. Salam buat Mbak Pim, crimbilininya enak. Kapan-kapan buat lagi, bye, Fi!” Dilan, begitulah cara anak itu beralasan agar Fian tidak khawatir. Perginya Dilan membuat Fian makin bingung. Tidak ada sepatah kata yang di katakan oleh Dilan, kecuali dia kabur bersama vespa antiknya.
***
Jarum jam di dinding kamar Fian tidak henti berdetak, berpetualang mengitari setiap titik angka jam yang menunjukan pukul 10 malam. Tampaknya, Fian hanya sedang merebahkan tubuhnya dengan gelisah di atas ranjang sambil memeluk guling yang menemaninya tidur. Bukannya tidur, justru dia masih dalam keadaan melek sambil memikirkan tingkah aneh Dilan tadi siang.
“Apa sih, Dilan? Kok gak mau jujur tadi?” ujarnya bertanya-tanya. Sekejap dia gelisah lagi, mengganti posisi baring tubuhnya.
“Dia itu sebenarnya kenapa sih? Tapi selama sering masuk ruang BK dan kena hukuman, gak pernah deh liat Dilan seaneh hari ini,” pikirnya lagi. Pening di rasa kalau saja diingat terus, Dilan tidak mau bicara, sulit dihubungi, galau, bahkan Dilan tidak bikin status di Monagram ketika Fian mengecek sosial medianya.
“Ck! Dah ah, capek banget, mending aku tidur aja,” kata Fian yang akhirnya menyerah dengan wawancaranya sendiri di ruang overthinking pribadinya.  Kalah oleh pertanyaan-pertanyaan yang tengah beradu debat dengan satu nyawa, overthinking Fian senyap. Dia lelap oleh berjalannya waktu, sempat terbangun sebentar untuk minum air bahkan pergi ke kamar kecil, lalu tidur kembali pada jam dini hari.
Overthinking, ya, memang tidak semua orang menyukai sifat satu ini. Tentunya sangat menganggu diri seseorang yang sedang mengalami fase stress, merasa cemas bahkan berpikir yang berlebihan bahkan hal-hal yang belum tentu benar terjadi pada ke depannya. Hal-hal lain yang terjadi bisa juga saat memendam masalah itu sendiri tanpa menceritakannya pada siapapun. Kesulitan-kesulitan itu bisa berdampak pada sulit tidur sampai merasakan rasa gelisah.
Beruntung Fian tidak bangun kesiangan, tapi dia menunggu Dilan datang menjemputnya. Jam sudah menunjukan pukul 06.40, ya hampir jam 7 pagi. Namun, Dilan belum juga menampakkan batang hidungnya untuk menjemput Fian ke rumahnya. Beberapa jam kemudian, Fian di buat kesal lagi oleh Dilan. Kali ini, dia berangkat sendirian, untung saja bukan hari Senin saat sekolah mengadakan upacara bendera.

Kertas, Kita & Serpihan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang