Andai

57 5 6
                                    

Kota D, yang terkenal karena ketenangan dan kenyamanannya menjadi tempat paling utama dalam pikiran saya ketika memutuskan untuk pindah. Setelah menikah, saya membeli sebidang tanah luas di pinggir kota D dengan tabungan saya. Tempat yang masih asri, pohon-pohon tumbuh permai dan sungai-sungai kecil jernih airnya. Saya membangun rumah di sana, rumah impian saya.

Sambil menunggu pengerjaan rumah itu, saya dan Amelia masih tinggal di kota lama. Kami tinggal di komplek perumahan militer.

Pernikahan itu benar-benar membahagiakan saya, rasanya lengkaplah hidup saya karena pernikahan. Amelia mengurusi saya dengan baik, tak banyak menuntut ini itu dan ramah kepada tetangga sekitar.

Kami tak punya agenda khusus berdua, tak ada bulan madu atau semacamnya setelah pesta. Malam pertama kami  hanyalah di rumah. Di kamar yang ditata sedemikan indahnya dengan penerangan remang. Namun mampu merangsang gairah.

Saya kembali bekerja, dan tak lama setelah pernikahan kami, Amelia akhirnya wisuda. Seterusnya istri saya langsung bekerja di salah satu yayasan bimbingan belajar. Dia menjadi pengajar. Kami lalu disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Meski sibuk, Amelia tak pernah menelantarkan saya, ia selalu mengurusi saya dengan baik, dan bertutur halus. Saya kira saya mulai menyayanginya.

Di pagi hari, sudah menjadi kebiasaan bagi Amelia untuk menanyakan kepada saya apa yang saya ingini untuk makan malam. Karena saya sering pulang malam. Dengan halus tanyanya, "nanti malam mau makan apa mas?" Setiap pagi.

Atau kalau tidak sempat bertanya langsung, maka ia akan mengirim pesan. Saya tak begitu mempersoalkan makanan, apa saja yang layak dimakan, saya makan. Saya selalu pula menyebutkan hidangan yang sederhana atas pertanyaan Amelia.

"Tempe balado." Atau "cah kangkung," atau kalau sedang berselera makan saya akan meminta, "ikan kuah asam." Tak pernah saya menyebut lebih dari satu, namun ketika malam, di meja makan setidaknya ada tiga hidangan yang disajikan Amanda. Dengan senyuman, ia menyambut kepulangan saya. Kepenatan saya pada akhirnya dapat reda dengan keramahan tuturnya dan kepandaiannya mengurusi saya.

Karena itu, ketika Amelia sedang menemani anak didiknya berkompetisi di luar kota, dan saya mesti makan sendiri; saya jadi merindukannya. Dan satu-satunya hal yang saya lakukan untuk memberantas rindu itu adalah dengan memperhatikan foto pernikahan besar yang terpajang di kamar kami.

Kebahagian pernikahan sayangnya tidak menjamin saya untuk dapat melupakan Tiko, pria itu kerap melintas di benak saya diikuti penyesalan yang disertai andai pengharapan. Walau saya selalu menepis itu semua namun senyum manis pria bermata coklat itu selalu mengikuti saya.

Ketika sedang tidak terkontrol, pikiran saya bahkan tanpa sungkan membayangkan bagaimana jikalau sekarang saya masih bersama Tiko, atau bagaimana jika saya memilih mimpi saya dahulu, bukan menjadi abdi negara? Dengan dukungan Tiko yang senantiasa menyertai. Saya kira akan membahagiakan. Namun ketika saya sadar akan kegilaan yang telah saya lakukan, maka saya cepat-cepat menemui atau menelpon istri saya dan berkata padanya dengan suara pelan dan penuh penyesalan, "saya kangen kamu,"

Di akhir tahun pertama pernikahan, Amelia menjelma menjadi sosok istri pencemburu, mungkin ia melihat orang-orang yang berselingkuh diluar kota sana yang ia kunjungi ketika menemani anak didiknya, atau dari berita yang di tontonnya. Bahkan ia melarang saya untuk berdekatan dengan perempuan lain, bahkan menolong juga tidak dibolehkannya. Padahal menolong orang lain-termasuk perempuan- juga merupakan tugas saya.

Ketika di tugaskan di luar kota atau bahkan ketika bertugas di kota saya sendiri, Amelia akan merajuk habis-habisan apabila ia tau bahwa saya berinteraksi dengan perempuan, membantu perempuan. Bahkan tak segan dia dengan menggebu-gebu mengadu argumen dengan saya.

Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang