Bandara

34 2 0
                                    

Pesawat bersiap lepas landas

Jawaban tak saya dapatkan. Apa yang membuat ia mau bertemu saya? Kalau memang karena "hanya" ingin bertemu, pasti pria bermata coklat itu akan langsung menjawab, namun ia malah diam termenung, memasang kembali kacamatanya, tak bersuara hingga bis sore datang untuk kami tumpangi.

Tak sepadat tadi isinya bis sore ini, lapang sekali. Kursi-kursi banyak yang kosong barangkali karena hujan. Di dalam Bis, Tiko memberikan jaket yang menutup kakinya pada saya, menyisakan jaket hitam yang membalut tubuhnya. Hujan yang masih turun dengan lebih tenang membuat jalanan tak ramai dilalui. Hanya sesekali saja mobil berselisih jalan dengan bis yang kami naiki.

Kursi bagian belakang kami tempati, Tiko duduk di dekat jendela. Matanya menatap keluar seperti berpikir tak mau menatap saya. Tangannya bertaut memelintir satu sama lain di atas pangkuannya, mungkin sedang menyalurkan kegugupan dan tegang. Saya tak memaksa Tiko menjawab pertanyaan saya tadi, bagi saya dengan melihat kesulitannya mengutarakan jawaban, sudah jelas mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang ia harapkan, mungin dia punya tujuan pada pertemuan ini.

Pak supir membawa bis pelan takut melakukan kesalahan kala mengemudi, menjadikan waktu perjalanan dari halte dekat dermaga hingga ke halte dekat rumah saya memakan waktu hampir setengah jam. Dalam waktu yang tidak singkat itu hujan hanya tersisa rintik halus yang tidak membasahkan, jalanan mulai dilewati pengguna motor.

Kami turun dari bis. Tanpa terganggu dengan rintik hujan yang halus, kami susuri jalanan yang menguarkan aroma aspal basah untuk pulang ke rumah saya. Tiko belum saya beri tahu tujuan kami ini, dia juga tidak bertanya, sepanjang jalan ia hanya diam mengikuti saya yang melangkah sedikit di depan. Hingga ketika saya membawanya ke sebuah pekarangan rumah dengan pagar hidup, halaman berumput dan air mancur kecil, Tiko menghentikan langkahnya di pintu pagar bercat putih.

Pemuda berkacamata itu termangu, mematung menatap saya. Rambutnya yang ke basah-basahan berantakan menghalangi saya untuk dapat melihat mata coklatnya. Bibirnya melengkung sedikit kebawah, tampak murung. Saya dekati dia, sambil melayangkan tatapan keyakinan. Untuk beberapa saat Tiko hanya memandangi rumah di hadapannya.

"Gua, pulang ya," katanya sambil membuka jaket saya yang ia kenakan. Langsung saya genggam tangannya itu ketika ia menyodorkan jaket pada saya.

"Masuk dulu," pinta saya, tangan Tiko yang saya genggam tegang ingin lepas sedang jaket itu telah saya terima. Matanya menatap saya menelisik, ada keragu-raguan di sana. Saya eratkan genggaman saya dan Tiko mengalihkan pandangannya, netra coklat itu bergerak-gerak acak menimbang-nimbang permintaan saya.

Tanpa mau menunggu, saya menarik pelan tangan Tiko hingga ia ikut masuk dalam pekarangan ke depan pintu rumah. Ia tak protes namun tidak juga menunjukkan kesenangan. Saya mengetuk pintu beberapa kali, genggaman tangan saya pada tangan Tiko telah terlepas.

Pintu lalu terbuka memunculkan istri saya yang sedang menggendong Hana. Anak perempuan saya itu langsung tersenyum lebar, tangannya terangkat dengan jari-jari mungil yang bergerak lucu ingin digendong oleh saya. Tidak sampai semenit Hana sudah beralih saya gendong. Selanjutnya Amelia mulai memberikan atensi pada Tiko. Ia tersenyum ramah sebelum matanya menyipit menyadari sesuatu. Seketika wajahnya terkejut melihat idolanya berdiri di depan rumahnya.

"Tiko," katanya dengan suara amat halus. Tiko tersenyum canggung sedikit membungkuk. Amelia menatap saya tak percaya.

"Ini teman kamu mas?" Tanyanya masih dengan keterkejutan yang ketara di wajahnya. Saya mengangguk. Cepat-cepat Amelia mempersilahkan kami masuk, kami duduk di ruang tamu. Tiko duduk di kursi yang hanya bisa ditempati satu orang sedang saya duduk di kursi sebelahnya, lebih panjang. Hana sudah lepas dari gendongan saya, sibuk bermain-main dengan boneka beruang besar.

Izinkan Aku Menciummu Sekali Lagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang