Kerusuhan

31 4 7
                                    

Rumah lama menjadi tempat saya menginap selama di kota penuh kenangan ini. Rumah yang telah lama kosong karena orang tua saya lebih memilih tinggal bersama-sama saudara dari pihak ayah daripada menunggu rumah berdua saja, mereka suka tinggal beramai-ramai.

Saya jarang berada di rumah selama berlibur, selalu diluar. Entah mengunjungi taman kota yang banyak bagiannya telah dibeton atau mencoba makanan-makanan yang ingin saya nikmati. Selama disini saya juga rutin menjalankan rutinitas dahulu sewaktu saya SMA; lari pagi, bermain futsal, dan berenang.

Saya tak mengenali lagi tempat-tempat itu, jalanan lintasan lari saya sudah diperlebar, dengan lampu-lampu lebih terang. Gor jauh lebih terang sekarang dengan lampu-lampu panjang, pun kolam renangnya sudah dilengkapi alat penghitung laju. Semua menyenangkan, saya sampai tak merasakan waktu terus berjalan dan hari-hari libur saya akan berakhir.

Di hari terakhir, pikiran tentang nostalgia itu melebur hilang seperti awan yang habis menjadi hujan. Malam itu, setelah menghabiskan waktu dengan Cecep bersenang-senang di sebuah bar, saya tak ingin pulang dahulu. Kaki saya dengan cepat membawa saya ke halte bis sendirian. Bis terakhir malam ini saya naiki menuju ke jalan atas dekat perbukitan. Di sana saya turun di dekat kedai kopi yang buka 24 jam. Saya membeli segelas kopi.

Sambil menyesap kopi itu, saya berjalan ke seberang kedai kopi, menyusuri jalanan di dataran tinggi itu. Jika saya melihat ke bawah sana, dari pagar jalanan-yang difungsikan agar orang-orang tidak merosot ke jurang-dapat terlihat pemandangan kota yang gemerlapan, seingat saya dahulu ketika saya melihat dari sini kota tidak seterang itu. Semua berubah.

Saya menghabiskan kopi di satu tempat, di pagar jalan sambil berdiri terdiam memakukan pandangan pada kota penuh kenangan. Mata saya tak jemu memandang langit berbintang dengan bulan yang terang, bahkan sinarnya membuat bayangan saya menjadi jelas di belakang. Jaket saya cukup tebal melawan dingin oleh angin malam. Sesekali saya beralih melihat ke belakang, di seberang jalan, melihat kedai kopi dikunjungi orang.

Perasaan haru menyeruak di dada saya, menciptakan kegetiran yang menyenangkan. Saya tak menyesali masa remaja saya di kota ini. Saya mensyukuri semua yang saya alami, lebih-lebih bertemu Tiko, yang membuat saya jadi lebih berani mempercayai kemampuan dan keputusan saya sendiri. Orang itu selalu saja terbesit di pikiran saya, terlebih selama saya di kota ini. Saya mengandaikan bagaimana kalau tiba-tiba kami bertemu? Apa yang akan terjadi? Namun dengan cepat selalu saya tepis pikiran itu dengan anggapan bahwa Tiko jelas sibuk di kantornya, atau bahkan bisa saja dia sedang menyiarkan berita secara langsung.

Dengan keras saya paksakan diri untuk tidak mengingat orang itu. Saya kembali menyaksikan bulan, mata saya turun melihat kota yang terang, setiap gedungnya bercahaya. Tegukan terakhir kopi, sebelum saya putuskan membalikkan badan, bersiap pergi, sudah cukup makan anginnya.

Di kedai kopi seberang, dari arah dalam segerombolan orang keluar dengan membawa gelas plastik kopi masing-masing. Saya terpana terpaku melihat kearah seorang dari empat manusia yang sedang berjalan ke luar dari kedai kopi. Jantung saya tiba-tiba berdetak tak seperti biasa dan waktu seakan melambat. Saya lihat Tiko diantara empat orang itu.

Ia tengah tertawa dengan teman-temannya sambil tangan kanannya memegang segelas kopi. Wajahnya berseri diterpa lampu dalam kedai yang keemasan, kacamata bertengger membingkai matanya kesan cerdas melingkupi dirinya. Dia keluar dari kedai itu dan seketika jantung saya menjadi-jadi keanehannya begitupun perut saya yang melilit menyenangkan, semua perasaan itu memuncak karena Tiko membalas pandangan saya. Kami berpandangan setelah sekian lama.

Ia yang sedang tertawa langsung terkejut melihat saya, tampak dari matanya. Ia memandang saya cukup lama dengan mata berbinar dengan sedikit keraguan. Mungkin dia tak menyangka bertemu dengan saya sekarang. Sampai akhirnya ia hilang dibawa teman-temannya memasuki sebuah mobil yang terparkir di depan kedai. Saya memandangi mobil yang menjauh dan perlahan ditelan malam.

Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang