Hujan malam tadi sekiranya tak mampu tertahan oleh tubuhku. Aku suka hujan, namun tadi malam rasanya dingin sekali, aku lebih suka mandi hujan di saat siang.
Begitulah manusia berhadapan dengan sesuatu yang disukai. Begitu pula kodratnya. Bahwa, kesukaan itu akan ada syaratnya sekecil apapun. Seterusnya, seperti aku yang menyukai hujan. Hanya ada sedikit pilihan.
Antara aku yang harus menghindari hujan agar tak sakit dikemudian hari atau hujan yang kubiarkan mengguyur ragaku lalu bersakit-sakit esoknya. Tak ada yang mudah memang. Namun begitulah adanya, dua pilihan yang sulit serupa itu adalah sebuah realitas dalam suatu hubungan suka sama suka. Terlebih pada hubungan yang tak lazim seperti aku dan Jesan.
Ketika tiba di rumah malam kemarin, yang ada dalam pikiranku hanyalah perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering muncul. Apalagi sejak aku berjanji pada mama kemarin untuk tidak melakukan hal-hal yang diluar fitrahku, semakin kuatlah perasaan itu.
Rasanya seperti aku mendurhakai mama, mengingkari janjiku. Apakah aku sudah termasuk katagori orang munafik? Entahlah, aku tak ingin dicap demikian. Hubunganku dengan Jesan akhir-akhir ini juga sedang baik-baiknya. Aku selalu bahagia ketika bersama pemuda tinggi itu.
Aku tak sekolah untuk beberapa hari setelah libur, karena demamku tak turun-turun. Akhirnya suatu pagi, Mama membawaku ke klinik untuk berobat. Dan siang harinya setelah beristirahat aku sudah merasa baikan. Jesan kemarin meneleponku, katanya ia akan mengunjungi ku sore ini. Ia belum sempat ke sini karena pertandingannya yang padat. Aku mengerti.
Sore hari, dia benar-benar datang ke rumah. Layaknya tamu yang sopan ia menyalami Mama, dan menyerahkan kantong yang entah berisi apa. Kemudian langsung menuju kamarku. Ini kali pertama ia masuk dan melihat kamarku. Diatas kasur aku berbaring, ia tersenyum melihatku.
"Gimana? Udah mendingan?" Tanya Jesan langsung ketika mendudukkan diri di sebelahku. Aku mengangguk.
"Udah, habis disuntik di klinik tadi pagi, siangnya langsung hilang sakit kepala." Kataku dengan suara yang lemah dan parau.
"Maaf saya baru datang sekarang." Balas Jesan, ia menatapku dengan lembut. Aku tersenyum memberitahunya bahwa aku tak merasakan sakit sama sekali.
"Gapapa, gua tau lo sibuk tanding kan." Jelasku lebih rinci saat Jesan tak berhenti menatapku dengan sorot mata bersalahnya. Ia tersenyum lalu menunduk.
Ku genggam bahunya, "gimana, menang?" Tanyaku. Pria tinggi itu menjilat bibirnya. Apa dia kalah?
"Babak pertama, babak keduanya kalah." Ucap Jesan. Ah pantas dia tak seceria hari-hari biasa. Aku menepuk-nepuk tangannya di pangkuannya.
"Udah bagus." Aku bertutur lembut. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Saya ga bisa fokus, kebayang kamu terus." Jesan berkata sambil menatap dalam diriku berniat menggombali.
"Oh jadi lo nyalahin gua?" Tanyaku berpura-pura kesal. Mukanya panik seketika, "bukan gitu." Bujuknya sambil mendekat menggenggam lenganku. Aku tersenyum, Jesan sadar bahwa aku sedang bercanda.
"Iya-iya." Ucapku. Jesan memasang senyum lega. Lalu pintu kamarku terbuka, menampilkan Mama yang membawa sepiring buah-buahan yabg telah terpotong-potong.
"Nih, Jesan bawain kamu buah. Dimakan!" Ucap mama galak. Aku tersenyum mengangguk menerima piring itu.
"Makasih ma."
"Mama tinggal ya! Nak Jesan, kalo dia ga mau makan lapor ke Mama!" Kata Mama melototi ku sambil menepuk punggung Jesan. Mama selalu kesal mengurus ku yang sakit, karena aku susah makan.
"Siap!" Jesan menjawab tegas. Lalu mama keluar dari kamar.
"Dimakan buahnya!" Gertak Jesan. Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya ia memaksaku seperti Mama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi
Tiểu Thuyết ChungTak ada yang perlu di perdebatkan lagi. Bahwa cinta itu melahirkan kedunguan, menciptakan khayalan dan membawa penyesalan. Bergelung sendu di putik-putik mawar Tetes jernihnya beringsut tawar Mengguyur lembut dara berkasih Cipta siasat, hasrat tersi...