“Mungkin saja kita berbeda, tapi tanpa sadar kita memiliki kesamaan dan luka masa lalu yang membuat kita semakin erat.”
***
Dilan termenung, dia masih meratapi kesedihannya sendiri sampai si Mbok datang menghampiri Dilan di kamar kedua orang tuanya.
“Mbok?” Dilan menoleh ketika mendengar suara langkah kaki dari si Mbok yang datang mencarinya.
“Den!” Si Mbok memeluk Dilan layaknya seorang ibu dan anak. Dilan masih merasa kehampaan saat kedua orang tuanya masih saja tidak kunjung pulang.
“Sudah, Den. Tuan dan Nyonya di Medan gak bakal melupakan Aden. Dulu waktu Den Dilan masih kecil saat Nyonya hendak pergi bersama Tuan, Nyonya Rutmika bilang bahwa jika kelak mereka kembali, Den Dilan jangan pernah melupakan mereka.
Jadi, semua album poto dan keluarga ini sengaja mereka tinggalkan untuk Aden supaya Den Dilan bisa mengenali wajah dari Tuan dan Nyonya, orang tua Den Dilan sendiri,” tutur si Mbok.
“Iya, Mbok. Tapi, itu semua gak cukup buat aku. Kalo gini terus sampai kapan aku harus menunggu Papa dan Mama pulang?” ujarnya dalam isak tangis.
“Setiap saat Tuan atau Nyonya yang menelepon dari Medan, mereka selalu menanyakan keadaan Den Dilan, sekarang Aden sudah remaja. Tuan dan Nyonya sangat terharu kalo mendengar putra semata wayangnya sudah tumbuh besar dan remaja sampai sekarang,” kata si Mbok.
“Makasi, ya, Mbok? Udah ngbesarin aku sampe sekarang, kalo bukan Mbok lalu siapa lagi? Aku gak bisa hidup sendiri, Mbok. Aku sangat butuh kedua orang tuaku ada untukku,” kata Dilan sambil mengusap air matanya.
“Jangan gitu, Den. Aden udah kayak anak si Mbok sendiri. Jadi, Aden gak usah khawatir. Tuan dan Nyonya pasti selalu saling berkabar. Toh, mereka juga pasti sering mengabari Aden lewat ponselnya Den Dilan’kan?” tanya si Mbok, Dilan hanya menganggukan kepalanya.
“Ya udah, Mbok. Aku mau main dulu sama Fian, dia pasti juga merasakan hal yang sama kayak aku,” pamit Dilan yang bakal ke rumah Fian.
“Ya, Den. Hati-hati,ya? Nanti Mbok siapkan makan malam saat Aden udah pulang,” kata si Mbok.
“Baik, Mbok. Aku berangkat sekarang!”
Si Mbok menatap Dilan yang dari dulu semenjak anak itu berusia 3 tahun sampai sudah beranjak remaja. Tak habis pikir waktu cepat sekali berlalu, hati si Mbok juga merasakan kepedihan di hati anak semata wayang dari keluarga tentara.
“Tuan, Nyonya. Cepat kembali, kasian sekali Den Dilan sangat merindukan kalian. Den Dilan maupun Den Fian sampe sekarang gak tau kalo kalian adalah sahabat karib dari Dokter Alan dan Nyonya Kamina.
Pertemuan Den Dilan dan Den Fian udah kayak takdir yang gak bakal bisa misahin mereka berdua.
Mereka gak akan bisa kayak kalian yang sibuk dengan banyak pekerjaan di luar kota,” kata si Mbok berdialog dengan poto persahabatan antara Alan, Kamina, Alif dan Rutmika dengan raut wajah yang penuh senyum yang bahagia ketika mereka belum menikah.
Dilan menyalakan motor buntutnya, ya apalagi kalau bukan vespa dari sang Papa terdahulu.
Satu-satunya kendaraan dari kediaman keluarga Dilan. Si Mbok mendengar Dilan tengah menyalakan motor itu, lalu mengintipnya dari jendela kamar sang majikan.
“Aduh, Gusti! Lupa saya bilang ke Den Dilan kalo itu satu-satunya kendaraan milik Tuan Alif!” si Mbok menepuk jidatnya, Dilan melihat si Mbok memperhatikan dari kaca jendela kamar, lalu anak itu melambaikan tangan.
“Ya sudah, mau gimana lagi Aden udah berangkat ke rumah Den Fian.
Seenggaknya itu adalah jejak kenang kisah asmara Tuan Alif dan Nyonya Rutmika pada jamannya!” kata si Mbok kegirangan sendiri, ntah apa yang dipikirkannya yang pasti hanya si Mbok menjadi saksi kisah tentang Alif dan Rutmika begitupun persahabatan mereka yang kental dengan Alan dan Kamina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kertas, Kita & Serpihan Cerita
RomansFian Castella, seorang remaja SMA memiliki sifat introvert dan pendiam. Tak banyak orang tahu siapa sebenarnya Fian, tak terkecuali Dilan dan Hengki, dua sahabat Fian. Tetapi, Fian dan Dilan adalah anak yang sering suka bertengkar karena tidak suka...