BAB 7 MARKIMAI

1 0 0
                                    

“Sejenak lelah ini menghujam batinku, begitupun yang juga kau rasakan. Barangkali, kita rehat dari semua beban di atas pundak remaja ini. Kalo boleh saja, markimai.” – anonym.

***

Dilan menghampiri Fian ketika dia melihat sahabatnya sendiri masih berjalan kaki. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah pun juga tidak begitu dekat, tapi bagi Fian bukanlah suatu masalah besar untuknya.

Menurutnya lagi, jalan kaki bisa menyehatkan dan atau barangkali melepaskan semua beban berat di atas pundak kecilnya.

Kali ini, dia sungguh beruntung. Dilan tiba-tiba menghentikan motornya di depan Fian, layaknya cowok tulen yang mencegat seseorang yang berjalan di arahnya.

“Fian, tunggu!” panggil Dilan pada Fian yang masih berjalan kaki, dia pun menoleh pada suara yang memanggilnya. Tetapi, Fian tidak menjawab. Anak introver ini masih saja suka ngambek dan meneruskan dirinya untuk berjalan kaki.

“Tunggu aku bilang!” teriak Dilan di atas motornya. Sikap Fian sungguh tidak peduli, dia tetap dengan pilihannya untuk jalan kaki saja. Toh juga Dilan cuma memanggil namanya saja, menurut pendapat pikirannya yang masih keruh.

“Ih, bener-bener, ya? Masih marah banget ternyata sama aku,” gerutu Dilan sambil menghidupkan motor dan mendekati Fian.

“Woe! Berhenti dong, aku itu manggil kamu dari tadi. Gak denger emanngnya?” tanya Dilan.

“Denger kok,” jawabnya singkat dan melangkah lagi untuk meneruskan perjalanannya menuju ke rumah. Dilan menarik tangan Fian dari atas motor sehingga anak tersebut merasa ke tarik sedikit dan menoleh pada Dilan yang memaksa dirinya untuk menghentikan langkahnya.

“Apa lagi sih?” tanya Fian cetus. Dilan menghela napas.

“Aku mau ngomong, boleh gak?” tanya Dilan to the point.

“Ngomong apaan?” cetusnya lagi tanpa menoleh pada Dilan.

“Soal tadi di sekolah, ruang BK,” jawab Dilan. Fian terkesiap, dia pun diam beberapa detik lalu menganggukkan kepalanya.

“Ayo naik!” pinta Dilan pada Fian untuk menaiki sepedanya. Tanpa berpikir panjang dan basa-basi lagi Fian pun mengiakannya. Lantas mereka pulang bersama dan ntah kemana Dilan mengajak Fian untuk membahas permasalahan yang terjadi tadi siang di ruang BK.

Tak ada 1 jam perjalanan, Dilan mengajak Fian nongkrong di sebuah tempat makan. Mereka memesan makanan dan sambil menunggu pesanan tersebut tiba di atas meja.

“Jadi, kamu mau bahas itu kayak gimana?” tanya Fian yang melangsungkan pertanyaannya.

“Aku gak abis pikir ternyata ini ulah Nima sama Jovita. Ya, tempo hari waktu kita jalan bareng itu aku denger ada bisikan yang membicarakan hal buruk tentang kita berdua. Wajahnya aku gak tau, cuma perhatiin kalimat-kalimat menyakitkan itu,” jelas Dilan.

“Lalu, karena soal itu kamu harus menjauh dari aku?” tanya Fian. Dilan dengan wajah kusutnya hanya mengangguk saja.

“Tega ya kamu. Pekara gitu doang harus banget menjauh dari aku yang gak tau apa-apa sampe beredar gosip yang bertubi-tubi menghantam kita berdua,” ucap Fian dengan kecewa.

“Aku juga gak pengen kayak gini, Fi. Aku lelah, hanya saja aku takut kalo kita makin deket di sekolah pasti bakal makin runyam. Ya, kayak si Nima aja gak mau mengakui kesalahannya tadi siang. Aku makin kesel banget liat kita kayak gini terus,” kata Dilan berkaca-kaca.

“Kamu mau?” tanya Fian dengan eskpresi datar, samar-samar ikut berkaca-kaca.

“Mau apa?” tanya Dilan.

Kertas, Kita & Serpihan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang