Day 28: Renungan Bersama Rembulan

16 4 1
                                    

Kegiatanku hari ini ditutup dengan cukup puitis. Aku melihat rembulan menggantung di langit malam dan memandangnya dengan pandangan penuh harap.

Katanya, jika bulan bisa berbicara, ia akan bertanya pada mereka yang menatapnya, "Siapa yang membuatmu melihatku seperti ini?" Karena biasanya, orang-orang mengenang sesuatu sembari melihat bulan.

Tidak selalu, tapi tidak mungkin tidak. Setidaknya kilasan ingatan pasti akan mendatangi mereka yang menatap rupa rembulan yang bercahaya.

Tentu saja aku mengingat seseorang. Bulan itu pasti sudah bosan melihatku yang melihatnya, dan ia bahkan enggan untuk bertanya padaku siapa seseorang yang sedang kuingat.

Karena aku sudah memberitahunya berkali-kali.

Aku merindukan orang itu. Orang yang mungkin tidak pernah memikirkanku, tidak pernah mengingatku. Sebuah kisah tragis dan menyedihkan dari perasaan yang terlanjur dipendam selama bertahun-tahun dan berakhir memalukan oleh sebab kecerobohan.

Bahkan bulan enggan untuk mendengarnya lagi, karena aku selalu saja menyesali perbuatanku.

Bulan enggan untuk memberiku saran dan solusi, karena aku masih bodoh sebab masih merindukannya. Padahal jalan keluarnya sudah sangat jelas, pergilah, lupakanlah.

Tapi aku selalu kembali.

Persis seperti purnama yang pasti akan kembali. Sekuat apapun aku berusaha pergi, aku selalu kembali dan menyayangkan diriku yang selalu memikirkannya. Ada banyak pertanyaan dan pengandaian yang memenuhi benakku tentang—bagaimana ... jika aku bisa memperbaikinya?

Terkadang juga aku bertanya-tanya, apakah mungkin yang kurindukan adalah kenangan yang kumiliki, ataukah memang wujudnya sebagai seseorang?

Sebab aku adalah mereka yang menetap di masa lalu. Waktuku terhenti dan tidak melaju, tetap diam berdiri, sedang yang lain terus beralih dan berpindah.

Aku adalah mereka yang menetap di masa lalu. Ruang dingin dan hampa yang hanya diisi oleh keping kenangan yang berharga sepihak.

Maka, malam itu bulan pun akhirnya berucap padaku dengan nada acuh, "Lebih baik aku gerhana daripada harusnya mendapatimu terus menerus murung seperti itu."

Aku mendongak, senyum kecil timbul. "Aku pun lebih baik berubah menjadi debu bintang daripada harus memendam semua ini."

Bulan mendengkus, seperti yang sudah kukatakan, ia muak melihatku yang melihatnya. "Kau harus berhenti."

"Kau memintaku berhenti, tapi kau masih menyinari bumi yang hanya menghadap matahari, sebaiknya kita berdua sama-sama merenung saja."

Ucapanku sedikit keterlaluan, dan itu membuat bulan akhirnya ia bungkam. Ia mengalihkan wajahnya, mungkin sungguh termenung oleh apa yang kukatakan.

Tapi, memang begitulah adanya.

Pada akhirnya, tidak ada hal yang berakhir dengan begitu puitis. Semuanya hanya berakhir dan selesai, dan beberapa dari kita menjadikan itu sebagai puisi. Seluruh luka tidak pernah bisa kita anggap indah, itu hanyalah rasa sakit.

Kecantikan bulan yang bercahaya, pada nyatanya tetap saja menampakan permukaannya yang terluka.

Begitupun denganku. Sebaik apapun aku terlihat, pada nyatanya tetap saja berisi kepingan perasaan yang remuk—terlalu lama digenggam erat.




-Day 28-

Apakah ini sudah selesai?

Day 28: Buatlah tulisan yang diawali dengan kalimat: "Kegiatanku hari ini ditutup dengan ..."

Are You Healed, Or Just Distracted?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang