Sesuatu akan menjadi sangat berharga ketika tidak dimiliki. Saya percaya akan kalimat itu. Ketika pada akhirnya Tiko-mantan pacar saya- memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami yang sudah berjalan hampir setahun. Semula hubungan itu bagi saya hanyalah sebuah tugas penelitian pelajaran sosiologi, lalu berlanjut menjadi sesuatu kerumitan yang menimbulkan kebingungan ekstrim pada diri saya, dan pada akhirnya hubungan itu mengantarkan saya pada kehampaan yang tak saya ketahui cara mengatasinya.
Salah saya menjadikan perasan orang lain sebagai penelitian belaka. Hasilnya kini, saya benar-benar kehilangan rutinitas hidup saya, tak tau harus memikirkan apa, harus merasakan apa? Rasanya kini benar-benar hampa dan menyedihkan. Hidup saya langsung menjadi biru, dan saya kerap bermuram durja sewaktu-waktu.
Kami masih bertemu di sekolah, tak ada yang berbeda selain dia yang kini mulai sibuk mempersiapkan kelulusan. Setiap bertemu berdua saja, senyuman sekali-kali tercipta diantara kami, sebatas saling menghargai. Selebihnya berjalan dengan semestinya, saya semakin sering olahraga; apa saja, yang penting hari saya habis tanpa ada waktu untuk termenung. Mendaki gunung juga saya lakukan sesekali. Dua aktifitas itu sangat membantu mengurangi kegalauan. Meski ingatan atau pemikiran tentang pria dengan senyum yang manis itu masih suka muncul.
Ketika olahraga, saya selalu teringat akan keinginan Tiko untuk ikut olahraga bersama saya, lari pagi. Dan ketika ingatan itu datang, saya mulai menyalahkan diri sendiri lantaran tak pernah menciptakan kesempatan cukup banyak bagi keinginannya. Pun ketika naik gunung, saya teringat akan rencana saya untuk naik gunung berdua dengannya. Ketika ingatan itu muncul, saya akan larut dalam penyesalan karena tak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, waktu bersama Tiko habis terbuang sia-sia.
Dan ketika penyesalan dan perasaan bersalah itu muncul, saya mulai menyiksa diri sendiri. Berlari hingga nafas habis, mendaki hingga kaki tak terasa lagi, atau menyiksa tubuh dengan olahraga lain, dengan alat-alat berat. Memaksakan tubuh sampai nyeri. Hingga saya bisa lupa akan penyesalan dan rasa bersalah lantaran kelelahan. Untuk bisa beristirahat dengan tenang.
Kalau tidak begitu dipastikan saya tak akan tertidur karena sibuk menyayangkan hari dengan kemungkinan lain yang bisa terjadi bila saya mengambil keputusan yang berbeda dahulu. Bagaimana jika saya mau sedikit berusaha membuktikan cinta pada Tiko? Bagaimana kalau saya tak begitu menanggapi Amanda? Bagaimana kalau saya tak berselingkuh? Atau dari awal bagaimana kalau saya lebih baik berlaku pada Tiko? Di pikiran saya, jika semua itu saya lakukan pasti sekarang ini saya sedang bahagia bersama pria bermata coklat itu.
Sayangnya kayu sudah menjadi abu, tak ada lagi yang bisa diperbaiki, semua telah terjadi dan hidup saya tetap harus berlanjut. Olahraga lalu menjadi prioritas utama saya. Amanda sudah tak saya hiraukan lagi, meski sempat memaksa ingin bertemu, saya tetap mengabaikannya dan ia berhenti sendiri.
Ketika lari pagi, suatu waktu pernah saya lihat Tiko juga sedang lari pagi. Kami harusnya bisa berpapasan, namun dia malah berbelok di persimpangan. Entah memang rutenya begitu atau sengaja menghindari saya, setelahnya saya mulai mencari rute lari pagi yang saya kira tak akan dilalui Tiko; agar dia tak perlu menghindar dengan tiba-tiba mengubah rutenya-jika iya itu alasannya- Mungkin dia ingin menyibukkan diri atau memang ingin berolahraga saja, saya tak tau. Semua bisa saya lalui dengan baik, bahkan sekarang akademik saya juga sama membaiknya.
Kelas dua belas menyelenggarakan acara perpisahan, saya sangat ingin bertemu dengan Tiko dan mengungkapkan perasaan saya semuanya. Akhirnya di hari itu saya membeli sebuket bunga mawar dan dengan malu-malu saya serahkan padanya saat acara telah selesai.
Sekali lagi saya tak mampu untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan, hanya bunganya saja yang tersampaikan tidak turut dengan perasaan saya. Tiko menerima buket itu dengan senyuman dan dia saat itu seperti menunggu saya untuk berucap sesuatu, namun karena saya tetap diam; dia akhirnya pergi setelah berterimakasih. Di lorong gedung yang disewa untuk acara itu, tak banyak yang berlalu lalang, saya terpaku kembali menyesal karena tak bisa menjelaskan maksud hati. Rasanya banyak yang belum saya sampaikan, namun saya tak mampu menafsirkan yang tidak tersampaikan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi
Ficción GeneralTak ada yang perlu di perdebatkan lagi. Bahwa cinta itu melahirkan kedunguan, menciptakan khayalan dan membawa penyesalan. Bergelung sendu di putik-putik mawar Tetes jernihnya beringsut tawar Mengguyur lembut dara berkasih Cipta siasat, hasrat tersi...