BAB 22 MENCARI HANNA

2 0 0
                                    

“Akan aku temukan kau, Hanna. Ntah siapa dirimu tapi apa yang terjadi kemarin adalah hal yang tidak terduga terjadi diantara kita.”

***

Dilan sudah selesai mengerjakan tugas, tanpa sadar dia pun memainkan gitar di hadapan teman-teman sekelas dan Pak Haryadi!
Semua tercengang dan kaget saat mendengar suara petikan giatr yang syahdu dan mellow. Sorot mata tertuju pada Dilan yang sedang memainkan gitar sambil memejamkan mata.

“Dilan Darmawangsa!” kata Pak Har memanggil Dilan, namun anak itu tidak menjawab sebab terlalu tenggelam dalam suasana gitar yang tengah dia mainkan. Fian menyenggol bahu Dilan seakan nada gitar yang tadinya syahdu menjadi agak kacau.

“Apa sih? Aku lagi main gitar,” jawab Dilan agak risih.

“Itu, Pak Har manggil kamu barusan!” jawab Fian melirik pada Pak Har. Dilan kaget, dia pun akhirnya menoleh ke arah depan kelas.

“Ngapain main gitar di kelas, bukannya kamu harus latihan di ruang ekstrakurikuler?” tanya Pak Har yang ternyata sudah tahu tujuan Dilan memainkan gitar.

“Maaf, Pak. Saya terbawa suasana dan harus banyak-banyak latihan. Lagi pula tugas saya sudah selesai,” jelas Dilan kepada sang guru.
“Sebaiknya saat jam istirahat kamu harus latihan musik dengan anggota lainnya,” tegas Pak Haryadi.

“Baik, maafkan saya, Pak,” jawab Dilan lalu menaruh gitarnya dan menunggu jam istirahat. Beberapa murid yang tidak tahu pun akhirnya bertanya.

“Baik, Dilan. Tolong, jangan diulang lagi,” ujar Pak Har menasehati. Dilan hanya membalas dengan anggukan kepala. Teman-teman sekelas Dilan pun kembali serius belajar meski mereka tengah di telan oleh rasa penasaran. Mereka ingin mencari tahu, tapi bukan hak mereka untuk ikut campur. Dilan kali ini di hadapan teman-teman sekelasnya tampak lebih berbeda, tak seperti biasanya.

Fian yang baru menyelesaikan tugas nomer 5 pun merasa cukup penasaran yang tinggi oleh sikap Dilan yang tampak aneh ketika memainkan gitar di dalam kelas.

“Sst, Dil!” panggil Fian dalam bisikannya, Dilan pun menoleh.

“Apa?” tanya Dilan dalam balasan bisikannya pada Fian.

“Lagian itu lagi apa sih?” tanya Fian penasaran.

“Rahasia!” jawab Dilan. Fian menyempitkan matanya seakan dia merasa bukan apa-apa dibanding gitar dan lagu yang di mainkan oleh sahabatnya sendiri.

“Fian Castella!” teriak Pak Har yang tiba-tiba melihat Fian sedang mengobrol dengan Dilan.

“Maaf, Pak. Iya, saya selesaikan sekarang!” Fian panik, dia buru-buru mengerjakan tugas dari Pak Haryadi.

Apaan sih, Pak Har? Serius amat deh, tumben! Celoteh Hengki dalam hati, lalu dia melanjutkan untuk menjawab soal yang hampir terselesaikan.

***
Dilan melanjutkan tugasnya untuk latihan, benar-benar dibuat bingung deh sama Dilan yang tetiba saja mendapat panggilan untuk memainkan gitar. Terlebih, tumben lagi Dilan memberanikan diri memainkan gitar di dalam kelas saat pelajaran Pak Haryadi. Beruntung saja anak itu tidak mendapatkan hukuman di kelas. 

Fian buntung, dia pun sendirian. Hengki sudah melarang dirinya untuk mencari Hanna, tekadnya begitu bulat dengan bumbu-bumbu rasa penasarannya terhadap sosok gadis yang bernama Hanna. Fian berjalan sendiri melewati berbagai tempat di sekolahnya bahkan dia mencoba memberanikan diri untuk mencari Hanna tanpa Hengki.

Selangkah demi selangkah, tidak juga Hanna menampakkan batang hidungnya. Fian pun menghela napas dan duduk di bangku laur kelas.

“Kemana sih dia?” tanya Fian berdialog dengan dirinya sendiri.

“Hanna.”

Fian menyebutkan nama gadis yang kemarin dia jumpai secara tak sengaja di koridor sekolah. Tak lama dari Fian yang menanti Hanna, gadis itu sama sekali tidak muncul di manapun. Kelas Fian ada di lantai atas sedangkan Hanna, kelas dari gadis tersebut berada di lantai bawah. Fian menunggu, menunggu sampai dia datang.
Bukan Hanna yang datang melainkan Acha, dia melihat Fian sedang duduk di dekat kelasnya.

“Fian?” panggil Acha.

“Acha?” balas Fian. Acha menghampiri Fian dan duduk di sebelahnya.

“Kok sendiri? Dilan kemana?” tanya Acha yang melangsungkan obrolan dengan Fian.

“Gak tau, dia anak yang penuh misteri kayak susah di tebak kali ini. Kamu sendiri gak tau Dilan kemana?” tanya Fian balik bertanya. Acha menggeleng.

“Main gitar atau nyanyi mungkin?” tanya Fian lagi memastikan Acha.

“Tunggu, tunggu! Siapa yang main gitar? Siapa juga yang bernyanyi?” ujarnya bertanya-tanya.

“DILAN!” seru Fian. Syok bukan main bagi Acha yang juga baru dengar Dilan ternyata bisa memainkan gitar dan bernyanyi.

“Kok kamu gak bilang?” tanya Acha lagi dengan rasa kecewa.

“Gimana aku bisa bilang ke kamu? Aku aja juga baru tau dia bisa begitu,” jawab Fian.

“Astaga, pasti suaranya merdu banget. Terus sekarang dia gimana?”

“Ya, gitu deh. Gak paham juga kalo kemaren dia dipanggil Ketua Osis untuk menghadiri acara rapat Osis gitu,” jawab Fian.

“Apa dia jadi anggota Osis?” pikir Acha.

“Gaklah, mana mungkin ada anggota Osis di bidang musik sekarang? Apalagi saat ini masih suasana belajar.”

“Kayaknya bakal ada Pensi deh, tapi gak yakin kapan,” Acha menerka-nerka.

“Pensi apaan bulan gini?” tanya Fian heran.

“Gak tau sih. Kan perpisahan kelas sebentar lagi dan ini aja baru masuk semester 2,” jawab Acha. Mereka cukup henig untuk berpikir keras mencari jawaban dari tingkah Dilan yang begitu mendadak.

“Oya, kamu sendiri kenapa disini bukannya harus sama Hnegki kalo gak ada Dilan?” tanya Acha.

“Aku kemari mencari seseorang,” jawab Fian santai.

“Siapa?” tanya Acha.

“Hanna!” jawab Fian, Acha lagi-lagi kaget bukan main. Fian pun ketawa melihat reaksi Acha yang tadinya tenang sekarang seperti orang panik.

“Ha, Hanna? Kamu ada masalah apa sama Hanna?” tanya Acha.

“Loh, emang ada yang salah,ya?” tanya Fian balik bertanya.

“Fian. Aku tau meski aku ini sahabatnya Hanna, tapi sebaiknya kamu jangan terlalu berurusan sama dia,” kata Acha yang memberikan jawaban yang  sama seperti Sisen dan Asgraf.

“Kebetulan kamu sahabatnya Hanna. Aku mau tanya dong!” Fian benar-benar tidak mengenali Hanna, dia bahkan sedang mengulik-ngulik tentang Hanna.

“Gak, gak bisa! Sebaiknya kamu susul Dilan atau gak Hengki aja. Maaf, aku gak bisa kasi tau kamu soal Hanna,” tolak Acha, dia buru-buru beranjak dari bangkunya. Fian berusaha menarik lengan Acha tetapi gadis itu melangkah kabur duluan.

“Duh, kok jadi gini sih?” Fian garuk-garuk kepala.

“Awas aja kalo, ya kau Hanna! Liat saja sampe aku bakal nemuin kamu,” tegas Fian. Dia pun meninggalkan koridor sekolah, lalu benar saja mencari Hengki. Tak lama Fian tadi duduk di bangku koridor sekolah, Hanna pun datang dengan membawa makanan dan duduk di bangku tempat Fian tadi duduk di situ. Acha yang tadi kabur ke kelas, dia melihat ada Hanna duduk di bangku koridor sekolah.

“Hanna!” teriak Acha memanggil sahabatnya.

“Ayo, sini Cha!” sahut Hanna. Acha datang dan menemani Hanna duduk di bangku koridor yang tak lain adalah bangku yang berada di dekat kelas mereka.

“Kamu udah mendingan sekarang?” tanya Hanna.

“Apa?” tanya Acha kebingungan dengan balik bertanya.

“Itu saat si Anila ninggalin kamu ke luar kota. Gak usah mikirin dia lagi kalo emang anak itu gak mau berkabar denganmu atau bahkan balik lagi ke Jakarta,” tutur Hanna.

“Ya, tau. Tapi, sekarang aku udah gak papa, kok, Han. Selagi ada mereka dan juga kamu yang udah sering menemani aku saat ini, itu aja udah bersyukur,” jawab Acha dengan tersenyum.

“Lega deh jadinya. Oya, mereka yang kamu maksud, siapa?” tanya Hanna. Acha agak kaget, mau tak mau dia pun menceritakannya.

“Kamu kenal Fian, gak?” tanya Acha memastikan sahabat barunya.

“Gak, emang siapa Fian itu?”

“Hampir semua sekolah udah kenal mereka berdua. Fian dan Dilan, si duo Tom & Jerry yang terkenal di sekolah kita. Kamu pasti udah tau’kan?”

“Gak. Aku cuma tau Tom & Jerry yang di layar Tv aja sih, mana ada dua kucing dan tikus beneran kayak kartun aslinya.”

“Duh, gak gitu Han. Itu cuma julukan aja buat mereka karena saking nakal dan usilnya di sekolah ini,” kata Acha meluruskan situasi.

“Oh, julukan ya? Emang kenapa sama mereka berdua itu sekarang, bikin ulah lagi?” tanya Hanna keherannan.

“Bukan, bukan. Ya udah deh, nanti kalo ketemu salah satu dari mereka mending kamu pikirin dulu deh,” jawab Acha yang dengan tanggapan misterius.

“Serempong itu sama mereka emangnya?”

“Cukup memusingkan. Yang satu introver, satunya lagi ekstrover. Ekstrover sih tapi punya segudang rahasia.”

Awalnya, Hanna menanggapi dengan datar namun sekarang malah ketawa mendengar jawaban dari Acha.

“Iya,ya! Aku pikirin dulu deh mau yang ekstro atau intro,” Hanna makin terbahak. Acha mencubit kecil bahu Hanna. Bagi Acha, dia belum pernah melihat Hanna tertawa lepas seperti sekarang ini. Ntah angin yang datang dari mana tiba-tiba Acha memeluk Hanna.

“Eh, apa nih?” tanya Hanna ketika tawanya terhentikan.

“Terus kayak gini, ya, Han? Pokoknya kamu harus senyum dan ketawa setiap waktu. Ketawalah, sebelum ketawa itu dilarang,” ucap Hanna.

“Apa sih emang aku ini orang gila yang harus ketawa terus senyum-senyum sendiri gak jelas, gitu?”

“Bukan gitu, Han. Aku pen liat kamu tetap ceria apapun itu yang terjadi, jangan membuang tenanga dan waktumu dengan hal-hal yang gak berguna.”

Hanna hening, mematung sejenak. Dia tidak menyangka kalo Acha akan menasehatinya seperti Mama Dedeh di dalam acara-acara TV muslimah.

“Cha. Gini deh, coba kamu pikir dulu. Kalo ada orang yang sengaja ganggu kamu, terus dia ngambil buku, kotak pensil, uang atau semacem benda-benda yang kamu punya, apa kamu rela bisa tetap ceria?” tanya Hanna. Acha menggelengkan kepala.

“Nah, kamu ngerti’kan sekarang kalo aku selalu kesal dan marah terhadap sesuatu atau seseorang yang suka ganggu aku gak jelas kayak kemaren?”

“Ya, deh. Maaf, ya, Han. Tapi, biar gimana pun kamu harus tetap jadi strong girl kapan dan dimanapun itu.”

“Udah. Yang namanya hidup pasti ada masalah, kalo ada masalah pasti ada solusi. Kita masih remaja, Cha. Belum bisa mencapai level kedewasaan dalam menghadapi dunia labil saat ini. Toh, nanti juga bakal ada waktunya, kok.”

Bibir Hanna menggulum senyum yang hangat sampai Acha terpukau melihat senyum Hanna yang sangat langka bahkan ujaran kata-katanya yang penuh nasehat. Sekali lagi, Acha memeluk Hanna.

Di benaknya dia merasa terharu memiliki sahabat yang tak terduga olehnya sendiri. Siapa sangka Hanna ternyata adalah teman yang sekaligus sahabat yang sangat baik.
***

Kali ini Fian malah mencari Hanna. Eits, kayaknya ini kita lagi Nostalgia ria,ya?


Hahahaha ..., siapa lagi dulu kalau bukan Dilan yang suka mencari Acha dan diam-diam ternyata mereka adalah teman akrab ketika Fian belum mengetahui kebenarannya saat itu.

Fian pun sekarang demikian saking sibuknya Dilan, dia justru malah inginn tetap mencari tahu tentang Hanna. Seorang diri! Bahkan diapun tidak menceritakan tekadnya kepada siapapun apalagi pada Dilan yang sedang mengikuti latihan musik.

Hanna si gadis IPS 4, dia juga merasa penasaran terhadap anak berkacamata dan salah menargetkan orang yang kiranya kalau dialah menganngu Hanna sampai-sampai gadis itu senyap dari hadapannya di koridor sekolah kemarin.

Mereka berdua saling mencari tetapi Hanna adalah Hanna si gadis cuek yang sebenarnya tidak peduli jika ada yang membuat dirinya penasaran. Dia mencari Fian untuk meluruskan masalah kemarin jika orang yang dia kejar itu adalah Alvan, orang yang satu kelas dan suka usil pada Hanna.

***

“Mencari adalah menjadikannya sebuah pertemuan. Mungkin saja keadaan masih enggan berbagi untuk berbicara karena kita memiliki sifat yang jauh lebih berbeda.”



Kertas, Kita & Serpihan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang